Secara
yuridis, pengaturan syari’at Islam di Aceh didasarkan pada Undang-undang No. 11
tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang tersebut menjadi dasar kuat
bagi Aceh untuk menjalankan syari’at Islam. Hal ini menandakan syari’at Islam
merupakan bagian dari kebijakan negara yang diberlakukan di Aceh. Oleh karena
itu dalam pelaksanaannya tidak terlepas dari tanggung jawab Negara.
Dalam pasal 3 Undang-undang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 44 tahun 1999
juga menyebutkan bahwa pelaksanaan syari’at Islam merupakan keistimewaan bagi
Aceh. Keistimewaan yang dimiliki Aceh meliputi; penyelenggaraan kehidupan
beragama, adat pendidikan dan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Dalam menjalankan keistimewaannya
dalam bidang kehidupan beragama, Aceh telah menyusun beberapa qanun yang
mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam, yaitu:
-
Qanun Provinsi Aceh
No.11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan
Syiar Islam.
-
Qanun Provinsi Aceh
No.12 tahun 2003 tentang Khamar.
-
Qanun Provinsi Aceh
No.13 tahun 2003 tentang Maisir.
-
Qanun Provinsi Aceh
No.14 tahun 2003 tentang Khalwat.
Salah
satu bentuk hukuman yang disebutkan di dalam qanun tersebut yakni hukuman
cambuk. Hal ini sebagaimana tercantum di dalam Qanun provinsi Aceh No.11 tahun
2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam
pada pasal 20 ayat 1: “Barang
siapa yang menyebarkan paham atau aliran sesat sebagaimana dimaksud dalam pasal
5 ayat (2) dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali.”
Pada pasal selanjutnya yaitu Pasal 21 ayat 1 juga
menyebutkan bentuk hukuman cambuk yaitu: “Barang
siapa tidak melaksanakan shalat Jum’at tiga kali berturut-turut tanpa uzur
syar’i sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) dihukum dengan ta’zir berupa
hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum
paling banyak 3 (tiga) kali.”
Kemudian hukuman cambuk juga terdapat Pasal 22 ayat
1 yang bunyinya: “Barang siapa yang
menyediakan fasilitas/ peluang kepada orang muslim yang tidak mempunyai uzur
syar’i untuk tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 10 ayat (1) dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling
lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 3 (tiga) juta rupiah atau hukuman
cambuk di depan umum paling banyak 6 (enam) kali dan dicabut izin usahanya.” Kemudian
pada ayat Ayat 2: “Barang siapa yang makan atau minum di tempat / di depan umum
pada siang hari bulan Ramadhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2)
dipidana dengan hukuman ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 4 (empat)
bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 2 (dua) kali.”
Hukuman
cambuk juga tercantum di dalam qanun provinsi Aceh No.12 tahun 2003 tentang
Khamar pada pasal 26: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat
hudud 40 (empat puluh) kali cambuk.”
Pada
pasal 31 ayat 1 menyebutkan tentang wewenang pelaksanaan hukuman cambuk, yang
bunyi pasalnya: “‘Uqubat cambuk
dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh jaksa penuntut umum”.
Di
dalam qanun No. 12 tahun 2003 juga menyebutkan tempat dilaksanakannya hukuman
cambuk sebagaimana terdapat pada Pasal 33 Ayat 1 yang bunyinya: “‘Uqubat cambuk dilakukan di tempat yang
dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri jaksa penuntut umum dan dokter
yang ditunjuk”. Pada ayat 2 dari pasal ini menyebutkan alat yang digunakan
dalam melakukan hukuman cambuk, yaitu: “Pencambukan dilakukan dengan rotan yang
berdiameter 0,75 sampai 1 (satu centimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak
mempunyai ujung ganda atau belah.”
Pada
ayat selanjutnya dari pasal 33 yaitu ayat 3 menyebutkan tentang bagian yang
dilarang untuk dicambuk, bunyi pasalnya: “Pencambukan dilakukan pada bagian
tubuh kecuali kepala, muka leher, dada, dan kemaluan.” Pada Ayat 4 menyebutkan
ukuran atau kadar dari sekali cambukan, yaitu: “Kadar pukulan atau cambukan
tidak sampai melukai.” Kemudian pada pasal 5 dan 6 membedakan cara pencambukan
terhadap terhukum laki-laki dengan terhukum perempuan mulai dari posisi berdiri
sampai dengan pakain terhukum, bunyi Ayat 5 adalah: “Terhukum laki-laki
dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju
tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup
kain atasnya.” Ayat 6: “Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah
60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.”
Pada
pasal 34 menyebutkan: “Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang
membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa
cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan”. Pasal ini menjelaskan
tentang penundaan pelaksanaan hukuman cambuk jika terhukum dalam keadaan sakit.
Selanjutnya
di dalam Qanun provinsi Aceh No 13 tahun 2003 tentang Maisir pada Pasal 23 juga
menyebutkan tentang hukuman cambuk beserta jumlah pukulannya, bunyi pasalnya
yaitu: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 5,
diancam dengan ‘uqubat cambuk di
depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.”
Pada
pasal 28 ayat 1 juga menyebutkan tentang yang berhak melaksanakan hukuman
cambuk, bunyinya: “‘Uqubat cambuk
dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh jaksa penuntut umum.”
Kemudian Ayat 2 berbunyi: “Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), jaksa penuntut umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam
qanun ini dan/atau ketentuan yang diatur dalam qanun tentang hukum formil”.
Pasal
30 menyebutkan tentang tempat, alat dan cara yang digunakan dalam pelaksanaan
hukuman cambuk, hal ini tergambar jelas pada setip ayat pada pasal ini. Seperti
pada Ayat 1 yang bunyinya: “‘Uqubat
cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri
jaksa penuntut umum dan dokter yang ditunjuk”. Kemudian pada Ayat 2 yang
berbunyi: “Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 sampai 1
(satu) centimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau
belah.” Ayat 3: “Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka
leher, dada, dan kemaluan. Ayat 4: “Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai
melukai.” Ayat 5: “Terhukum laki-laki di cambuk dalam posisi berdiri tanpa
penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan
perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain atasnya.” Dan Ayat ke 6:
“Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari
yang bersangkutan melahirkan.”
Qanun
Provinsi Aceh No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat juga menyebutkan tentang
hukuman cambuk, yaitu pada pasal 22 yang berbunyi: “Setiap orang yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling
tinggi 9 (Sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling
banyak Rp 10.000.000,- (sepuluh juta), paling sedikit Rp 2.500.000, (dua juta
lima ratus ribu rupiah).”
Mengenai
wewenang dalam melaksanakan hukuman cambuk dana tatacara pelaksanaannya pada
qanun No. 14 ini juga sama dengan aturan pada qanun sebelumnya. Seperti Pasal
26 yang bunyinya: “‘Uqubat cambuk
dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh jaksa penuntut umum”.
Sedangkan
Pasal 28 dari qanun No. 14 tahun 2003 mempunyai bunyi atau aturan yang sama
dengan qanun No. 13 tahun 2003, tepatnya pada pasal 30. Artinya, tatacara
pelaksanaan hukuman cambuk dan juga alat yang digunakan juga sama.
Pasal
29 pada qanun ini juga menyebutkan hal yang sama dengan qanun No. 12 dan 13
tahun 2003 tentang penundaan pecambukan karena terhukum sakit, bunyi pasalnya
yaitu: “Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum
berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai
dengan waktu yang memungkinkan.”
Landasan
hukum yang tersebut di atas cukup menjadi dasar yang kuat akan keberadaan hukuman
cambuk di Banda Aceh. Sehingga hukuman cambuk telah menjadi hukuman yang
berlaku di Banda Aceh dan harus dilaksanakan untuk menjaga pelaksanaan syari’at
Islam di Aceh.
No comments:
Post a Comment