Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Friday, May 25, 2012

Penggeledahan Menurut Hukum Pidana Islam.



Dalam beberapa kitab Fiqh, pengertian penggeledahan tidak dijelaskan secara terperinci, namun pengertian penggeledahan dapat disimpulkan dari beberapa penyelidikan pada masa  Khalifah ‘Umar. Salah satu kasus penyelidikan yang pernah terjadi pada masa Khalifah ‘Umar adalah penduduk Kufah pernah mengadukan Sa’ad bin Abi Waqqash r.a kepada ‘Umar Ibn Khaththab r.a.[1] Ketika itu ‘Umar memanggil Sa’ad untuk meminta penjelasan tentang pengaduan masyarakat, setelah Umar mendengar penjelasan Sa’ad, ‘Umar merasa tidak puas, walaupun secara pribadi ia sangat percaya kepada Sa’ad, karena menyangkut dengan pengaduan masyarakat. Oleh karena itu ‘Umar mengutus komisi penyelidik. Komisi ini berangkat bukan untuk menanyai pejabat-pejabat di Kufah, melainkan untuk menyelidiki di Mesjid-mesjid dan pasar-pasar.
 Dengan demikian, menurut hemat penulis pengertian penggeledahan dalam hukum Pidana Islam dapat diartikan bahwa suatu tindakan yang dilakukan oleh penyidik atau disebut juga Rijal Al-Syurtah yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan terhadap tempat atau badan seseorang yang diduga sedang atau telah melakukan maksiat.

Mengingat masalah penggeledahan tidak terlepas dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),[2] maka penggeledahan dalam Hukum Pidana Islam dapat diambil kesamaan dengan pemeriksaan sebagaimana yang dicantumkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hujuraat ayat 6:
يأيها الّذين ءامنوا إن جاءكم فاسق بنباء فتبيّنوا أن تصيبوا قوما بجهلة فتصبحو على ما فعلتم ندمين.


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimbulkan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu”. (Al- Hujuraat ayat 6)

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa, sebelum mengambil sebuah tindakan suatu kabar atau berita yang disampaikan hendaklah periksa dan selidiki terlebih dahulu kebenaran berita tersebut dan jangan terburu-buru mempercayainya karena sikap seperti itu kelak akan menimbulkan penyesalan atas segala tindakan yang diambil.[3]
 Menurut penulis makna dari “periksalah dengan teliti” dapat dipahami adanya unsur penggeledahan untuk mencari bukti sangkaan yang kuat supaya tidak menimbulkan musibah kepada suatu kaum. Maka berbagai hal yang timbul dalam masyarakat, baik kejahatan dan pelanggaran yang dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, bagi orang tersebut dapat dikenakan sanksi penahanan sementara untuk pemeriksaan.
Selanjutnya dengan melihat kepada pengertian penggeledahan, maka pihak yang berwenang melakukan penggeledahan sebagaimana yang telah dibentuk di masa pemerintahan Khalifah ‘Umar, dinamakan Ahdas (dalam kamus Idris Al-Marbawi adalah perkara baru, perkara tidak baik) yaitu jawatan sebagai kepolisian yang istilah lain dinamakan Rijal Al-Syurtah yang bertugas sebagai aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan atau pemeriksaan pendahuluan dan juga untuk menjalankan kewajiban-kewajiban pemeriksaan, misalnya pemeriksaan kejahatan berat, menjaga keamanan dan ketertiban jalan, dan rintangan-rintangan berupa pendirian rumah di atasnya, pencegahan pemuatan-pemuatan barang melebihi batas atas binatang-binatang, larangan penjualan minuman keras dan sebagainya.[4]
Berdasarkan uraian di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa, Jawatan Kepolisian mempunyai wewenang yang luas dalam bidang Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Akan tetapi, secara khusus termasuk pejabat yang berwenang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa dengan melakukan penggeledahan terhadap orang yang di duga melakukan kejahatan guna mencari barang bukti untuk mewujudkan kebenaran hakiki.
Pada dasarnya Amar Ma’ruf dan Nahi munkar adalah kewajiban bagi setiap individu, tetapi dalam suatu negara Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar sebagai tugas utama pada penguasa. Oleh karena itu, dalam mengemban tugas tersebut, Wilayatul Hisbah adalah salah satu aparat penegak hukum yang membantu pemerintahan dalam menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Dasar hukum penggeledahan adalah firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104:
ولتكن مّنكم أمّة يدعون إلى الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وأولئك هم المفلحون.
Artinya:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (Ali Imran ayat 104)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa, keharusan adanya segolongan orang atau suatu kekuasaan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar.[5] Ketetapan bahwa harus ada suatu kekuasaan adalah madlul (kandungan petunjuk) nash Al-Qur’an ini sendiri. Dari ayat diatas memiliki makna “seruan” kepada kebajikan, tetapi juga ada makna “perintah” kepada yang makruf dan “larangan” dari yang munkar. Apabila dakwah (seruan) itu dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kekuasaan, maka “perintah dan larangan” tidak akan dapat dilakukan kecuali oleh orang yang memiliki kekuasaan.[6]
Berdasarkan ayat Al-Qur’an tersebut jelas bahwa Allah memerintahkan agar di antara kita ada yang mau menyuruh berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar[7]. Untuk menjalankan tugas Amar Ma’ruf Nahi Munkar, maka peradilan Islam memberikan kewenangan kepada Wilayatul Hisbah sebagai berikut:
a.       Dalam bidang Amar Ma’ruf.
Wilayatul Hisbah harus mampu mewujudkan hal-hal yang bersifat kemaslahatan bagi manusia yang berkaitan dengan hak Allah, yaitu menyuruh berbuat baik dikalangan masyarakat seperti dalam hal peribadatan, misalnya dalam suatu masyarakat harus diadakan shalat jum’at dan shalat fardhu lainya.[8]
Berhubungan dengan manusia, Wilayatul Hisbah mempunyai wewenang untuk menegakkan amar ma’ruf dikalangan masyarakat dan negara seperti hal-hal yang menyangkut dengan kepentingan umum, misalnya memerintahkan kepada masyarakat untuk memperbaiki sumber air yang merupakan kebutuhan vital bagi manusia.[9]
Berkenaan dengan hak Allah dan manusia, maka lembaga ini mempunyai tugas dan wewenang untuk menegakkan Amar Ma’ruf seperti memberi nasehat kepada seseorang wanita mengingkari masa iddahnya dan menasehati para wali yang tidak mau menikahkan para wanita janda apabila mereka itu berhajat untuk kawin.[10]
b.      Dalam masalah Nahi Munkar.
Wilayatul Hisbah harus mampu mencegah suatu kemungkaran yang timbul dalam masyarakat baik secara individu maupun publik, yaitu meliputi bidang ibadah dan mu’amalah. Dalam bidang ibadah Wilayatul Hisbah berwenang untuk mencegah orang yang mininggalkan puasa, shalat dan zakat.
Berhubungan dengan hak manusia, Wilayatul Hisbah berwenang untuk mencegah orang masuk ke rumah orang lain, atau melempar rumah orang, yang mengundang kemarahan si pemilik, apabila si pemilik tidak mengizinkan Muhtasib untuk mengambil tindakan maka Muhtasib tidak dibenarkan untuk mencampurinya kecuali atas dasar permintaan dari pemilik rumah itu.[11] Berhubungan dengan hak Allah dan manusia, seperti menasehati para imam shalat agar tidak terlalu lama membaca ayat dalam shalatnya dan dapat menimbulkan kemudharatan yang lemah.
Menurut ’Atiyah Mustafa, tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah, yaitu harus mengontrol pasar (kota) diwaktu tertentu untuk mencari atau meneliti berita negatif untuk diselesaikan, juga memperhatikan semua jenis penipuan-penipuan yang terjadi dalam jual beli, baik di pasar-pasar dan di pabrik-pabrik yang memproduksi barang, agar tidak terjadi penipuan terhadap konsumen.[12]
Adapun yang bertindak sebagai penuntut dalam hukum Islam dengan istilah Wilayah Al-hisbah penuntut umum atau jaksa dengan istilahnya Al-Hisbah. Al-Hisbah adalah tugas keagamaan yang berhubungan dengan Amar Ma’ruf dan mencegah yang mungkar yang diwajibkan kepada orang yang ditugaskan untuk menangani urusan kaum muslimin dengan menentukan orang-orang yang dipandang cakap. Menurut Fuqaha, Al-Hisbah adalah menyuruh orang berbuat baik (ma’ruf) bila nampak ia meninggalkannya dan mencegah yang tidak baik (munkar) apabila nampak yang mengerjakannya.
Adapun pengertian Wilayatul Hisbah menurut Kepgub (keputusan Gubernur) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang syari‘at Islam dalam rangka melaksanakan Amar Ma‘ruf Nahi Munkar.[13] Definisi inipun kemudian berubah dalam redaksi yang terdapat dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Nanggroe Aceh Darussalam. Qanun ini mendefinisikan Wilayatul Hisbah  dengan “lembaga pembantu tugas Kepolisian yang bertugas membina, melakukan advokasi, dan mengawasi pelaksanaan Amar Ma‘ruf Nahi Munkar, dan dapat berfungsi sebagai Polsus (polisi khusus) atau PPNS (penyidik pegawai negeri sipil).
Senada dengan definisi yang telah disebutkan di atas, maka tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah dari masa awal Islam dengan Qanun jinayah Nanggroe Aceh Darussalam adalah sama-sama memiliki misi menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, akan tetapi terletak perbedaan dalam melakukan penggeledahan. Di masa awal Islam, tindakan penggeledahan dapat di lakukan oleh Muhtasib (petugas Wilayatul Hisbah) dengan surat perintah dari Wali Al-Mazalim, sedangkan dalam Qanun Jinayah Nanggroe Aceh Darussalam, Wilayatul Hisbah tidak memiliki wewenang untuk melakukan penggeledahan karena mengingat Wilayatul Hisbah adalah suatu lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Dari pengertian di atas, nampaklah bahwa Al-Hisbah merupakan salah satu badan pelaksana dari kekuasaan kehakiman dalam Hukum Islam. Hisbah bertugas untuk mengawasi setiap orang yang melakukan kejahatan dan juga pejabat yang berwenang memeriksa dan menggeledah bagi pelaku pemungkaran dan sekaligus sebagai penuntut Umum. Dengan demikian bila dilihat dari tugas dan wewenangnya, maka Al-Hisbah adalah sama dengan Penuntut Umum yang dikenal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan istilah kejaksaan.



[1] Thariq Muhammad As-Suwaidan, Melahirkan Pemimpin Masa Depan (terj. M. Habiburrahim), (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 51.

[2]Al Yasa’Abubakar, Hukum Pidana Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Edisi Pertama, (Banda Aceh: Dinas syari’at Islam Propinsi NAD, 2006), hlm. 103.


[3] Abdul Halim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 567.

[4] Syibli Nu’many, Umar Yang Agung, Sejarah dan Analisa Kepemimpinan Khalifah II, (terj. Karsidjo Djojosuarno), (Bandung: Pustaka Salman ITB, 1983), hlm. 324.
[5] Al-Faqih Abul Lats As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin Nasehat Bagi Yang Lalai (terj. Abu Zuhaidah), (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 154.

[6] Syahid Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an di Bawah Naungan Al-Qur’an (terj. As’ad yasin dkk.,), (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 184.

[7] Al-Faqih Abul Lats As-Samarqandi, Tanbihul Ghafilin Nasehat Bagi Yang Lalai (terj. Abu Zuhaidah), (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 154.

[8] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa-Adillatuhu, Jilid VI,S (terj. Ahmad Shahbari Salamon), (Selangor: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1997), hlm. 850.

[9] Ibid. hlm., 851.

[10] Abu Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib,  Al-Ahkam Al-Sulthaniyah, (terj. Mustafa Al-Haby), (Mesir: 1973), hlm. 242.

[11] Wahbah Al-zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa-Adillatuhu, Jilid VI, hlm. 853.

[12] Atiyah Mustafa, Al-Qadla’ Fi al-Islam, cet.II, jami al-Huquq Mahfudah lilmu allif, Syirkah al-Ausat, 1966, hlm. 183.

[13] Keputusan Gubernur Provinsi NAD Nomor 01 Tahun 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Wilayatul Hisbah, Bab I (Ketentuan Umum), Angka 7.

No comments:

Post a Comment