Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Wednesday, November 9, 2011

Hubungan Antara Ketaatan Hukum dengan Hukuman



Salah satu fungsi hukum di dalam masyarakat adalah sebagai kontrol sosial. Artinya hukum harus tetap ditegakkan walau bagaimanapun caranya. Perwujudan sosial kontrol tersebut dengan cara pemberian hukuman berupa pemidanaan, kompensansi, terapi, maupun konsiliasi. Patokan dalam pemberian hukuman itu sendiri adalah suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan atau sanksi negatif bagi pelanggarnya.
Namun pada kenyataannya, tidak semua bentuk pemberian hukuman itu membuat orang atau masyarakat pada umumnya takut dan jera untuk tidak melanggar aturan yang telah ditetapkan hukum. Banyak sudah aturan perundangan yang telah dibuat namun tidak mampu mengontrol masyarakat, ini terlihat dengan terus meningkatnya tingkat kriminalitas atau pelanggaran di dalam masyarakat. Maka dalam hal ini perlu adanya suatu bentuk sikap kesadaran hukum dari masyarakat dalam menjalankan suatu aturan hukum yang telah di tetapkan.
Sehubungan dengan ini Philipe Nonet dan Philip Seiznick[1] membedakan tiga keadaan dasar mengenai hukum dalam masyarakat, salah satunya adalah hukum responsive yaitu hukum sebagai suatu sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Artinya hukum tidak hanya merupakan kehendak dari penguasa melainkan juga dari keinginan serta aspirasi masyarakat. Karena Hukum dapat dikatakan efektif dan berhasil apabila hukum tersebut dapat menciptakan sebuah tatanan yang dinamis di dalam masyarakat.

Untuk menciptakan suatu tatanan yang dinamis di dalam masyarakat, maka hukum mempunyai unsur pemaksaan dalam penerapannya. Unsur pemaksaan itu adalah dengan cara pemberian hukuman atau sanksi kepada setiap orang yang melanggar hukum sehingga terciptanya masyarakat yang taat akan aturan hukum. Ketaatan dengan sikap yang menghormati hukum dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum dan melanggar nilai-nilai yang terkandung di dalam sendi kehidupan masyarakat.
Namun demikian, ketaatan pada hukum juga tidak melulu dilandaskan pada sanksi yang diberikan akan tetapi juga melalui kesadaran hukum dari masyarakat. Keberhasilan syariat misalnya, bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih adakah pelanggaran yang dilakukan masyarakat atau tidak. Tetapi keberhasilan syariat yang paling penting adalah kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal aneh-aneh yang berbau kriminalitas. Jadi, syariat juga memerlukan pendekatan rasio yang memadai, bukan hanya mengedepankan dorongan emosional keagamaan.[2]
Pendekatan rasio yang penulis maksud di sini adalah dengan melibatkan masyarakat dalam pembuatan aturan hukum, qanun atau perundang-undangan.[3] Agar semua aspirasi dan keinginan yuridis masyarakat terpenuhi di dalam perundang-undangan. Dengan demikian, pelaksanaan hukum akan berjalan dengan lancar karena kita tidak melupakan elemen yang paling berpengaruh di dalam hukum, yaitu masyarakat.
Seorang ahli hukum Dragan Milanovic mengatakan bahwa untuk terlaksananya suatu aturan hukum perlu adanya tiga pendekatan terhadap hukum, yakni: pertama dengan menggunakan ilmu hukum (jurisprudence), kedua: dengan menggunakan sosiologi hukum dan yang ketiga: dengan menggunakan semiotika hukum.[4]
Dan jika kita merujuk kepada pendapat Lawrance M. Friedman yang mengatakan bahwa keseluruhan hukum adalah sistem yang terdiri dari unsur structure, substance dan legal culture.[5]
Unsur struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi dalam sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsinya, dalam rangka bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu dari lembaga itu adalah pengadilan. Sedangkan unsur substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil organ, yaitu norma-norma hukum baik berupa peraturan perundang-undangan dan keputusan-keputusan hakim. Lebih jauh lagi Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan, maka orang akan mengakui, unsur sistem hukum itu bukan hanya terdiri dari structure dan substance, masih diperlukan unsur ketiga, bahkan yang terpenting bagi bekerjanya sistem hukum, yaitu budaya hukum (legal culture). Legal culture mencakup persepsi masyarakat terhadap hukum atau nilai yang mareka anut yang menentukan bekerjanya sistem hukum yang bersangkutan. Sikap dan nilai-nilai inilah yang akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum, sehingga legal culture merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau dilecehkan.[6]
Setiap masyarakat, daerah, kelompok memiliki budaya hukum atau legal culture. Mareka memiliki sikap dan pandangan terhadap hukum yang tidak selalu sama. Dengan kata lain, ide, pandangan, dan sikap masyarakat terhadap hukum dipengaruhi oleh subculture seperti suku atau etnik, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, kebangsaan, pekerjaan, pendapatan, kedudukan, kepentingan, lingkungan dan agama.[7]
Seperti Daerah Aceh yang menginginkan adanya pelaksanaan syari’at Islam. Ini tidak terlepas dari pengaruh budaya dan agama yang telah hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Nilai-nilai keislaman telah menyatu dengan masyarakat di setiap lini kehidupan dan mempengaruhi pola tingkah laku masyarakat sehingga terciptanya budaya hukum atau legal culture di dalam masyarakat Aceh.
Budaya hukum (legal culture) sebagai wujud pemikiran dalam masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai dengan perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat. Karenanya pemahaman akan budaya hukum (legal culture) suatu masyarakat harus memperhatikan secara menyeluruh aspek-aspek kemasyarakat dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan yang terjadi di dalamnya.[8]
Perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh masyarakat merupakan suatu peristiwa di dalam masyarakat yang dapat diinterpretasikan sebagai hukum yang hidup. Dengan kata lain peristiwa tersebut merupakan hukum yang hidup dan ada di dalam masyarakat.[9] Ini merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Karena masyarakat mempunyai peranan sebagai konsumen dari pada hukum. Semua yang telah diatur dalam qanun dan diundangkan, masyarakatlah yang merasakan atau melaksanakan aturan tersebut.


[1]Ronny Hanitiyo Soemitro, S.H. Studi Hukum Dan Masyarakat. (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 17.
[2]Marah Halim Memulai Syariat Bukan dari Rajam” dalam Serambi Indonesia. Banda Aceh, Senin, 2 November 2009, hlm. 22.

[3] Sesuai dengan undang-undang UU No. 10 tahun 2004 pasala 53 tentang pembentukan peraturan perundangan-undangan yang menyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.
[4] Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum Dan Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1985), hlm.25.

[5] Lawrence M.Freidmen, American Law: An Introduction, (New York: W.W Norton & Company, 1984), hlm. 5-14.
[6] Lawrence M. Friedman, American law, New York: W.W Norton and company, 1984, hlm. 7, dalam Natasya Yunita Sugiastuti, Tradisi Hukum Cina: Negara dan Masyarakat (Studi Mengenai Peristiwa-Peristiwa Hukum Di Pulau Jawa Zaman Kolonial 1870-1942), hlm. 16.

[7] Ibid.
[8] Stewart Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stooky, “Legal Culture : Description Of Whole Legal System, Dalam Steward Macau, Lawrence M. Friedman, John Stookey, Law & Society: Reading On The Social Study Of Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1995), hlm. 165.

[9]Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Sejarah Kanasius, (Yogyakarta: 1993), hlm. 204.

No comments:

Post a Comment