Suatu perbuatan dikatakan sebagai delik atau tindak pidana yang boleh
dihukum apabila perbuatan itu adalah
perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang - undang yang
dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban. Suatu
perbuatan dianggap telah dilakukan apabila telah memenuhi unsur - unsur yang
telah ditetapkan.
Secara
umum unsur - unsur tindak pidana terdiri dari dua unsur yaitu: unsur-unsur yang
bersifat objektif dan unsur-unsur yang bersifat subjektif. Adapun penjelasan
tentang unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:[1]
a. Unsur objektif
Yang
dimaksud dengan unsur objektif adalah: semua unsur yang berada di luar keadaan
batin manusia atau si pembuatnya, yakni meliputi :
1)
Perbuatan
manusia, yaitu: suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang terdiri dari
perbuatan nyata / tingkah laku aktif (bandelen).
atau perbuatan yang tidak nyata / tingkah laku pasif (nalaten) yang
merupakan unsur mutlak penyebab terjadinya tindak pidana. Adapun yang dimaksud
dengan tingkah laku aktif adalah suatu bentuk yang untuk mewujudkan atau untuk
melakukannya diperlukan gerakan nyata, misalnya: perbuatan bersetubuh (pasal 287 KUHP) dan perbuatan sodomi/ homoseksual
(pasal 292 KUHP). Sementara itu yang
dimaksud dengan tingkah laku pasif (nalaten) adalah suatu bentuk tingkah
laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu, yang seharusnya seseorang itu dalam
keadaan tertentu harus melakukan perbuatan aktif dan dengan tidak berbuat
demikian, seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban
hukumnya. Contoh dari perbuatan negatif atau tingkah laku pasif (nalaten) yaitu:
tidak melaporkan pada yang berwajib, sedangkan ia mengetahui ada dua orang yang
berlawanan jenis dan tidak terikat perkawinan sedang melakukan perbuatan
persetubuhan atau orang yang sesama jenis sedang melakukan perbuatan sodomi (homoseksual)
terhadap anak di bawah umur.
2)
Akibat
perbuatan yaitu: akibat yang ditimbulkan
dari wujud perbuatan yang telah dilakukan. Dan akibat ini perlu ada supaya si pembuat
dapat dipidana. Misalnya: kehilangan masa depan korban atau kehamilan yang tidak dikehendaki oleh korban
sehingga korban mengalami trauma.
3)
Keadaan -
keadaan tertentu. Keadaan - keadaan yang dimaksud boleh jadi terdapat pada
waktu melakukan perbuatan. Misalnya: ditemukannya pakaian yang berserakan serta
tidak dikenakan oleh pemiliknya karena sedang melakukan persetubuhan.
4)
Sifat melawan
hukum dan sifat yang dapat dipidana. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum
apabila bertentangan dengan undang- undang. Melawan hukum merupakan suatu sifat
yang tercela atau terlarangnya suatu perbuatan, dimana sifat - sifat tercela
tersebut dapat bersumber pada undang - undang (melawan hukum formil) dan dapat
bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Sedangkan sifat dapat
dipidana artinya: bahwa perbuatan itu harus dipidana.[2]
b. Unsur subjektif
Yang
dimaksud dengan unsur subjektif adalah: semua unsur yang mengenai batin atau
melekat pada keadaan batin orangnya.[3] Atau
dengan kata lain perbuatan itu harus dipertanggung jawabkan kepada orang yang telah
melakukan pelanggaran tersebut. Hanya orang yang dapat dipertanggung jawabkan
yang dapat dipersalahkan. Jikalau orang yang melakukan pelanggaran itu adalah
orang yang kurang sempurna akalnya atau
sakit jiwanya (gila) maka perbuatan
tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya dan oleh karena itu tidak dapat
dipersalahkan. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 44 KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang
tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit,
maka tidak dipidana”.[4] Oleh karena itu, suatu azas pokok dari hukum
pidana adalah tidak ada pidana (hukuman) tanpa ada kesalahan dan setiap
kesalahan yang telah dilakukan haruslah dapat dipertanggung jawabkan oleh
pelaku.
Adapun
mengenai kasus tindak pidana pelecehan
seksual, juga mempunyai beberapa unsur baik unsur objektif maupun unsur
subjektif seperti yang tercantum dalam pasal
287 dan 292 KUHP.
1. Pasal 287 KUHP ayat (1),yang bunyinya:
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar perkawinannya, padahal diketahuinya atau
sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau umurnya tidak jelas, atau ia belum waktunya
untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.[5]
Dari bunyi pasal tersebut di atas, dapat
dirincikan unsur - unsur sebagai
berikut:
- Unsur – unsur
Objektif;
1) Perbuatannya: bersetubuh
Unsur bersetubuh
merupakan unsur yang terpenting dalam tindak pidana persetubuhan
terhadap anak di bawah umur, hal ini disebabkan apabila perbuatan persetubuhan tidak terjadi maka
perbuatan tersebut belumlah dapat dikatakan telah terjadi perbuatan
persetubuhan. Sebagaimana yang telah dikemukan oleh S.R Sianturi bahwa untuk
dapat diterapkan pasal 287 KUHP adalah apabila persetubuhan itu benar-benar
telah terjadi yakni apabila kemaluan
laki-laki telah masuk ke dalam kemaluan si perempuan sedemikian rupa yang
secara normalnya dapat mengakibatkan kehamilan. Dan jika kemaluan si laki-laki
hanya sekedar menempel di atas kemaluan perempuan maka perbuatan tersebut tidak
dapat dipandang sebagai persetubuhan melainkan hanya perbuatan pencabulan.[6]
2) Objek: perempuan diluar kawin.
3) Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya
tidak jelas waktunya dikawin.
- Unsur Subjektif:
Dalam tindak pidana pelecehan
seksual yang dijelaskan oleh pasal
287
KUHP ayat (1) hanya terdapat satu unsur subjektif, yaitu:”barang siapa”.
Yang dimaksud dengan “barang siapa”
dalam pasal 287 KUHP bukanlah ditujukan
kepada semua orang, tetapi hanya untuk
orang yang berjenis kelamin laki-laki saja. Sedangkan orang yang berjenis
kelamin perempuan tidak termasuk dalam pengertian “barang siapa”. Hal ini dapat
dikaitkan dengan bunyi pasal 287 itu sendiri yaitu:
” Barang siapa yang bersetubuh
dengan perempuan yang belum berumur 15 tahun.........”
Jadi tidaklah mungkin “barang siapa”
tersebut ditujukan kepada orang yang berjenis kelamin perempuan.
Letak
patut dipidana pada kejahatan pasal 287 ini adalah pada umur anak yang masih di
bawah umur atau belum waktunya untuk kawin.Yang tujuannya untuk memberikan
perlindungan terhadap kepentingan hukum anak dari perbuatan-perbuatan yang
melanggar kesusilaan.
Adapun pengertian belum waktunya untuk
dikawin adalah: belum waktunya disetubuhi, dan indikator belum waktunya
disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak
pada wajah atau tubuhnya yang masih wajah anak-anak atau juga tubuhnya yang
masih kecil, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau
yang lainya.
Sedangkan secara psikis dapat dilihat
pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya
anak-anak yang masih di bawah umur.[7]
Dan yang dimaksud dengan perempuan di
luar kawin adalah: perempuan yang bukan isterinya, atau dengan kata lain antara
laki-laki yang melakukan persetubuhan
dengan perempuan yang masih di bawah umur tersebut tidak terikat dalam
perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yang
menurut Undang-Undang tersebut bahwa perkawinan yang sah adalah: perkawinan
yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan. Selain itu,
Undang-Undang juga mengatur tentang batasan umur dalam sebuah perkawinan. Maksudnya seorang perempuan baru diberi izin untuk melakukan perkawinan
apabila umurnya sekurang-kurangnya telah mencapai 16 tahun pasal 7 ayat (1). Apabila
terjadi perkawinan terhadap anak di bawah umur dan dalam perkawinan itu
menyebabkan luka berat atau kematian maka akan dikenakan hukuman dengan ancaman
pidana penjara maksimal 12 tahun dan minimal 4 bulan sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam pasal 288 KUHP ayat (1),(2)
dan
(3) yang bunyinya:
Ayat (1) Barang
siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang
bersangkutan
belum waktunya untuk
di kawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-
luka diancam dengan pidana paling lama empat
bulan.
Ayat (2) Jika
perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara
paling lama delapan tahun.
Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana
penjara paling lama dua belas Tahun.[8]
Adapun yang dimaksud dengan luka berat
adalah luka lain di luar robeknya selaput dara seperti tidak
berfungsinya alat reproduksi atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali atau bahkan menimbulkan bahaya maut.
2. Pasal 292 KUHP, yang bunyinya:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun”.
Dari bunyi pasal tersebut di atas,
dapat dirincikan unsur-unsur tindak pidananya adalah sebagai berikut:
- Unsur- unsur
Objektif:
1) Perbuatannya yaitu perbuatan cabul.
2) Pembuatnya
yaitu orang dewasa.
3) Objeknya yaitu orang sesama jenis kelamin.
- Unsur Subjektif:
Sedangkan unsur subjektifnya ada satu,
yaitu: yang diketahuinya belum dewasa
atau patut diduganya belum dewasa.
Sama
seperti persetubuhan, untuk kejahatan ini diperlukan dua orang yang terlibat.
Kalau persetubuhan terjadi antara orang yang berlainan jenis, tetapi pada
perbuatan ini terjadi di antara dua orang yang sesama kelamin baik itu lelaki
dengan lelaki (sodomi atau homoseksual) ataupun perempuan dengan
perempuan (lesbian).
Walaupun
terjadi antara dua orang yang sesama
kelamin, tetapi yang menjadi subjek hukum kejahatan dan dibebani
tanggung jawab pidana adalah siapa yang di antara dua orang itu yang telah
dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Pembebanan tanggung jawab
pada pihak orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya
kejahatan ini adalah untuk melindungi
kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan - perbuatan yang
melanggar kesusilaan umum.
Mengenai kriteria belum dewasa, dapat dilihat menurut umur. Adapun yang
dimaksud dengan belum dewasa menurut pasal 292 ini sama dengan belum dewasa
menurut pasal 330 BW yakni belum berumur 21 tahun dan belum pernah menikah. Orang
yang sudah pernah menikah dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum 21
tahun.[9]
[4] R.Soenarto Soe rodibroto, S.H.KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi
Mahkamah Agung dan Raad,Edisi V,( Jakarta: PT.Grafindo Persada,2003) hlm
36.
[8] R.Soenarto
Soe rodibroto, S.H.KUHP dan KUHAP
Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Raad,Edisi V,( Jakarta: PT.Grafindo
Persada,2003) hlm 173.
No comments:
Post a Comment