Penghukuman
atau yang lebih dikenal dengan pemidanaan atau dengan bahasa lainnya disebutkan
pertanggungjawaban pidana, diartikan oleh Rescue
Pound sebagai suatu bentuk kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan
diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Menurutnya juga bahwa
pertangungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum
semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan
yang ada dalam suatu masyarakat.[1]
Pertanggungjawaban
pidana atau penghukuman dalam Islam diartikan sebagai pembebanan terhadap
seseorang dengan hasil atau akibat perbuatan atau tidak ada perbuatan yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan
akibat dari perbuatannya itu.[2]
Pembebanan
tersebut dikarenakan perbuatan yang dilakukannya itu adalah menimbulkan sesuatu
yang bertentangan dengan hukum, dalam artian perbuatan yang dilarang secara
syar’i, baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga
dikarenakan perbuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak
yang timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang lain
secara paksa atau dipaksakan.[3]
Dapat dianggap adanya
pertanggungjawaban pidana, jika seseorang itu memenuhi tiga syarat, yaitu: 1)
adanya perbuatan terlarang, 2) mempunyai keinginan dan kemauan, dan 3)
mengetahui akibatnya atau sadar akan perbuatan yang dilakukan.
Djazuli, dalam bukunya Fiqh Jinayah, menyebutkan bahwa
pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga prinsip, yaitu:[4]
1. Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan
perbuatan yang diwajibkan.
2. Perbuatan tersebut dikerjakan atas kemauan sendiri,
artinya sipelaku memiliki pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak
melakukan perbuatan tersebut.
3. Sipelaku mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.
Masyarakat memandang bahwa perbuatan
yang dilarang itu merupakan perbuatan yang dapat membahayakan sistem masyarakat
itu sendiri, membahayakan aqidah, membahayakan harta dan kehormatan, kehidupan
individu maupun sosial, juga menyangkut kemaslahatan individu dan tatanan
masyarakat. Setiap perbuatan yang dilarang dalam hukum Islam bukan hanya karena
zatnya akan tetapi membendung akibat buruk dan demi melindungi masyarakat dari
kerusakan serta memelihara tatanan masyarakat dari keruntuhan. Tujuan
pengharaman suatu perbuatan adalah untuk kemaslahatan masyarakat, sedangkan
tujuan penetapan hukuman adalah sebagai sarana untuk melindungi masyarakat
serta sistemnya.
Diantara beberapa firman Allah
disebutkan di dalam Al-qur’an sebagai dasar penghukuman yaitu:
1.
Surat Al-Anfal;
Ayat 38
@è%
z`Ï%©#Ïj9
(#ÿrãxÿ2
bÎ)
(#qßgtG^t
öxÿøóã
Oßgs9
$¨B
ôs%
y#n=y
bÎ)ur
(#rßqãèt
ôs)sù
ôMÒtB
àM¨Yß
úüÏ9¨rF{$#
ÇÌÑÈ
Artinya: “Katakanlah kepada
orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya),
niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu;
dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah
(Allah) sebagaimana orang-orang dahulu.”
2.
Surat Al Baqarah;
Ayat 286
w
ß#Ïk=s3ã
ª!$#
$²¡øÿtR
wÎ)
$ygyèóãr
4
$ygs9
$tB
ôMt6|¡x.
$pkön=tãur
$tB
ôMt6|¡tFø.$#
3
Artinya: “Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.”
3.
Surat Al-An’am;
Ayat 19
ö@è%
r&
>äóÓx«
çt9ø.r&
Zoy»pky
(
È@è%
ª!$#
(
7Íky
ÓÍ_øt/
öNä3oY÷t/ur
4
zÓÇrré&ur
¥n<Î)
#x»yd
ãb#uäöà)ø9$#
Nä.uÉRT{
¾ÏmÎ/
.`tBur
x÷n=t/
4
öNä3§Yάr&
tbrßpkô¶tFs9
cr&
yìtB
«!$#
ºpygÏ9#uä
3t÷zé&
4
@è%
Hw
ßpkôr&
4
ö@è%
$yJ¯RÎ)
uqèd
×m»s9Î)
ÓÏnºur
ÓÍ_¯RÎ)ur
ÖäüÌt/
$®ÿÊeE
tbqä.Îô³è@
ÇÊÒÈ
Artinya: “Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat
persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". dia menjadi saksi antara
Aku dan kamu. dan Al Quran Ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku memberi
peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya).
apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping
Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah:
"Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya Aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)”.
4.
Surat Al-Isra’;
Ayat 15
Ç`¨B
3ytF÷d$#
$yJ¯RÎ*sù
ÏtGöku
¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9
(
`tBur
¨@|Ê
$yJ¯RÎ*sù
@ÅÒt
$pkön=tæ
4
wur
âÌs?
×ouÎ#ur
uøÍr
3t÷zé&
3
$tBur
$¨Zä.
tûüÎ/ÉjyèãB
4Ó®Lym
y]yèö6tR
Zwqßu
ÇÊÎÈ
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;
dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul.”
Nash-nash
di atas dengan jelas berisi ketentuan tidak ada suatu tindak pidana kecuali
setelah ada penjelasan dan tidak ada hukuman kecuali setelah ada peringatan dan
pemberitahuan terlebih dahulu. Allah S.W.T juga tidak menghukum manusia kecuali
setelah menerangkan dan memperingatkan dengan perantaraan Rasul-Rasul NYA. Allah
juga tidak akan memberikan beban kepada manusia kecuali beban yang mampu
diemban oleh manusia itu sendiri. Setiap perbuatan manusia akan mendapatkan
balasan, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan jahat sekalipun, di dunia
maupun akhirat.[5]
Ada
suatu kaidah di dalam fiqh Islam yaitu “Tidak ada hukum bagi perbuatan manusia
sampai adanya suatu aturan yang menetapkannya”, “hukum asal sesuatu itu adalah
boleh sampai datang petunjuk yang melarangnya”.[6]
Di
kalangan para ulama, asas legalitas itu adalah konsekuensi logis dari
persyaratan seorang mukallaf dan persyaratan perbuatan mukallaf. Salah satu
syarat seorang mukallaf adalah mampu memahami dalil perbuatan. Syarat ini sudah
barang tentu mengharuskan aturan-aturan tersebut ada lebih dahulu untuk bisa
dipahami dan dimengerti. Perbuatan yang diwajibkan atau dilarang itu harus
diketahui melalui aturannya agar bisa di taati dengan cara meninggalkan yang
dilarang dan melakukan yang diwajibkan, dengan mengharuskan adanya aturan lebih
dahulu, dengan suatu prinsip “tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa
adanya aturan”.[7]
[1] Romli Atmasamita,
Perbandingan Hukum Pidana, Bandung:
Mandar Maju, 2000, hlm. 65.
[2] Ahmad
Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 154.
[3] Ibid.
[4] A.Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo
Perkasa, 2000), hlm. 242.
[5] Abdul Qadir
Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam,
(Bogor: Kharisma Ilmu, 2007), hlm. 136.
[6] Topo
Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam,
Penerapan Syari’at Islam Dalam Konteks Modernitas, (Bandung: Asyaamil,
2000), hlm. 117.
No comments:
Post a Comment