Salah
satu fungsi hukum di dalam masyarakat adalah sebagai kontrol sosial. Artinya
hukum harus tetap ditegakkan walau bagaimanapun caranya. Perwujudan sosial
kontrol tersebut dengan cara pemberian hukuman berupa pemidanaan, kompensansi,
terapi, maupun konsiliasi. Patokan dalam pemberian hukuman itu sendiri adalah
suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan atau
sanksi negatif bagi pelanggarnya.
Namun
pada kenyataannya, tidak semua bentuk pemberian hukuman itu membuat orang atau
masyarakat pada umumnya takut dan jera untuk tidak melanggar aturan yang telah
ditetapkan hukum. Banyak sudah aturan perundangan yang telah dibuat namun tidak
mampu mengontrol masyarakat, ini terlihat dengan terus meningkatnya tingkat
kriminalitas atau pelanggaran di dalam masyarakat. Maka dalam hal ini perlu
adanya suatu bentuk sikap kesadaran hukum dari masyarakat dalam menjalankan
suatu aturan hukum yang telah di tetapkan.
Sehubungan
dengan ini Philipe Nonet dan Philip Seiznick[1]
membedakan tiga keadaan dasar mengenai hukum dalam masyarakat, salah satunya
adalah hukum responsive yaitu hukum
sebagai suatu sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan
aspirasi-aspirasi masyarakat. Artinya hukum tidak hanya merupakan kehendak dari
penguasa melainkan juga dari keinginan serta aspirasi masyarakat. Karena Hukum
dapat dikatakan efektif dan berhasil apabila hukum tersebut dapat menciptakan
sebuah tatanan yang dinamis di dalam masyarakat.
Untuk
menciptakan suatu tatanan yang dinamis di dalam masyarakat, maka hukum
mempunyai unsur pemaksaan dalam penerapannya. Unsur pemaksaan itu adalah dengan
cara pemberian hukuman atau sanksi kepada setiap orang yang melanggar hukum
sehingga terciptanya masyarakat yang taat akan aturan hukum. Ketaatan dengan
sikap yang menghormati hukum dan tidak melakukan perbuatan yang dilarang oleh
hukum dan melanggar nilai-nilai yang terkandung di dalam sendi kehidupan
masyarakat.
Namun
demikian, ketaatan pada hukum juga tidak melulu dilandaskan pada sanksi yang
diberikan akan tetapi juga melalui kesadaran hukum dari masyarakat.
Keberhasilan syariat misalnya, bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah
pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih adakah
pelanggaran yang dilakukan masyarakat atau tidak. Tetapi keberhasilan syariat
yang paling penting adalah kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal
aneh-aneh yang berbau kriminalitas. Jadi, syariat juga memerlukan pendekatan
rasio yang memadai, bukan hanya mengedepankan dorongan emosional keagamaan.[2]
Pendekatan
rasio yang penulis maksud di sini adalah dengan melibatkan masyarakat dalam
pembuatan aturan hukum, qanun atau perundang-undangan.[3]
Agar semua aspirasi dan keinginan yuridis masyarakat terpenuhi di dalam
perundang-undangan. Dengan demikian, pelaksanaan hukum akan berjalan dengan
lancar karena kita tidak melupakan elemen yang paling berpengaruh di dalam
hukum, yaitu masyarakat.
Seorang
ahli hukum Dragan Milanovic
mengatakan bahwa untuk terlaksananya suatu aturan hukum perlu adanya tiga
pendekatan terhadap hukum, yakni: pertama
dengan menggunakan ilmu hukum (jurisprudence), kedua: dengan menggunakan sosiologi hukum dan yang ketiga: dengan menggunakan semiotika
hukum.[4]
Dan
jika kita merujuk kepada pendapat Lawrance
M. Friedman yang mengatakan bahwa keseluruhan hukum adalah sistem yang
terdiri dari unsur structure, substance dan legal culture.[5]
Unsur
struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi dalam sistem hukum
tersebut dengan berbagai fungsinya, dalam rangka bekerjanya sistem hukum
tersebut. Salah satu dari lembaga itu adalah pengadilan. Sedangkan unsur substance mencakup segala apa saja yang
merupakan hasil organ, yaitu norma-norma hukum baik berupa peraturan
perundang-undangan dan keputusan-keputusan hakim. Lebih jauh lagi Friedman mengatakan bahwa apabila
sedikit direnungkan, maka orang akan mengakui, unsur sistem hukum itu bukan
hanya terdiri dari structure dan substance, masih diperlukan unsur
ketiga, bahkan yang terpenting bagi bekerjanya sistem hukum, yaitu budaya hukum
(legal culture). Legal culture
mencakup persepsi masyarakat terhadap hukum atau nilai yang mareka anut yang
menentukan bekerjanya sistem hukum yang bersangkutan. Sikap dan nilai-nilai
inilah yang akan memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah
laku yang berkaitan dengan hukum, sehingga legal
culture merupakan perwujudan dari pemikiran masyarakat dan kekuatan sosial
yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau dilecehkan.[6]
Setiap
masyarakat, daerah, kelompok memiliki budaya hukum atau legal culture. Mareka memiliki sikap dan pandangan terhadap hukum
yang tidak selalu sama. Dengan kata lain, ide, pandangan, dan sikap masyarakat
terhadap hukum dipengaruhi oleh subculture
seperti suku atau etnik, usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi,
kebangsaan, pekerjaan, pendapatan, kedudukan, kepentingan, lingkungan dan
agama.[7]
Seperti
Daerah Aceh yang menginginkan adanya pelaksanaan syari’at Islam. Ini tidak
terlepas dari pengaruh budaya dan agama yang telah hidup dan berkembang di
dalam masyarakat. Nilai-nilai keislaman telah menyatu dengan masyarakat di
setiap lini kehidupan dan mempengaruhi pola tingkah laku masyarakat sehingga
terciptanya budaya hukum atau legal
culture di dalam masyarakat Aceh.
Budaya
hukum (legal culture) sebagai wujud
pemikiran dalam masyarakat terhadap hukum akan berubah sesuai dengan perubahan
sikap, pandangan serta nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat. Karenanya
pemahaman akan budaya hukum (legal
culture) suatu masyarakat harus memperhatikan secara menyeluruh aspek-aspek
kemasyarakat dari masyarakat yang bersangkutan dan proses perubahan serta perkembangan
yang terjadi di dalamnya.[8]
Perubahan sikap, pandangan serta nilai yang dihayati
oleh masyarakat merupakan suatu peristiwa di dalam masyarakat yang dapat
diinterpretasikan sebagai hukum yang hidup. Dengan kata lain peristiwa tersebut
merupakan hukum yang hidup dan ada di dalam masyarakat.[9]
Ini merupakan hal yang tidak dapat dipungkiri. Karena masyarakat mempunyai
peranan sebagai konsumen dari pada hukum. Semua yang telah diatur dalam qanun
dan diundangkan, masyarakatlah yang merasakan atau melaksanakan aturan
tersebut.
[1]Ronny
Hanitiyo Soemitro, S.H. Studi Hukum Dan
Masyarakat. (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 17.
[2]Marah Halim “Memulai Syariat Bukan dari Rajam” dalam Serambi Indonesia. Banda Aceh, Senin, 2 November 2009, hlm.
22.
[3] Sesuai
dengan undang-undang UU No. 10 tahun 2004 pasala 53 tentang pembentukan
peraturan perundangan-undangan yang menyatakan bahwa masyarakat berhak
memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau
pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah.
[4] Ronny Hanitiyo Soemitro, Studi Hukum
Dan Masyarakat, (Bandung: Alumni, 1985), hlm.25.
[5] Lawrence
M.Freidmen, American Law: An Introduction,
(New York: W.W Norton & Company, 1984), hlm. 5-14.
[6] Lawrence M.
Friedman, American law, New York: W.W
Norton and company, 1984, hlm. 7, dalam Natasya Yunita Sugiastuti, Tradisi Hukum Cina: Negara dan Masyarakat
(Studi Mengenai Peristiwa-Peristiwa Hukum Di Pulau Jawa Zaman Kolonial
1870-1942), hlm. 16.
[7] Ibid.
[8] Stewart
Macaulay, Lawrence M. Friedman, John Stooky, “Legal Culture : Description Of Whole Legal System, Dalam Steward
Macau, Lawrence M. Friedman, John Stookey, Law
& Society: Reading On The Social Study Of Law, (New York: W.W. Norton
& Company, 1995), hlm. 165.
[9]Theo Huijbers,
Filsafat Hukum dalam Sejarah Kanasius,
(Yogyakarta: 1993), hlm. 204.
No comments:
Post a Comment