Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Tuesday, October 25, 2011

Unsur- Unsur Tindak Pidana Pelecehan Seksual


            Suatu perbuatan dikatakan sebagai delik atau tindak pidana yang boleh dihukum  apabila perbuatan itu adalah perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang - undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban. Suatu perbuatan dianggap telah dilakukan apabila telah memenuhi unsur - unsur yang telah ditetapkan.
            Secara umum unsur - unsur tindak pidana terdiri dari dua unsur yaitu: unsur-unsur yang bersifat objektif dan unsur-unsur yang bersifat subjektif. Adapun penjelasan tentang unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:[1]
a. Unsur objektif
            Yang dimaksud dengan unsur objektif adalah: semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia atau si pembuatnya, yakni meliputi :
1)      Perbuatan manusia, yaitu: suatu perbuatan atau tingkah laku manusia yang terdiri dari perbuatan nyata  / tingkah laku aktif (bandelen). atau perbuatan yang tidak nyata / tingkah laku pasif (nalaten) yang merupakan unsur mutlak penyebab terjadinya tindak pidana. Adapun yang dimaksud dengan tingkah laku aktif adalah suatu bentuk yang untuk mewujudkan atau untuk melakukannya diperlukan gerakan nyata, misalnya: perbuatan bersetubuh (pasal  287 KUHP) dan perbuatan sodomi/ homoseksual (pasal 292 KUHP). Sementara  itu yang dimaksud dengan tingkah laku pasif (nalaten) adalah suatu bentuk tingkah laku yang tidak melakukan aktivitas tertentu, yang seharusnya seseorang itu dalam keadaan tertentu harus melakukan perbuatan aktif dan dengan tidak berbuat demikian, seseorang itu disalahkan karena tidak melaksanakan kewajiban hukumnya. Contoh dari perbuatan negatif  atau tingkah laku pasif (nalaten) yaitu: tidak melaporkan pada yang berwajib, sedangkan ia mengetahui ada dua orang yang berlawanan jenis dan tidak terikat perkawinan sedang melakukan perbuatan persetubuhan atau orang yang sesama jenis sedang melakukan perbuatan sodomi (homoseksual) terhadap anak di bawah umur.

2)      Akibat perbuatan  yaitu: akibat yang ditimbulkan dari wujud perbuatan yang telah dilakukan. Dan akibat ini perlu ada supaya si pembuat dapat dipidana. Misalnya: kehilangan masa depan korban atau  kehamilan yang tidak dikehendaki oleh korban sehingga korban mengalami trauma.
3)      Keadaan - keadaan tertentu. Keadaan - keadaan yang dimaksud boleh jadi terdapat pada waktu melakukan perbuatan. Misalnya: ditemukannya pakaian yang berserakan serta tidak dikenakan oleh pemiliknya karena sedang melakukan persetubuhan.
4)      Sifat melawan hukum dan sifat yang dapat dipidana. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila bertentangan dengan undang- undang. Melawan hukum merupakan suatu sifat yang tercela atau terlarangnya suatu perbuatan, dimana sifat - sifat tercela tersebut dapat bersumber pada undang - undang (melawan hukum formil) dan dapat bersumber pada masyarakat (melawan hukum materil). Sedangkan sifat dapat dipidana artinya: bahwa perbuatan itu harus dipidana.[2]
b. Unsur subjektif
            Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah: semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya.[3] Atau dengan kata lain perbuatan itu harus dipertanggung jawabkan kepada orang yang telah melakukan pelanggaran tersebut. Hanya orang yang dapat dipertanggung jawabkan yang dapat dipersalahkan. Jikalau orang yang melakukan pelanggaran itu adalah orang yang kurang sempurna akalnya  atau sakit jiwanya (gila) maka  perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya  dan oleh karena itu tidak dapat dipersalahkan. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 44 KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggung  jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, maka tidak dipidana”.[4]  Oleh karena itu, suatu azas pokok dari hukum pidana adalah tidak ada pidana (hukuman) tanpa ada kesalahan dan setiap kesalahan yang telah dilakukan haruslah dapat dipertanggung jawabkan oleh pelaku.
            Adapun mengenai kasus  tindak pidana pelecehan seksual, juga mempunyai beberapa unsur baik unsur objektif maupun unsur subjektif seperti yang tercantum dalam  pasal 287 dan 292 KUHP.
1. Pasal 287 KUHP ayat (1),yang bunyinya:
“Barang siapa bersetubuh dengan seorang perempuan di luar                  perkawinannya, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau  umurnya tidak jelas, atau ia belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”.[5]
Dari bunyi pasal tersebut di atas, dapat  dirincikan unsur - unsur sebagai berikut:
  1. Unsur – unsur Objektif;
1)      Perbuatannya: bersetubuh
Unsur bersetubuh merupakan unsur yang terpenting dalam tindak pidana  persetubuhan  terhadap anak di bawah umur, hal ini disebabkan apabila  perbuatan persetubuhan tidak terjadi maka perbuatan tersebut belumlah dapat dikatakan telah terjadi perbuatan persetubuhan. Sebagaimana yang telah dikemukan oleh S.R Sianturi bahwa untuk dapat diterapkan pasal 287 KUHP adalah apabila persetubuhan itu benar-benar telah terjadi yakni apabila  kemaluan laki-laki telah masuk ke dalam kemaluan si perempuan sedemikian rupa yang secara normalnya dapat mengakibatkan kehamilan. Dan jika kemaluan si laki-laki hanya sekedar menempel di atas kemaluan perempuan maka perbuatan tersebut tidak dapat dipandang sebagai persetubuhan melainkan hanya perbuatan pencabulan.[6]
2)      Objek: perempuan diluar kawin.
3)      Yang umurnya belum 15 tahun; atau jika umurnya tidak jelas waktunya dikawin.
  1. Unsur Subjektif:
                        Dalam tindak pidana pelecehan seksual yang dijelaskan oleh pasal
            287 KUHP ayat (1) hanya terdapat satu unsur subjektif, yaitu:”barang siapa”.           
Yang dimaksud dengan “barang siapa” dalam pasal 287 KUHP bukanlah   ditujukan kepada semua orang, tetapi  hanya untuk orang yang berjenis kelamin laki-laki saja. Sedangkan orang yang berjenis kelamin perempuan tidak termasuk dalam pengertian “barang siapa”. Hal ini dapat dikaitkan dengan bunyi pasal 287 itu sendiri yaitu:
Barang siapa yang bersetubuh dengan perempuan yang belum berumur 15 tahun.........”
Jadi tidaklah mungkin “barang siapa” tersebut ditujukan kepada orang yang berjenis kelamin perempuan.                                                      
            Letak patut dipidana pada kejahatan pasal 287 ini adalah pada umur anak yang masih di bawah umur atau belum waktunya untuk kawin.Yang tujuannya untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan hukum anak dari perbuatan-perbuatan yang melanggar kesusilaan.
Adapun pengertian belum waktunya untuk dikawin adalah: belum waktunya disetubuhi, dan indikator belum waktunya disetubuhi ini ada pada bentuk fisik dan secara psikis. Secara fisik tampak pada wajah atau tubuhnya yang masih wajah anak-anak atau juga tubuhnya yang masih kecil, seperti tubuh anak-anak pada umumnya, belum tumbuh buah dada atau yang lainya.
Sedangkan secara psikis dapat dilihat pada kelakuannya, misalnya masih senang bermain-main seperti pada umumnya anak-anak yang masih di bawah umur.[7] Dan  yang dimaksud dengan perempuan di luar kawin adalah: perempuan yang bukan isterinya, atau dengan kata lain antara laki-laki yang melakukan  persetubuhan dengan perempuan yang masih di bawah umur tersebut tidak terikat dalam perkawinan yang sah menurut Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yang menurut Undang-Undang tersebut bahwa perkawinan yang sah adalah: perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaan. Selain itu, Undang-Undang juga mengatur tentang batasan umur dalam sebuah  perkawinan. Maksudnya seorang perempuan  baru diberi izin untuk melakukan perkawinan apabila umurnya sekurang-kurangnya telah mencapai 16 tahun pasal 7 ayat (1). Apabila terjadi perkawinan terhadap anak di bawah umur dan dalam perkawinan itu menyebabkan luka berat atau kematian maka akan dikenakan hukuman dengan ancaman pidana penjara maksimal 12 tahun dan minimal 4 bulan sebagaimana yang telah ditetapkan  dalam pasal 288 KUHP ayat (1),(2) dan                                                              (3) yang bunyinya:

Ayat (1)   Barang siapa dalam perkawinan  bersetubuh  dengan seorang wanita   yang  
                 diketahuinya atau  sepatutnya harus diduganya  bahwa  yang bersangkutan
                 belum waktunya  untuk  di kawin, apabila perbuatan mengakibatkan  luka-
                 luka diancam dengan pidana paling lama empat bulan. 
Ayat (2)   Jika  perbuatan  mengakibatkan  luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara    
                 paling lama delapan tahun.
Ayat (3)  Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas Tahun.[8]
Adapun yang dimaksud dengan luka berat adalah  luka lain  di luar robeknya selaput dara seperti tidak berfungsinya alat reproduksi atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau bahkan menimbulkan bahaya maut.
2. Pasal 292 KUHP, yang bunyinya:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama           kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”.
Dari bunyi pasal tersebut di atas, dapat dirincikan unsur-unsur tindak pidananya adalah  sebagai berikut:
  1. Unsur- unsur Objektif:
1)      Perbuatannya yaitu perbuatan cabul.
2)       Pembuatnya yaitu  orang dewasa.
3)      Objeknya yaitu  orang sesama jenis  kelamin.

  1. Unsur Subjektif:
Sedangkan unsur subjektifnya ada satu, yaitu: yang diketahuinya belum   dewasa atau patut diduganya belum dewasa.
            Sama seperti persetubuhan, untuk kejahatan ini diperlukan dua orang yang terlibat. Kalau persetubuhan terjadi antara orang yang berlainan jenis, tetapi pada perbuatan ini terjadi di antara dua orang yang sesama kelamin baik itu lelaki dengan lelaki (sodomi atau homoseksual) ataupun perempuan dengan perempuan (lesbian).
            Walaupun terjadi antara dua orang yang sesama  kelamin, tetapi yang menjadi subjek hukum kejahatan dan dibebani tanggung jawab pidana adalah siapa yang di antara dua orang itu yang telah dewasa, sedangkan yang lain haruslah belum dewasa. Pembebanan tanggung jawab pada pihak orang yang telah dewasa adalah wajar karena rasio dibentuknya kejahatan ini  adalah untuk melindungi kepentingan hukum orang yang belum dewasa dari perbuatan - perbuatan yang melanggar kesusilaan umum.
Mengenai kriteria belum dewasa, dapat dilihat menurut umur. Adapun yang dimaksud dengan belum dewasa menurut pasal 292 ini sama dengan belum dewasa menurut pasal 330 BW yakni belum berumur 21 tahun dan belum pernah menikah. Orang yang sudah pernah menikah dianggap sudah dewasa walaupun umurnya belum 21 tahun.[9]


[1]Adami Chazawi “Pembelajaran Hukum Pidana I”(PT Raja Grafindo Persada ,Jakarta. 2005) hlm 83.
[2] I b i d, hlm 84.
[3] I b i d  hlm 85.
[4] R.Soenarto Soe rodibroto, S.H.KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Raad,Edisi V,( Jakarta: PT.Grafindo Persada,2003) hlm 36.
[5] I b i d, hlm 173.
[6] S.R Sianturi op.cit hlm 231.
[7] Adami Chazawi,Tindak Pidana Mengenai Kesopanan,(Jakarta: PT. Raja Grafindo.2005), hlm 72.
[8]   R.Soenarto Soe rodibroto, S.H.KUHP dan KUHAP Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Raad,Edisi V,( Jakarta: PT.Grafindo Persada,2003) hlm 173.

[9] Adami Chazawi,op.cit. hlm 89..

No comments:

Post a Comment