Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Thursday, November 10, 2011

Eksistensi Hukuman Cambuk di Aceh



Secara yuridis, pengaturan syari’at Islam di Aceh didasarkan pada Undang-undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang tersebut menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan syari’at Islam. Hal ini menandakan syari’at Islam merupakan bagian dari kebijakan negara yang diberlakukan di Aceh. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari tanggung jawab Negara.
            Dalam pasal 3 Undang-undang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 44 tahun 1999 juga menyebutkan bahwa pelaksanaan syari’at Islam merupakan keistimewaan bagi Aceh. Keistimewaan yang dimiliki Aceh meliputi; penyelenggaraan kehidupan beragama, adat pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
            Dalam menjalankan keistimewaannya dalam bidang kehidupan beragama, Aceh telah menyusun beberapa qanun yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam, yaitu:
-          Qanun Provinsi Aceh No.11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam.
-          Qanun Provinsi Aceh No.12 tahun 2003 tentang Khamar.

-          Qanun Provinsi Aceh No.13 tahun 2003 tentang Maisir.
-          Qanun Provinsi Aceh No.14 tahun 2003 tentang Khalwat.
Salah satu bentuk hukuman yang disebutkan di dalam qanun tersebut yakni hukuman cambuk. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam Qanun provinsi Aceh No.11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam pada pasal 20 ayat 1: “Barang siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua) tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali.”

Pada pasal selanjutnya yaitu Pasal 21 ayat 1 juga menyebutkan bentuk hukuman cambuk yaitu: “Barang siapa tidak melaksanakan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 (tiga) kali.”
Kemudian hukuman cambuk juga terdapat Pasal 22 ayat 1 yang bunyinya: “Barang siapa yang menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya.” Kemudian pada ayat Ayat 2: “Barang siapa yang makan atau minum di tempat / di depan umum pada siang hari bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 4 (empat) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 2 (dua) kali.”
Hukuman cambuk juga tercantum di dalam qanun provinsi Aceh No.12 tahun 2003 tentang Khamar pada pasal 26: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk.”
Pada pasal 31 ayat 1 menyebutkan tentang wewenang pelaksanaan hukuman cambuk, yang bunyi pasalnya: “‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh jaksa penuntut umum”.
Di dalam qanun No. 12 tahun 2003 juga menyebutkan tempat dilaksanakannya hukuman cambuk sebagaimana terdapat pada Pasal 33 Ayat 1 yang bunyinya: “‘Uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri jaksa penuntut umum dan dokter yang ditunjuk”. Pada ayat 2 dari pasal ini menyebutkan alat yang digunakan dalam melakukan hukuman cambuk, yaitu: “Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 sampai 1 (satu centimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau belah.”
Pada ayat selanjutnya dari pasal 33 yaitu ayat 3 menyebutkan tentang bagian yang dilarang untuk dicambuk, bunyi pasalnya: “Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka leher, dada, dan kemaluan.” Pada Ayat 4 menyebutkan ukuran atau kadar dari sekali cambukan, yaitu: “Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.” Kemudian pada pasal 5 dan 6 membedakan cara pencambukan terhadap terhukum laki-laki dengan terhukum perempuan mulai dari posisi berdiri sampai dengan pakain terhukum, bunyi Ayat 5 adalah: “Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain atasnya.” Ayat 6: “Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.”
Pada pasal 34 menyebutkan: “Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan”. Pasal ini menjelaskan tentang penundaan pelaksanaan hukuman cambuk jika terhukum dalam keadaan sakit.
Selanjutnya di dalam Qanun provinsi Aceh No 13 tahun 2003 tentang Maisir pada Pasal 23 juga menyebutkan tentang hukuman cambuk beserta jumlah pukulannya, bunyi pasalnya yaitu: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 5, diancam dengan ‘uqubat cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.”
Pada pasal 28 ayat 1 juga menyebutkan tentang yang berhak melaksanakan hukuman cambuk, bunyinya: “‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh jaksa penuntut umum.” Kemudian Ayat 2 berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jaksa penuntut umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam qanun ini dan/atau ketentuan yang diatur dalam qanun tentang hukum formil”.
Pasal 30 menyebutkan tentang tempat, alat dan cara yang digunakan dalam pelaksanaan hukuman cambuk, hal ini tergambar jelas pada setip ayat pada pasal ini. Seperti pada Ayat 1 yang bunyinya: “‘Uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri jaksa penuntut umum dan dokter yang ditunjuk”. Kemudian pada Ayat 2 yang berbunyi: “Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 sampai 1 (satu) centimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau belah.” Ayat 3: “Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka leher, dada, dan kemaluan. Ayat 4: “Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.” Ayat 5: “Terhukum laki-laki di cambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain atasnya.” Dan Ayat ke 6: “Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.”
Qanun Provinsi Aceh No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat juga menyebutkan tentang hukuman cambuk, yaitu pada pasal 22 yang berbunyi: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (Sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta), paling sedikit Rp 2.500.000, (dua juta lima ratus ribu rupiah).”
Mengenai wewenang dalam melaksanakan hukuman cambuk dana tatacara pelaksanaannya pada qanun No. 14 ini juga sama dengan aturan pada qanun sebelumnya. Seperti Pasal 26 yang bunyinya: “‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh jaksa penuntut umum”.
Sedangkan Pasal 28 dari qanun No. 14 tahun 2003 mempunyai bunyi atau aturan yang sama dengan qanun No. 13 tahun 2003, tepatnya pada pasal 30. Artinya, tatacara pelaksanaan hukuman cambuk dan juga alat yang digunakan juga sama.
Pasal 29 pada qanun ini juga menyebutkan hal yang sama dengan qanun No. 12 dan 13 tahun 2003 tentang penundaan pecambukan karena terhukum sakit, bunyi pasalnya yaitu: “Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.”
Landasan hukum yang tersebut di atas cukup menjadi dasar yang kuat akan keberadaan hukuman cambuk di Banda Aceh. Sehingga hukuman cambuk telah menjadi hukuman yang berlaku di Banda Aceh dan harus dilaksanakan untuk menjaga pelaksanaan syari’at Islam di Aceh.

No comments:

Post a Comment