Oleh: Agus Raharjo, S.H., M.Hum
A. Pendahuluan
Perkembangan
yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan
internet yang multifungsi. Perkembangan ini membawa kita ke ambang
revolusi keempat dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi
pengetahuam umat manusia yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas (borderless
way of thinking). Percepatan teknologi semakin
lama semakin supra yang menjadi sebab material perubahan yang terus menerus
dalam semua interaksi dan aktivitas masyarakat informasi.
Internet
merupakan big bang kedua – setelah big bang pertama yaitu material
big bang menurut versi Stephen Hawking – yang merupakan knowledge
big bang dan ditandai dengan komunikasi elektromagentoopis via satelit
maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefoni yang telah ada dan
akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan.
Internet merupakan symbol material
embrio masyarakat global. Internet membuat globe dunia, seolah-olah
menjadi seperti hanya selebar daun kelor. Era informasi ditandai dengan
aksesibilitas informasi yang amat tinggi. Dalam era ini, informasi merupakan
komoditi utama yang diperjualbelikan sehingga akan muncul berbagai network
& information company yang akan memperjualbelikan berbagai fasilitas
bermacam jaringan dan berbagai basis data informasi tentang berbagai hal yang
dapat diakses oleh pengguna dan pelanggan. Semua itu
membawa masyarakat ke dalam suasana yang disebut oleh John Naisbitt, Nana
Naisbitt dan Douglas Philips sebagai Zona Mabuk Teknologi.
Internet – yang menghadirkan cyberspace
dengan realitas virtualnya – menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan
kemudahan. Akan tetapi di balik itu, timbul persoalan berupa kejahatan
yang dinamakan cyber crime, baik sistem jaringan komputernya itu sendiri
yang menjadi sasaran maupun komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk
melakukan kejahatan. Tentunya jika kita melihat bahwa informasi itu
sendiri telah menjadi komoditi maka upaya untuk melindungi aset tersebut sangat
diperlukan. Salah satu upaya perlindungan adalah melalui hukum pidana,
baik dengan bersaranakan penal maupun non penal.
Buku yang ditulis oleh Prof. Dr.
Barda Nawawi Arief, S.H., yang berjudul Tindak Pidana Mayantara,
Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, dapatlah disebut sebagai
karya rintisan, karena dari sekian banyak karya mengenai cybercrime, hanya
buku tersebut yang secara khusus membahas mengenap aspek hukum pidana, baik
hukum pidana substantif sampai pada kebijakannya. Tulisan di bawah ini
berupaya untuk melihat dan mengkaji isi buku tersebut dalam perspektif yang
berbeda.
B. Kebijakan Kriminalisasi Cybercrime
Kebijakan kriminalisasi merupakan
suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan tindak
pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat
dipidana). Jadi pada hakekatnya, kebijakan kriminalisasi merupakan bagian
dari kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana
hukum pidana (penal), dan oleh karena itu termasuk bagian dari
“kebijakan hukum pidana” (penal policy), khususnya kebijakan
formulasinya.
Pertanyaan tentang kriminalisasi
muncul ketika kita dihadapkan pada suatu perbuatan yang merugikan orang lain
atau masyarakat yang hukumnya belum ada atau belum ditemukan. Berkaitan
dengan kebijakan kriminalisasi terhadap perbuatan yang masuk dalam kategori cybercrime
sebagai tindak pidana sebagaimana diulas dalam buku tersebut di atas, ada
beberapa tanggapan yang hendak dikemukakan, yaitu:
- Persoalan
kriminalisasi timbul karena dihadapan kita terdapat perbuatan yang
berdimensi baru, sehingga muncul pertanyaan adakah hukumnya untuk
perbuatan tersebut. Kesan yang muncul kemudian adalah terjadinya
kekosongan hukum yang akhirnya mendorong kriminalisasi terhadap perbuatan
tersebut. Sebenarnya dalam persoalan cybercrime,
tidak ada kekosongan hukum, ini terjadi jika digunakan metode penafsiran
yang dikenal dalam ilmu hukum dan ini yang mestinya dipegang oleh aparat
penegak hukum dalam menghadapi perbuatan-perbuatan yang berdimensi baru
yang secara khsusus belum diatur dalam undang-undang.
Persoalan menjadi lain jika ada keputusan politik untuk menetapkan cybercrime
dalam perundang-undangan tersendiri di luar KUHP atau undang-undang khusus
lainnya. Sayangnya dalam persoalan mengenai penafsiran ini,
para hakim belum sepakat mengenai kateori beberapa perbuatan.
Misalnya carding, ada hakim yang menafsirkan masuk dalam kateori
penipuan, ada pula yang memasukkan dalam kategori pencurian. Untuk
itu sebetulnya perlu dikembangkan pemahaman kepada para hakim mengenai
teknologi informasi agar penafsiran mengenai suatu bentuk cybercrime
ke dalam pasal-pasal dalam KUHP atau undang-undang lain tidak
membingungkan.
- Dilihat
dari pengertian kriminalisasi, sesungguhnya kriminalisasi tidak harus
berupa membuat undang-undang khusus di luar KUHP, dapat pula dilakukan
tetap dalam koridor KUHP melalui amandemen. Akan tetapi proses
antara membuat amandemen KUHP dengan membuat undang-undang khusus hampir
sama, baik dari segi waktu maupun biaya, ditambah dengan ketidaktegasan
sistem hukum kita yang tidak menganut sistem kodifikasi secara mutlak,
menyebabkan munculnya bermacam-macam undang-undang khusus.
- Kriminalisasi
juga terkait dengan persoalan harmonisasi, yaitu harmonisasi
materi/substansi dan harmonisasi eksternal (internasional/global) – lihat
hal. 43-44. Mengenai harmonisasi substansi, bukan hanya KUHP yang
akan terkena dampak dari dibuatnya undang-undang tentang cybercrime.
Kementerian Komunikasi dan Informasi RI mencatat ada
21 undang-undang dan 25 RUU yang akan terkena dampak dari undang-undang
yang mengatur cybercrime. Ini
merupakan pekerjaan besar di tengah kondisi bangsa yang belum stabil
secara politik maupun ekonomi. Harmonisasi eksternal berupa penyesuaian perumusan
pasal-pasal cybercrime dengan ketentuan serupa dari negara lain,
terutama dengan Draft Convention on Cyber Crime dan pengaturan cybercrime
dari negara lain. Harmonisasi ini telah dilaksanakan baik
dalam RUU PTI, RUU IETE, RUU ITE, RUU TPTI maupun dalam RUU KUHP. Judge
Stenin Schjolberg dan Amanda M. Hubbard mengemukakan dalam persoalan cybercrime
ini diperlukan standardisasi dan harmoonisiasi dalam tiga area, yaitu legislation,
criminal enforcement dan judicial review.
Ini menunjukkan bahwa persoalan harmonisasi merupakan persoalan yang tidak
berhenti dengan diundangkannya undang-undang yang mengatur cybercrime,
lebih dari itu adalah kerjasama dan harmonisasi dalam penegakan hukum dan
peradilannya.
- Berkaitan
dengan harmonisasi substansi, ada yang bagian yang tak disinggung dalam
buku tersebut, terutama mengenai jenis pidana. Mengingat cybercrime
merupakan kejahatan yang menggunakan atau bersaranakan teknologi komputer,
maka diperlukan modifikasi jenis sanksi pidana bagi pelakunya. Jenis
sanksi pidana tersebut adalah tidak diperbolehkannya/dilarang sipelaku
untuk menggunakan komputer dalam jangka waktu tertentu. Bagi pengguna
komputer yang sampai pada tingkat ketergantungan, sanksi atau larangan
untuk tidak menggunakan komputer merupakan derita yang berat. Jangan
sampai terulang kembali kasus Imam Samudera – terpidana kasus terorisme
Bom Bali I – yang dengan leluasa menggunakan laptop di dalam selnya.
- Setelah
harmonisasi dilakukan, maka langkah yang selanjutnya adalah melakukan
perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara. Cybercrime
dapat dilakukan lintas negara sehingga perjanjian ekstradisi dan kerjasama
dengan negara lain perlu dilakukan terutama untuk menentukan yurisdiksi
kriminal mana yang hendak dipakai. Pengalaman menunjukkan karena
ketiadaan perjanjian ekstradisi, kepolisian tidak dapat membawa pelaku
kejahatan kembali ke tanah air untuk diadili.
- Hal
lain yang luput dari perhatian adalah pertanggungjawaban Internet Service
Provider (ISP) sebagai penyedia layanan internet dan Warung Internet
(Warnet) yang menyediakan akses internet. Posisi keduanya dalam cybercrime
cukup penting sebagai penyedia dan jembatan menuju jaringan informasi
global, apalagi Warnet telah ditetapkan sebagai ujung tombak untuk
mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Bentuk
pertanggungjawaban pidana apa yang mesti mereka terima jika terbukti
terlibat dalam cybercrime. Apakah pertanggungjawabannya
dibebankan secara individual atau dianggap sebagai suatu korporasi.
Ini akan memiliki konsekuensi tersendiri.
C. Pencegahan dan Penanggulangan Cybercrime
Dengan Sarana Non Penal
Dalam buku tersebut di atas, memang
disinggung tetapi tidak secara mendalam mengenai pencegahan dan penanggulangan cybercrime
dengan menggunakan sarana non penal, akan tetapi upaya-upaya non penal
merupakan salah satu upaya yang strategis sehingga pembahasan dari aspek ini
perlu dilakukan. Cybercrime merupakan kejahatan yang dilakukan
dengan dan memanfaatkan teknologi, sehingga pencegahan dan penanggulangan
dengan sarana penal tidaklah cukup. Untuk itu diperlukan sarana lain
berupa teknologi itu sendiri sebagai sarana non penal. Teknologi itu
sendiripun sebetulnya belum cukup jika tidak ada kerjasama dengan individu
maupun institusi yang mendukungnya. Pengalaman negara-negara lain
membuktikan bahwa kerjasama yang baik antara pemerintah, aparat penegak hukum,
individu maupun institusi dapat menekan terjadinya cybercrime.
Tidak ada jaminan keamanan di cyberspace,
dan tidak ada sistem keamanan computer yang mampu secara terus menerus
melindungi data yang ada di dalamnya. Para hacker akan terus
mencoba untuk menaklukkan sistem keamanan yang paling canggih, dan merupakan
kepuasan tersendiri bagi hacker jika dapat membobol sistem keamanan
komputer orang lain. Langkah yang baik adalah dengan selalu memutakhirkan
sistem keamanan computer dan melindungi data yang dikirim dengan teknologi yang
mutakhir pula.
Pada persoalan cyberporn atau
cyber sex (lihat hal. 171-195), persoalan pencegahan dan
penanggulangannya tidaklah cukup hanya dengan melakukan kriminalisasi yang
terumus dalam bunyi pasal. Diperlukan upaya lain agar pencegahannya dapat
dilakukan secara efektif. Pengalaman beberapa Negara menunjukkan bahwa
kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum, LSM/NGO dan masyarakat dapat
mengurangi angka kriminalitas. Berikut pengalaman beberapa Negara itu:
1. Di Swedia, perusahaan keamanan
internet, NetClean Technology bekerjasama dengan Swedish National Criminal
Police Department dan NGO ECPAT, mengembangkan program software untuk
memudahkan pelaporan tentang pornografi anak. Setiap orang dapat mendownload
dan menginstalnya ke computer. Ketika seseorang meragukan apakah material
yang ada di internet itu legal atau tidak, orang tersebut dapat menggunakan
software itu dan secara langsung akan segera mendapat jawaban dari ECPAT
Swedia.
2. Di Inggris, British Telecom
mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed untuk memblok situs pornografi
anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situ situ, British Telecom
menggunakan daftar hitam dari Interent Watch Foundation (IWF). Saat ini
British Telecom memblok kira-kira 35.000 akses illegal ke situs tersebut.
Dalam memutuskan apakah suatu situ hendak diblok atau tidak, IWF bekerjasama
dengan Kepolisian Inggris. Daftar situ itu disebarluaskan kepada setiap
ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan
operator mobile phone.
3.
Norwegia
mengikuti langkah Inggris dengan bekerjasama antara Telenor dan Kepolisian
Nasional Norwegia, Kripos. Kripos menyediakan daftar situs child
pornography dan Telenor memblok setiap orang yang mengakses situ situ.
Telenor setiap hari memblok sekitar 10.000 sampai 12.000 orang yang mencoba
mengunjungi situ situ.
4.
Kepolisian
Nasional Swedia dan Norwegia bekerjasama dalam memutakhirkan daftar situs child
pornography dengan bantuan ISP di Swedia. Situs-situs tersebut dapat
diakses jika mendapat persetujuan dari polisi.
5. Mengikuti
langkah Norwegia dan Swedia, ISP di Denmark mulai memblok situs child
pornography sejak Oktober 2005. ISP di sana bekerjasama dengan
Departemen Kepolisian Nasional yang menyediakan daftar situs untuk
diblok. ISP itu juga bekerjasama dengan NGO Save the Children
Denmark. Selama bulan pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses
setiap hari.
Sebenarnya Internet Service Provider
(ISP) di Indonesia juga telah melakukan hal serupa, akan tetapi jumlah situs
yang diblok belum banyak sehingga para pengakses masih leluasa untuk masuk ke
dalam situs tersebut, terutama situs yang berasal dari luar negeri. Untuk
itu ISP perlu bekerjasama dengan instansi terkait untuk memutakhirkan daftar
situs child pornography yang perlu diblok.
Faktor penentu lain dalam pencegahan
dan penanggulangan cybercrime dengan sarana non penal adalah persoalan
tentang etika. Dalam berinteraksi dengan orang lain menggunakan
internet, diliputi oleh suatu aturan tertentu yang dinamakan Nettiquette
atau etika di internet. Meskipun belum ada
ketetapan yang baku mengenai bagaimana etika berinteraksi di internet, etika
dalam berinteraksi di dunia nyata (real life) dapat dipakai sebagai
acuan.
D. Penanganan Cybercrime di
Indonesia
Meski Indonesia
menduduki peringkat pertama dalam cybercrime pada tahun 2004, akan
tetapi jumlah kasus yang diputus oleh pengadilan tidaklah banyak. Dalam hal
ini angka dark number cukup besar dan data yang dihimpun oleh Polri juga
bukan data yang berasal dari investigasi Polri, sebagian besar data tersebut
berupa laporan dari para korban. Ada beberapa sebab mengapa penanganan
kasus cybercrime di Indonesia tidak memuaskan:
- Cybercrime merupakan kejahatan dengan
dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya
memahami apa itu cybercrime. Dengan kata lain kondisi sumber
daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.
- Ketersediaan
dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi
penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik
di dalam maupun luar negeri.
- Ketiadaan
Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya
besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri
harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang
ditimbulkan oleh hacking tersebut.
- Citra
lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah
dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan
untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
- Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian
rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang
kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem
komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja
perusahaan dan web masternya.
Upaya
penanganan cybercrime membutuhkan keseriusan semua pihak mengingat
teknologi informasi khususnya internet telah dijadikan sebagai sarana untuk
membangun masyarakat yang berbudaya informasi. Keberadaan undang-undang
yang mengatur cybercrime memang diperlukan, akan tetapi apalah arti
undang-undang jika pelaksana dari undang-undang tidak memiliki kemampuan atau
keahlian dalam bidang itu dan masyarakat yang menjadi sasaran dari
undang-undang tersebut tidak mendukung tercapainya tujuan pembentukan hukum
tersebut.
E.
Simpulan
Buku Prof.
Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., menawarkan sejumlah wacana pemikiran dalam
pengembangan hukum pidana, khususnya cybercrime. Dalam persoalan
mengenai kebijakan kriminalisasi, sayangnya buku tersebut tidak secara tegas
menentukan dimasa mendatang mana yang sebaiknya digunakan untuk mengatur cybercrime,
apakah RUU ITE atau RUU KUHP. Persoalannya adalah apabila kedua RUU
itu disetujui dan diundangkan bukankan aturan mengenai cybercrime akan redundant.
Pencegahan dan
penanggulangan cybercrime menjadi relevan untuk dikemukakan – meskipun
dalam buku tersebut tidak dibicarakan secara panjang lebar – di tengah kondisi
hukum dan peraturan yang belum juga diundangkan. Apalagi keterbatasan
kemampuan sumber daya manusia aparat penegak hukum dalam menangani cybercrime
dan terbatasnya anggaran, pilihan untuk melakukan self protection
terhadap data atau informasi yang terdapat dalam jaringan komputer merupakan
ujung tombak dalam pencegahan dan penanggulangan cybercrime.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda
Nawawi, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
Bandung: Citra Aditya;
---------------------------,
2006, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada;
Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum
Teknologi dan Informasi, BPHN Departemen Kehakiman RI, 1995/1996
Harnad, Steven, Post-Gutenberg
Galaxy: The Fourth Revolution in the Means of Production of Knowledge, Public-Access
Computer System Review 2 (1): 39-53, versi elektronik dapat dibaca pada http://cogprints.org/1580/00/harnad91.postgutenberg.html.
Kementerian
Komunikasi dan Informasi RI, RUU Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagai
Infrastruktur Fundamental Pengembangan Sisfonas, Jakarta, 28 Juni 2005.
Mahayani,
Dimitri, 2000, Menjemput Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat
Menuju Era Global, Bandung: Rosda;
Naisbitt, John;
Nasibitt, Nana; dan Douglas Philips, 2001, High Tech, High Touch, Pencarian
Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Bandung: Mizan, Bandung;
Nitibaskara,
Tb. Ronny R., Problem Yuridis Cybercrime, Makalah pada Seminar tentang
Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000
Schjolberg, Judge Stenin dan
Hubbard, Amanda M., Harmonizing National Legal Approaches on Cybercrime, WSIS
Thematic Meeting on Cybersecurity, ITU, Geneva, 28 June-1July 2005, Document:
CYB/04, 10 June 2005, dapat dijumpai di http://www.itu.int/osg/cybersecurity//doc/Background_
Paper_Harmonizing_National_and_Legal_Approaches_on_Cybercrime.pdf
Shea, Virginia, 2004, Netiquette,
San Fransisco: Albion Book, dapat dijumpai di http://www.albion.com/nettiquette/book/
Sudarto, 1986, Hukum
dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni;
The Cybercrime Convention Committee
(T-CY), Strengthening Co-Operation Between Law Enforcement and the Private
Sector, Examples of How the Private Sector has Blocked Child Pornographic
Sites, Strasbourg, 20 February 2006, dapat dijumpai di http://www.coe.int/t/e/legal_affairs/legal_co-operation/combating_
economic_crime/6_cybercrime/t-cy/T-CY_2006_04-e-child.pdf
Makalah disampaikan pada Bedah Buku “Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan
Cybercrime Di Indonesia” (karya Barda Nawawi Arief, 2006, Jakarta: Rajawali
Press), diselenggarakan dalam rangka Bulan Kunjung Perpustakaan oleh
Perpustakaan FH Undip Semarang, 12 September 2006
Steven Harnad, Post-Gutenberg Galaxy: The Fourth Revolution in the Means of
Production of Knowledge, Public-Access Computer System Review 2 (1): 39-53,
versi elektronik dapat dibaca pada http://cogprints.org/1580/00/harnad91.postgutenberg.html. Lihat juga Dimitri Mahayana, Menjemput
Masa Depan, Futuristik dan Rekayasa Masyarakat Menuju Era Global, Rosda,
Bandung, 2000, hal. 24 – 25.
John
Nasibitt, Nana Naisbitt dan Douglas Philips, High Tech, High Touch,
Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Mizan, Bandung,
2001, hal. 23-24.
Barda
Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan,
Bandung: Citra Aditya, 2005, hal. 126. Lihat juga dalam Barda Nawawi
Arief, Tindak Pidana Mayantara, Perkembangan Kajian Cybercrime di Indonesia,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006, hal. 90. Lihat juga pengertian kriminalisasi
dari Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hal. 32 dan
151.
Kesan
ini muncul ketika kita membaca tulisan Tb. Ronny R. Nitibaskara, Problem
Yuridis Cybercrime, Makalah pada Seminar tentang Cyber Law, diselenggarakan
oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hal. 2 dan 5.
Upaya
menafsirkan cybercrime ke dalam perundang-undangan khususnya KUHP telah
dilakukan baik oleh institusi maupun individual. Lihat Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum
Teknologi dan Informasi, BPHN Departemen Kehakiman RI, 1995/1996, hal.
32-34.
Lihat dalam Kementerian Komunikasi dan Informasi RI, RUU Informasi dan
Transaksi Elektronik Sebagai Infrastruktur Fundamental Pengembangan Sisfonas, Jakarta,
28 Juni 2005.
Judge Stenin
Schjolberg dan Amanda M. Hubbard, Harmonizing National Legal Approaches on
Cybercrime, WSIS Thematic Meeting on Cybersecurity, ITU, Geneva, 28
June-1July 2005, Document: CYB/04, 10 June 2005, dapat dijumpai di http://www.itu.int/osg/cybersecurity//doc/Background_Paper_Harmonizing_National_and_Legal_Approaches_on_Cybercrime.pdf
Data diambilkan
dari The Cybercrime Convention Committee (T-CY), Strengthening Co-Operation
Between Law Enforcement and the Private Sector, Examples of How the Private
Sector has Blocked Child Pornographic Sites, Strasbourg, 20 February 2006,
dapat dijumpai di http://www.coe.int/t/e/legal_affairs/legal_co-operation/combating_economic_crime/6_
cybercrime/t-cy/T-CY_2006_04-e-child.pdf
Lihat misalnya dalam
Virginia Shea, Netiquette, San Fransisco: Albion Book, 2004, dapat
dijumpai di http://www.albion.com/nettiquette/book/
No comments:
Post a Comment