Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Thursday, November 3, 2011

Pengertian dan Dasar Hukum Penghukuman


Penghukuman atau yang lebih dikenal dengan pemidanaan atau dengan bahasa lainnya disebutkan pertanggungjawaban pidana, diartikan oleh Rescue Pound sebagai suatu bentuk kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Menurutnya juga bahwa pertangungjawaban yang dilakukan tersebut tidak hanya menyangkut masalah hukum semata akan tetapi menyangkut pula masalah nilai-nilai moral ataupun kesusilaan yang ada dalam suatu masyarakat.[1]
Pertanggungjawaban pidana atau penghukuman dalam Islam diartikan sebagai pembebanan terhadap seseorang dengan hasil atau akibat perbuatan atau tidak ada perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat dari perbuatannya itu.[2]
Pembebanan tersebut dikarenakan perbuatan yang dilakukannya itu adalah menimbulkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum, dalam artian perbuatan yang dilarang secara syar’i, baik dilarang melakukan atau dilarang meninggalkan. Pembebanan juga dikarenakan perbuatan itu sendiri dikerjakan berdasarkan keinginan dan kehendak yang timbul dalam dirinya bukan dorongan yang ditimbulkan oleh orang lain secara paksa atau dipaksakan.[3]

            Dapat dianggap adanya pertanggungjawaban pidana, jika seseorang itu memenuhi tiga syarat, yaitu: 1) adanya perbuatan terlarang, 2) mempunyai keinginan dan kemauan, dan 3) mengetahui akibatnya atau sadar akan perbuatan yang dilakukan.
            Djazuli, dalam bukunya Fiqh Jinayah, menyebutkan bahwa pertanggungjawaban pidana didasarkan kepada tiga prinsip, yaitu:[4]
1.      Melakukan perbuatan yang dilarang dan atau meninggalkan perbuatan yang diwajibkan.
2.      Perbuatan tersebut dikerjakan atas kemauan sendiri, artinya sipelaku memiliki pilihan yang bebas untuk melaksanakan atau tidak melakukan perbuatan tersebut.
3.      Sipelaku mengetahui akan akibat perbuatan yang dilakukan.
            Masyarakat memandang bahwa perbuatan yang dilarang itu merupakan perbuatan yang dapat membahayakan sistem masyarakat itu sendiri, membahayakan aqidah, membahayakan harta dan kehormatan, kehidupan individu maupun sosial, juga menyangkut kemaslahatan individu dan tatanan masyarakat. Setiap perbuatan yang dilarang dalam hukum Islam bukan hanya karena zatnya akan tetapi membendung akibat buruk dan demi melindungi masyarakat dari kerusakan serta memelihara tatanan masyarakat dari keruntuhan. Tujuan pengharaman suatu perbuatan adalah untuk kemaslahatan masyarakat, sedangkan tujuan penetapan hukuman adalah sebagai sarana untuk melindungi masyarakat serta sistemnya.
            Diantara beberapa firman Allah disebutkan di dalam Al-qur’an sebagai dasar penghukuman yaitu:
1.      Surat Al-Anfal; Ayat 38
@è% z`ƒÏ%©#Ïj9 (#ÿrãxÿŸ2 bÎ) (#qßgtG^tƒ öxÿøóムOßgs9 $¨B ôs% y#n=y bÎ)ur (#rߊqãètƒ ôs)sù ôMŸÒtB àM¨Yß šúüÏ9¨rF{$# ÇÌÑÈ
Artinya: “Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah) sebagaimana orang-orang dahulu.”

2.      Surat Al Baqarah; Ayat 286
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4 $ygs9 $tB ôMt6|¡x. $pköŽn=tãur $tB ôMt6|¡tFø.$# 3
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.”

3.      Surat Al-An’am; Ayat 19
ö@è% r& >äóÓx« çŽt9ø.r& Zoy»pky­ ( È@è% ª!$# ( 7Íky­ ÓÍ_øŠt/ öNä3oY÷t/ur 4 zÓÇrré&ur ¥n<Î) #x»yd ãb#uäöà)ø9$# Nä.uÉRT{ ¾ÏmÎ/ .`tBur x÷n=t/ 4 öNä3§Yάr& tbrßpkôtFs9 žcr& yìtB «!$# ºpygÏ9#uä 3t÷zé& 4 @è% Hw ßpkô­r& 4 ö@è% $yJ¯RÎ) uqèd ×m»s9Î) ÓÏnºur ÓÍ_¯RÎ)ur Öäü̍t/ $®ÿÊeE tbqä.ÎŽô³è@ ÇÊÒÈ
Artinya: “Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". dia menjadi saksi antara Aku dan kamu. dan Al Quran Ini diwahyukan kepadaku supaya dengan dia Aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)”.

4.      Surat Al-Isra’; Ayat 15
Ç`¨B 3ytF÷d$# $yJ¯RÎ*sù ÏtGöku ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur ¨@|Ê $yJ¯RÎ*sù @ÅÒtƒ $pköŽn=tæ 4 Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎ/ÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rasul.”

Nash-nash di atas dengan jelas berisi ketentuan tidak ada suatu tindak pidana kecuali setelah ada penjelasan dan tidak ada hukuman kecuali setelah ada peringatan dan pemberitahuan terlebih dahulu. Allah S.W.T juga tidak menghukum manusia kecuali setelah menerangkan dan memperingatkan dengan perantaraan Rasul-Rasul NYA. Allah juga tidak akan memberikan beban kepada manusia kecuali beban yang mampu diemban oleh manusia itu sendiri. Setiap perbuatan manusia akan mendapatkan balasan, baik itu perbuatan baik maupun perbuatan jahat sekalipun, di dunia maupun akhirat.[5]
Ada suatu kaidah di dalam fiqh Islam yaitu “Tidak ada hukum bagi perbuatan manusia sampai adanya suatu aturan yang menetapkannya”, “hukum asal sesuatu itu adalah boleh sampai datang petunjuk yang melarangnya”.[6]
Di kalangan para ulama, asas legalitas itu adalah konsekuensi logis dari persyaratan seorang mukallaf dan persyaratan perbuatan mukallaf. Salah satu syarat seorang mukallaf adalah mampu memahami dalil perbuatan. Syarat ini sudah barang tentu mengharuskan aturan-aturan tersebut ada lebih dahulu untuk bisa dipahami dan dimengerti. Perbuatan yang diwajibkan atau dilarang itu harus diketahui melalui aturannya agar bisa di taati dengan cara meninggalkan yang dilarang dan melakukan yang diwajibkan, dengan mengharuskan adanya aturan lebih dahulu, dengan suatu prinsip “tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya aturan”.[7]


[1] Romli Atmasamita, Perbandingan Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2000, hlm. 65.
[2] Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 154.

[3] Ibid.

[4] A.Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2000), hlm. 242.
[5] Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (Bogor: Kharisma Ilmu, 2007), hlm. 136.

[6] Topo Santoso, Mengagas Hukum Pidana Islam, Penerapan Syari’at Islam Dalam Konteks Modernitas, (Bandung: Asyaamil, 2000), hlm. 117.
[7] A. Dzajuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2000), hlm. 7-8.

No comments:

Post a Comment