Dalam
beberapa kitab Fiqh, pengertian penggeledahan tidak dijelaskan secara
terperinci, namun pengertian penggeledahan dapat disimpulkan dari beberapa
penyelidikan pada masa Khalifah ‘Umar. Salah
satu kasus penyelidikan yang pernah terjadi pada masa Khalifah ‘Umar adalah
penduduk Kufah pernah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash r.a kepada ‘Umar Ibn
Khaththab r.a.[1]
Ketika itu ‘Umar memanggil Sa’ad untuk meminta penjelasan tentang pengaduan
masyarakat, setelah Umar mendengar penjelasan Sa’ad, ‘Umar merasa tidak puas,
walaupun secara pribadi ia sangat percaya kepada Sa’ad, karena menyangkut
dengan pengaduan masyarakat. Oleh karena itu ‘Umar mengutus komisi penyelidik.
Komisi ini berangkat bukan untuk menanyai pejabat-pejabat di Kufah, melainkan
untuk menyelidiki di Mesjid-mesjid dan pasar-pasar.
Dengan demikian, menurut hemat penulis
pengertian penggeledahan dalam hukum Pidana Islam dapat diartikan bahwa suatu
tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau disebut juga Rijal Al-Syurtah
yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap tempat atau badan seseorang
yang diduga sedang atau telah melakukan maksiat.
Mengingat
masalah penggeledahan tidak terlepas dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP),[2]
maka penggeledahan dalam Hukum Pidana Islam dapat diambil kesamaan dengan
pemeriksaan sebagaimana yang dicantumkan dalam Al-Qur’an surat
Al-Hujuraat ayat 6:
يأيها
الّذين ءامنوا إن جاءكم فاسق بنباء فتبيّنوا أن تصيبوا قوما بجهلة فتصبحو على ما
فعلتم ندمين.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa
suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimbulkan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu
menyesal atas perbuatan itu”. (Al- Hujuraat ayat 6)
Dari
ayat di atas dapat dipahami bahwa, sebelum mengambil sebuah tindakan suatu
kabar atau berita yang disampaikan hendaklah periksa dan selidiki terlebih
dahulu kebenaran berita tersebut dan jangan terburu-buru mempercayainya karena
sikap seperti itu kelak akan menimbulkan penyesalan atas segala tindakan yang
diambil.[3]
Menurut penulis makna dari “periksalah dengan
teliti” dapat dipahami adanya unsur penggeledahan untuk mencari bukti sangkaan
yang kuat supaya tidak menimbulkan musibah kepada suatu kaum. Maka berbagai hal
yang timbul dalam masyarakat, baik kejahatan dan pelanggaran yang dapat
menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, bagi orang tersebut
dapat dikenakan sanksi penahanan sementara untuk pemeriksaan.
Selanjutnya
dengan melihat kepada pengertian penggeledahan, maka pihak yang berwenang
melakukan penggeledahan sebagaimana yang telah dibentuk di masa pemerintahan
Khalifah ‘Umar, dinamakan Ahdas (dalam kamus Idris Al-Marbawi adalah
perkara baru, perkara tidak baik) yaitu jawatan sebagai kepolisian yang istilah
lain dinamakan Rijal Al-Syurtah yang bertugas sebagai aparat penegak
hukum untuk melakukan penindakan atau pemeriksaan pendahuluan dan juga untuk
menjalankan kewajiban-kewajiban pemeriksaan, misalnya pemeriksaan kejahatan
berat, menjaga keamanan dan ketertiban jalan, dan rintangan-rintangan berupa
pendirian rumah di atasnya, pencegahan pemuatan-pemuatan barang melebihi batas
atas binatang-binatang, larangan penjualan minuman keras dan sebagainya.[4]
Berdasarkan
uraian di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa, Jawatan Kepolisian mempunyai
wewenang yang luas dalam bidang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Akan tetapi,
secara khusus termasuk pejabat yang berwenang melakukan pemeriksaan terhadap
tersangka atau terdakwa dengan melakukan penggeledahan terhadap orang yang di
duga melakukan kejahatan guna mencari barang bukti untuk mewujudkan kebenaran
hakiki.
Pada
dasarnya Amar Ma’ruf dan Nahi munkar adalah kewajiban bagi setiap
individu, tetapi dalam suatu negara Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
sebagai tugas utama pada penguasa. Oleh karena itu, dalam mengemban tugas
tersebut, Wilayatul Hisbah adalah salah satu aparat penegak hukum yang
membantu pemerintahan dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Dasar
hukum penggeledahan adalah firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104:
ولتكن
مّنكم أمّة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون.
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf
dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali
Imran ayat 104)
Dari
ayat di atas dapat dipahami bahwa, keharusan adanya segolongan orang atau suatu
kekuasaan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan
mencegah dari yang munkar.[5]
Ketetapan bahwa harus ada suatu kekuasaan adalah madlul (kandungan
petunjuk) nash Al-Qur’an ini sendiri. Dari ayat diatas memiliki makna “seruan”
kepada kebajikan, tetapi juga ada makna “perintah” kepada yang makruf dan
“larangan” dari yang munkar. Apabila dakwah (seruan) itu dapat dilakukan oleh
orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka “perintah dan larangan” tidak akan
dapat dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kekuasaan.[6]
Berdasarkan
ayat Al-Qur’an tersebut jelas bahwa Allah memerintahkan agar di antara kita ada
yang mau menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar[7]. Untuk
menjalankan tugas Amar Ma’ruf Nahi Munkar, maka peradilan Islam
memberikan kewenangan kepada Wilayatul Hisbah sebagai berikut:
a.
Dalam bidang Amar Ma’ruf.
Wilayatul
Hisbah harus mampu mewujudkan hal-hal yang bersifat
kemaslahatan bagi manusia yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu menyuruh
berbuat baik dikalangan masyarakat seperti dalam hal peribadatan, misalnya
dalam suatu masyarakat harus diadakan shalat jum’at dan shalat fardhu lainya.[8]
Berhubungan
dengan manusia, Wilayatul Hisbah mempunyai wewenang untuk menegakkan
amar ma’ruf dikalangan masyarakat dan negara seperti hal-hal yang menyangkut
dengan kepentingan umum, misalnya memerintahkan kepada masyarakat untuk
memperbaiki sumber air yang merupakan kebutuhan vital bagi manusia.[9]
Berkenaan
dengan hak Allah dan manusia, maka lembaga ini mempunyai tugas dan wewenang untuk
menegakkan Amar Ma’ruf seperti memberi nasehat kepada seseorang wanita mengingkari
masa iddahnya dan menasehati para wali yang tidak mau menikahkan para wanita
janda apabila mereka itu berhajat untuk kawin.[10]
b.
Dalam masalah Nahi Munkar.
Wilayatul
Hisbah harus mampu mencegah suatu kemungkaran yang timbul
dalam masyarakat baik secara individu maupun publik, yaitu meliputi bidang
ibadah dan mu’amalah. Dalam bidang ibadah Wilayatul Hisbah berwenang
untuk mencegah orang yang mininggalkan puasa, shalat dan zakat.
Berhubungan
dengan hak manusia, Wilayatul Hisbah berwenang untuk mencegah orang
masuk ke rumah orang lain, atau melempar rumah orang, yang mengundang kemarahan
si pemilik, apabila si pemilik tidak mengizinkan Muhtasib untuk
mengambil tindakan maka Muhtasib tidak dibenarkan untuk mencampurinya
kecuali atas dasar permintaan dari pemilik rumah itu.[11] Berhubungan
dengan hak Allah dan manusia, seperti menasehati para imam shalat agar tidak
terlalu lama membaca ayat dalam shalatnya dan dapat menimbulkan kemudharatan
yang lemah.
Menurut
’Atiyah Mustafa, tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah, yaitu harus
mengontrol pasar (kota) diwaktu tertentu untuk mencari atau meneliti berita
negatif untuk diselesaikan, juga memperhatikan semua jenis penipuan-penipuan
yang terjadi dalam jual beli, baik di pasar-pasar dan di pabrik-pabrik yang memproduksi
barang, agar tidak terjadi penipuan terhadap konsumen.[12]
Adapun
yang bertindak sebagai penuntut dalam hukum Islam dengan istilah Wilayah Al-hisbah
penuntut umum atau jaksa dengan istilahnya Al-Hisbah. Al-Hisbah
adalah tugas keagamaan yang berhubungan dengan Amar Ma’ruf dan mencegah
yang mungkar yang diwajibkan kepada orang yang ditugaskan untuk menangani
urusan kaum muslimin dengan menentukan orang-orang yang dipandang cakap.
Menurut Fuqaha, Al-Hisbah adalah menyuruh orang berbuat baik (ma’ruf)
bila nampak ia meninggalkannya dan mencegah yang tidak baik (munkar) apabila
nampak yang mengerjakannya.
Adapun pengertian Wilayatul Hisbah menurut Kepgub (keputusan
Gubernur) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan
advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang syari‘at Islam
dalam rangka melaksanakan Amar Ma‘ruf Nahi Munkar.[13]
Definisi inipun kemudian berubah dalam redaksi yang terdapat dalam Qanun Nomor
11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam. Qanun ini mendefinisikan Wilayatul Hisbah dengan “lembaga pembantu tugas Kepolisian
yang bertugas membina, melakukan advokasi, dan mengawasi pelaksanaan Amar
Ma‘ruf Nahi Munkar, dan dapat berfungsi sebagai Polsus (polisi khusus) atau
PPNS (penyidik pegawai negeri sipil).
Senada dengan definisi yang telah disebutkan di atas, maka tugas dan
wewenang Wilayatul Hisbah dari masa awal Islam dengan Qanun jinayah
Nanggroe Aceh Darussalam adalah sama-sama memiliki misi menegakkan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar, akan tetapi terletak perbedaan dalam melakukan
penggeledahan. Di masa awal Islam, tindakan penggeledahan dapat di lakukan oleh
Muhtasib (petugas Wilayatul Hisbah) dengan surat perintah dari Wali
Al-Mazalim, sedangkan dalam Qanun Jinayah Nanggroe Aceh Darussalam, Wilayatul
Hisbah tidak memiliki wewenang untuk melakukan penggeledahan karena
mengingat Wilayatul Hisbah adalah suatu lembaga yang bertugas membina,
mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Dari
pengertian di atas, nampaklah bahwa Al-Hisbah merupakan salah satu badan
pelaksana dari kekuasaan kehakiman dalam Hukum Islam. Hisbah bertugas untuk
mengawasi setiap orang yang melakukan kejahatan dan juga pejabat yang berwenang
memeriksa dan menggeledah bagi pelaku pemungkaran dan sekaligus sebagai penuntut
Umum. Dengan demikian bila dilihat dari tugas dan wewenangnya, maka Al-Hisbah
adalah sama dengan Penuntut Umum yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dengan istilah kejaksaan.
[1] Thariq Muhammad As-Suwaidan, Melahirkan
Pemimpin Masa Depan (terj. M. Habiburrahim), (Jakarta: Gema Insani Press,
2005), hlm. 51.
[2]Al
Yasa’Abubakar, Hukum Pidana Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Edisi Pertama, (Banda Aceh: Dinas syari’at Islam Propinsi NAD, 2006), hlm. 103.
[3] Abdul Halim Hasan, Tafsir
Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 567.
[4] Syibli Nu’many, Umar Yang
Agung, Sejarah dan Analisa Kepemimpinan Khalifah II, (terj. Karsidjo
Djojosuarno), (Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983), hlm. 324.
[5]
Al-Faqih
Abul Lats As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin Nasehat Bagi Yang Lalai (terj.
Abu Zuhaidah), (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 154.
[6] Syahid Sayyid
Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an (terj. As’ad
yasin dkk.,), (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 184.
[7] Al-Faqih Abul Lats
As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin Nasehat Bagi Yang Lalai (terj. Abu
Zuhaidah), (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 154.
[8] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islami Wa-Adillatuhu, Jilid VI,S (terj. Ahmad Shahbari Salamon),
(Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), hlm. 850.
[9]
Ibid. hlm., 851.
[10] Abu Hasan ‘Ali bin Muhammad bin
Habib, Al-Ahkam Al-Sulthaniyah,
(terj. Mustafa Al-Haby), (Mesir: 1973), hlm. 242.
[11] Wahbah Al-zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islami Wa-Adillatuhu, Jilid VI, hlm. 853.
[12] Atiyah Mustafa, Al-Qadla’ Fi
al-Islam, cet.II, jami al-Huquq Mahfudah lilmu allif, Syirkah al-Ausat,
1966, hlm. 183.
[13] Keputusan Gubernur Provinsi NAD
Nomor 01 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul
Hisbah, Bab I (Ketentuan Umum), Angka 7.
No comments:
Post a Comment