BAB I
Pendahuluan
- Latar Belakang
Jika kita melihat
sejarah bangsa ini, maka akan kita dapati banyak hal yang menyebabkan
terbentuknya pengadilan Ham. Pada masa orde baru memengang tampuk kekuasaan, selama
33 tahun (1965-1998) terlalu banyak tindakan-tindakan yang melanggar dari pada
hak-hak asasi manusia yang dilakukan karena perilaku negara dan aparatnya yang
memerintah Secara otoriter. Sehingga Indonesia dikenal dengan negara yang
paling buruk dalam hal hak asasi manusia. Banyak kasus yang telah terjadi, mulai
dari kasus timor-timur pra referendum, Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi,
kasus-kasus di papua dan Dom di Aceh.[1]
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
(ELSAM) menyebutkan data pada triwulan pertama 1998 telah terjadi 1.629
pelanggaran HAM yang fundamental yang tergolong ke dalam hak-hak yang tak dapat
dikurangi di 12 propinsi yang menjadi sumber data. Hak-hak tersebut adalah hak
atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang,
hak bebas dari pemusnahan seketika, dan hak bebas dari penghilangan paksa.[2]
Dengan adanya
pembentukan pengadilan Ham yang khusus ini, maka akan lebih mudah dalam menjerat
pelanggar ham itu sendiri. Namun bukan berarti tindakan yang dilakukan oleh pelanggar
ham tersebut tidak diatur didalam undang-undang. Tindakan tersebut sangat jelas
diatur didalam KUHP namun tidakan itu tergolong kedalam tindakan kejahatan yang
biasa atau ordinary crime, yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang
berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai
dengan Statuta Roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM
yang berat.
Sedangkan tindakan kejahatan yang
melanggar ham dalam tuntutan internasional merupakan tindakan kejahatan yang
extra ordinary crimes, yang berdampak Secara luas baik tingkat nasional maupun
internasional. Pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian baik materiil maupun
immaterial yang menyebabkan perasaan tidak aman bagi orang Secara individual,
maupun orang Secara kelompok. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin
menyamakan perlakuan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat
untuk menjerat secara efektif para pelaku pelanggaran HAM yang berat. Disamping
itu sesuai dengan prinsip International Criminal Court, khususnya prinsip universal
yang tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes
dan adanya kualifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat
mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang
mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus pula (Muladi:2000).[3] Atas dasar tersebut, maka pada tanggal
27 desember 2002 dikeluarkanlah undang-undang no 26 tahun 2002 tentang
pengadilan hak asasi manusia.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana
yang dimaksud dengan pengadilan ham?
- Bagaimana
kedudukannnya dalam system hukum nasional?
- Bagaimana
kinerja pengadilan ham dalam menyelesaikan perkara ham?
- Maksud Dan Tujuan Penulisan
- untuk
mengetahui pengertian dan maksud dari pengadilan ham.
- untuk
mengetahui kedudukan pengadilan ham dalam system hukum indonesia.
- untuk
mengetahui sejauh mana perkara yang telah diselesaikan oleh pengadilan ham
dan kinerja pengadilan ham irtu sendiri.
- Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang dipergunakan dalam
penulisan makalah ini adalah study kepustakaan atau library research, yaitu
dengan mengumpulkan dan mempelajari data-data yang di dapatkan dari berbagai
sumber. Kemudian di susun
secara sistematis tanpa melanggar kaidah-kaidah dari pada karangan ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
- PENGADILAN HAM
Dalam pasal 1 ayat 2, yang dikatakan dengan pengadilan ham
adalah suatu pengadilan khusus terhadap pelanggaran terhadap hak asasi manusia
yang berat. Ada
dua bentuk pengadilan ham di Indonesia, yaitu: pengadilan ham yang bersifat
permanent dan pengadilan ham yang bersifat ad hoc. Beda diantara keduanya
adalah dalam hal pemberlakuannya, jika pengadilan ham permanent itu
menyidangkan atau mengusut kasus-kasus ham pada masa lampau artinya pelanggaran
yang dilakukan sesudah undang-undang tentang ham disahkan. Sedangkan pengadilan
ham yang bersifat ad hoc adalah sebaliknya, yaitu: menyelesaikan atau mengusut
setiap pelanggaran ham yang dilakukan pada masa sebelum undang-undang tentang
ham disahkan.
Dalam permasalahan ham berlaku azas
retroaktif, yang dimaksudkan agar tidak ada permasalahan ham yang pernah
terjadi tidak lolos begitu saja tanpa ada upaya yang pasti untuk
menyelesaikannya.
Landasan Yuridis
Landasan yuridis pengadilan ham
-
ketetapan
MPR RI No. XVIII/MPR/1998 tentang ham
-
UU No.39
tahun 1999 tentang ham
-
Amandemen kedua UUD 1945 yang berkaitan dengan ham
-
UU no.26/2000 tentang pengadilan ham
Landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM
untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah dimana terbentuknya pengadilan HAM
ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai
tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104
ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan
bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di
lingkungan peradilan umum.
Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud
ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4
tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang
Pengadilan HAM adalah Undangundang Nomor 26 Tahun 2000.[4]
Kedudukan Dan Tempat Kedudukan
Pengadilan Ham
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang
berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau
daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hokum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan di
setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini
berlaku pertama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan,
dan Makassar.[5]
Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti
Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal
ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan
dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :
1. Ruangan
pengadilan
merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya
dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa jadwal persidangan akan sangat bergantung dengan jadwal
persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh Pengadilan Negeri
tempat Pengadilan HAM ini digelar.
2.
Dukungan staf administrasi
Staf administrasi adalah staf yang menangani
perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para
hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
3.
Dukungan panitera
Panitera juga diambilkan dari Pengadilan Negeri setempat.
Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus
untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani
kasus lainnya.
4. Ruangan
hakim
Ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah
ruangan tersendiri, namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan
setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri.[6]
- HUKUM ACARA PENGADILAN HAM
Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara
yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan
untuk proses pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme
sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[7]
UU No. 26
Tahun 2000 juga mengatur Kekhususan pengadilan HAM di luar ketentuan KUHAP
untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26
Tahun 2000 adalah :
1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim
ad hoc, proses penyelidikan dilakukan oleh komnas ham dan melibatkan
unsure masyarakat, berbeda dengan penyelidikan pidana biasa yang hanya
dilakukan oleh polisi. penyidik ad hoc, proses penyidikan di lakukan
oleh jaksa agung dengan melibatkan unsur pemerintah dan masyarakat. Berbeda
dengan KUHAP yang melakukan penyidikan adalah polisi dan pengawai sipil lainnya
yag diberi kewenangan. penuntut ad hoc, penuntutan dilakukan oleh jaksa
agung yang menggabungkan pemerintah dengan masyarakat. dan hakim ad hoc,
pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang,
terdiri dari 2 hakim pengadilan ham dan 3 hakim ad hoc.[8]
2. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu
tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat
dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari oleh ketua
pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah selesai tapi penyidikan belum
dapat diselesaikan makan dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua[9] pengadilan HAM yang bersangkutan. Jangka
waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 20
hari, tetapi jika belum selesai maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi
oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya. Ketentuan mengenai lamanya
penahanan ini tidak disertai dengan konsekuensi mengenai hak tersangka untuk
dikeluarkan dari tahanan jika selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan
penuntutan belum dapat diselesaikan.
KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan
juga mengatur tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak
telah selesai masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum
selesai.[10]
Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilakukan
selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM selama 30 hari.
Dalam pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat dilakukan paling lama
60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh ketua pengadilan
tinggi.Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah Agung penahanan dapat
dilakukan selama 60 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA.[11]
Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan
demi hukum meskipun perkaranya belum selesai diperiksa maupun belum diputus.[12]
3. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan
korban dan saksi.[13]
- RUANG LINGKUP KEWENANGAN PENGADILAN HAM
Perkara pelanggaran HAM yang berat yang berwenang
memutus dan memeriksa adalah pengadilan HAM. Kewenangan untuk memutus dan
memeriksa juga termasuk menyelesaikan perkara yang menyengkut perkara tentang
kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat sesuai
dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kewenangan untuk memutus
tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini sesuai dengan Pasal 35 UU
No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi
dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM. Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa
dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas
teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Dalam
penjelasannya ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia
yang melakukan pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas
teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan undang-undang tentang
pengadilan hak asasi manusia.[14]
Penegasan tentang asas nasional aktif ini juga
bertujuan untuk menyatakan bahwa setiap pelanggaran HAM yang berat yang
dilakukan oleh warga negara UU No. 26 Tahun 2000 memberikan larangan atau
membatasi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18
(delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Disini diartikan bahwa
seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang melakukan pelanggaran HAM yang
berat diperiksa dan diputus dalam Pengadilan Negeri.
Ketentuan tentang pembatasan perkecualian yurisdiksi
terhadap mereka yang berumur dibawah 18 tahun pada saat tindak pidana dilakukan
(exclusion of jurisdiction over person under eighteen) sesuai dengan
norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.
Jenis
kejahatan yang dapat diadili
Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran
HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus dan merupakan yurisdiksi pengadilan
HAM adalah :
1. Kejahatan genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan
berupa :
a.
Pembunuhan
b. Pemusnahan
c.
Perbudakan
d.
Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa
e.
Perampasan kemerdekaan
f.
Penyiksaan
g. Perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan
atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok
i.
Penghilangan orang secara paksa,
j.
Kejahatan apartheid, yaitu
- KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA[15]
Dimulai dari tahun 1965
1.Penculikan
dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2.
Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai
pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif
dalam kejadian ini.
1966
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr
Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan
Desember.
3.
Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April,
gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di
Jakarta.
3.
Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak
menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil
akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum
mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4.
Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas
politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar
disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970
1.
Pelarangan demo mahasiswa.
2.
Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno
meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4.
Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha
peleburan partai- partai.
2.
Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari
Golkar.
3.
Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang
layak.
4.
Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di
duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian
diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972
1. Kasus
sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973
1.
Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung.
1974
1.
Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas
di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari.
Sebelas pendemo terbunuh.
2.
Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan
Muchtar Lubis.
1975
1. Invansi
tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus
Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977
1. Tuduhan
subversi terhadap Suwito.
2. Kasus
tanah Siria- ria.
3. Kasus
Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang
hakim perempuan. Namun ia
ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus
subversi komando Jihad.
1978
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2.
Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya
pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3.
Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di
atas.
1980
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2.
Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka
dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus
Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan
pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang
memadai.
3. Majalah
Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh
orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang
oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2.
Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984
1.
Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2.
Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan
subversi terhadap Dharsono.
4.
Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1985
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.
1986
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2.
Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus
subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi
beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus
tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus
tanah Kemayoran.
4. Kasus
tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa
Talang sari
5.
Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan
Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya
terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2.
Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1995
1. Kasus
Tanah Koja.
2.
Kerusuhan di Flores.
1996
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus
tanah Balongan.
3.
Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai
pencemaran lingkungan.
4.
Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus
waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka
memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus
penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan
dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7.
Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8.
Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27
Juli.
9.
Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember
1996.
1997
1. Kasus
tanah Kemayoran.
2. Kasus
pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998
2.
Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum
kerusuhan Mei.
3.
Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang
Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal
sebagai tragedi Semanggi I.
1999
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi
hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro
integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3.
Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam
demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya
(RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai
peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan
terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa
ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.
BAB III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Pengadilan ham adalah suatu pengadilan khusus yang di buat
untuk mengadili orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia yang telah disepakati oleh internasional. Namun ketentuan dalam
mengadilinya masih mengikuti pengadilan negeri atau pengadilan biasa.
Kedudukan pengadilan ham sama dengan kedudukan pengadilan
negeri, Cuma ada beberapa perbedaan yang sangat signifikan seperti perbedaan
kasus yang di adili.
Sejauh ini, pengadilan ham Indonesia masih belum mampu
menyelesaikan perkara-perkara yang telah diajukan oleh komnas ham. Dai sekian
banyak kasus yang telah dituntut, banyak yang tidak siap dan kalaupun ada
keputusan dari pengadilan ham tentang sebuah kasus, itu tidak memberikan
kepuasan bagi masyarakat. Dalam artian, masyarakat masih beranggapan bahwa keputusan tersebut tidak
adil.
- KRITIK DAN SARAN
Banyak hal yang harus dibenahi dalam pengadilan ham di
Indonesia. Terutama
dalam hal hokum acara dalam pengadilan yang masih mengikuti KUHAP. Dan lagi,
pengadilan ham di indonesia masih meminjam kantor dari pada pengadilan negeri.
Ini dapat menghambat proses dari peradilan ham, karena berbagai alasan. Misalnya
saja akan terjadi perbenturan jadwal yang menyebabkan mollornya atau ditundanya
jadwal persidangan pengadilan ham.
DAFTAR PUSTAKA
KUHAP Indonesia
fauzan, Ahmad.
2005.Perundang-undangan lengkap tentang
peradilan umum, peradilan khusus dan mahkamah
konstitusi. Jakarta:Kencana.
Krisnawat, Dani, dkk. 2006. Bunga
rampai hukum pidana khusus. Jakarta Selatan: Pena Pundit Aksara.
Sudidja, Eddy djunaedi karma.2006.Himpunan
putusan-putusan mahkamah agung dalam perkara hak asasi manusia. Jakarta: Tata
Nusantara.
Abiding, Zainal. Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara
X Tahun 2005 Materi : pengadilan
ham Pengadilan hak asasi manusia di Indonesia.
www.elsam.or.id. www.kontras.com
[1]Ignatius
Haryanto, Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999,
hlm.31.
[3] Muladi,
Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000, Jurnal
Demokrasi dan HAM, Jakarta, hlm. 54.
[5] UU No. 26 tahun 2000 Bab IX tentang
ketentuan peralihan pasal 45.
[6] Tentang
dukungan adminsitratif ini didasarkan pada pengalaman pengadilan HAM ad hoc kasus
pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur.
[7] Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000
[8] Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan
oleh presiden atas usul ketua mahkamah agung untuk masa jabatan 5 tahun dan
dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
[10] Lihat Pasal 24 dan 25 KUHAP. Pasal
24 menyatakan bahwa lama penahanan untuk proses penyidikan adalah paling lama
20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari, jika dalam waktu 60 hari
sudah terpenuhi penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi
hukum. Pasal 25 menyatakan bahwa lama penahanan 20 hari dan dapat diperpanjang
paling lama 30 hari, jika dalam wakti 50 hari telah terpenuhi maka tersangka
harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Kedua pasal diatas juga menyatakan
bahwa tersangka dapat dilepaskan dari tahanan jika pemeriksaan sudah selesai
meskipun waktu penahanan belum berakhir.
[11] Dalam KUHAP perpanjangan penahanan untuk
kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan alasan yang patut dan tidak
dapat dihindari yaitu bahwa tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik
atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan
perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara selama sembilan
tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini dapat dilakukan untuk paling lama
30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari berikutnya.
[14] Ketentuan tentang asas ini sebetulnya
sudah diatur dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yaitu Pasal 5 yang
berasaskan nasional pasif.10 Namun ketentuan ini perlu ditegaskan lagi
mengingat bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan kejahatan internasional
yang merupakan musuh umat manusia yang mengenal yurisdiksi internasional dan
menjadi kewajiban setiap negara untuk melakukan penghukuman terhadap kejahatan
seperti ini.
[15] WWW.SekitarKita.com
yupz... sama2...
ReplyDelete