Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Sunday, October 2, 2011

Hukuman Cambuk



Hukuman cambuk, sebat atau dera dalam bahasa arab disebut “jald” berasal dari kata “jalada” yang berarti memukul di kulit dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Ada beberapa ayat Al-qur’an yang menyebutkan tentang hukuman cambuk, seperti yang terdapat pada beberapa ayat di bawah ini, yaitu:
Surat An-Nur ayat 2 yang berbunyi:
pÏR¨9$# ÎT#¨9$#ur (#ràÎ#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Artinya:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”


Surat An-Nur ayat 4 yang berbunyi:

tûïÏ%©!$#ur tbqãBötƒ ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù'tƒ Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà­ óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ Ÿwur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky­ #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ
Artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”

            Hukuman cambuk juga terdapat dalam beberapa hadist nabi yang penulis kutip dari Shahih: Mukthashar Muslim no: 1036, Muslim III: 1316 no: 1690, ’Aunul Ma’bud XII: 93 no: 4392, Tirmidzi II: 445 no: 1461 dan Ibnu Majah II: 852 no: 2550, yang bunyinya
“Dari Ubadah bin Shamit ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ambillah dariku, ambillah dariku; sungguh Allah telah menjadikan jalan (keluar) untuk mereka; gadis (berzina) dengan jejaka dicambuk seratus kali cambukan dan diasingkan setahun, dan duda berzina dengan janda didera seratus kali didera dan dirajam.”

Jelas hukuman cambuk juga mempunyai dasar yang kuat dalam penerapannya. Baik dalam dalam al-qur’an maupun hadist sebagaimana yang penulis sebutkan di atas. Namun hukuman cambuk yang terdapat di dalam Al-qur’an hanya untuk orang yang berzina. Dalam beberapa hadist hukuman cambuk juga ditujukan kepada orang yang meminum khamar dan termasuk ke dalam hukuman ta’zir.
Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dari anas bin malik: bahwasanya Nabi s.a.w didatangkan dengan seorang lelaki yang telah meminum khamar, maka beliau menderanya dengan dua pelepah tamar sebanyak empat puluh kali. Ia (anas bin malik) berkata: demikian juga yang diperbuat Abu bakar, dan ketika umar, orang-orang bermusyawarah dan telah berkata Abdurrahman, hukuman had yang paling ringan adalah delapan puluh deraan, lalu umar memerintahkan hal itu.[1]
Sedangkan didalam hadist yang lain yang diriwayatkan oleh ahmad dan oleh lima ahli hadist lain kecuali nasai meriwayatkan dari muawiyah: bahwasanya nabi s.a.w telah berkata: apabila mareka minum khamar, maka deralah mareka, kemudian apabila mareka minum, maka deralah mareka dan kemudian apabila mareka minum, maka deralah mareka dan kemudian apabila mareka minum untuk yang keempat kalinya, maka bunuhlah mareka, demikian yang dikutip oleh syaukani dan abdus salam.[2]
Namun hukuman cambuk yang sedang dilaksanakan di kota banda aceh bukanlah termasuk kedalam hukuman had tetapi merupakan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh penguasa dan merupakan perbuatan yang diancam dengan hudud, qishas/diyat dan kafarat. Jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya hukuman tergantung dari ijtihad penguasa.
Para ahli fiqih seperti Al-sarakhi dan al-mawardi mendefinisikan ta’zir sebagai hukuman selain had dan kafarat terhadap segala bentuk pelanggaran terhadap hak allah atau hak manusia yang tidak ditentukan kadarnya dengan tujuan untuk mendidik dan mengajarkan pelakunya.[3]


[1] Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), Hlm.446

[2] Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), Hlm 457
[3] Abdul aziz amir, al-ta’zir fi al-syari’ah al islamiyah, kairo: dar alfikr al-arabi, 1976, hlm. 56.

No comments:

Post a Comment