Hukuman cambuk,
sebat atau dera dalam bahasa arab disebut “jald” berasal dari kata “jalada”
yang berarti memukul di kulit dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Ada
beberapa ayat Al-qur’an yang menyebutkan tentang hukuman cambuk, seperti yang
terdapat pada beberapa ayat di bawah ini, yaitu:
Surat An-Nur
ayat 2 yang berbunyi:
pÏR¨9$# ÎT#¨9$#ur (#ràÎ#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( wur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# ( ôpkô¶uø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ
Artinya:
“Perempuan yang
berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman.”
Surat An-Nur
ayat 4 yang berbunyi:
tûïÏ%©!$#ur tbqãBöt ÏM»oY|ÁósßJø9$# §NèO óOs9 (#qè?ù't Ïpyèt/ör'Î/ uä!#ypkà óOèdrßÎ=ô_$$sù tûüÏZ»uKrO Zot$ù#y_ wur (#qè=t7ø)s? öNçlm; ¸oy»pky #Yt/r& 4 y7Í´¯»s9'ré&ur ãNèd tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÍÈ
Artinya:
“Dan orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.”
Hukuman cambuk juga terdapat dalam
beberapa hadist nabi yang penulis kutip dari Shahih: Mukthashar Muslim no:
1036, Muslim III: 1316 no: 1690, ’Aunul Ma’bud XII: 93 no: 4392, Tirmidzi II:
445 no: 1461 dan Ibnu Majah II: 852 no: 2550, yang bunyinya
“Dari Ubadah bin
Shamit ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ambillah dariku, ambillah dariku;
sungguh Allah telah menjadikan jalan (keluar) untuk mereka; gadis (berzina)
dengan jejaka dicambuk seratus kali cambukan dan diasingkan setahun, dan duda
berzina dengan janda didera seratus kali didera dan dirajam.”
Jelas hukuman
cambuk juga mempunyai dasar yang kuat dalam penerapannya. Baik dalam dalam
al-qur’an maupun hadist sebagaimana yang penulis sebutkan di atas. Namun
hukuman cambuk yang terdapat di dalam Al-qur’an hanya untuk orang yang berzina.
Dalam beberapa hadist hukuman cambuk juga ditujukan kepada orang yang meminum
khamar dan termasuk ke dalam hukuman ta’zir.
Sebagaimana
hadist yang diriwayatkan oleh Muslim dari anas bin malik: bahwasanya Nabi s.a.w
didatangkan dengan seorang lelaki yang telah meminum khamar, maka beliau
menderanya dengan dua pelepah tamar sebanyak empat puluh kali. Ia (anas bin
malik) berkata: demikian juga yang diperbuat Abu bakar, dan ketika umar,
orang-orang bermusyawarah dan telah berkata Abdurrahman, hukuman had yang
paling ringan adalah delapan puluh deraan, lalu umar memerintahkan hal itu.[1]
Sedangkan
didalam hadist yang lain yang diriwayatkan oleh ahmad dan oleh lima ahli hadist
lain kecuali nasai meriwayatkan dari muawiyah: bahwasanya nabi s.a.w telah
berkata: apabila mareka minum khamar, maka deralah mareka, kemudian apabila
mareka minum, maka deralah mareka dan kemudian apabila mareka minum, maka
deralah mareka dan kemudian apabila mareka minum untuk yang keempat kalinya, maka
bunuhlah mareka, demikian yang dikutip oleh syaukani dan abdus salam.[2]
Namun hukuman
cambuk yang sedang dilaksanakan di kota banda aceh bukanlah termasuk kedalam
hukuman had tetapi merupakan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh
penguasa dan merupakan perbuatan yang diancam dengan hudud, qishas/diyat dan
kafarat. Jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya hukuman tergantung
dari ijtihad penguasa.
Para ahli fiqih
seperti Al-sarakhi dan al-mawardi mendefinisikan ta’zir sebagai hukuman selain
had dan kafarat terhadap segala bentuk pelanggaran terhadap hak allah atau hak
manusia yang tidak ditentukan kadarnya dengan tujuan untuk mendidik dan
mengajarkan pelakunya.[3]
[1] Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran
Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), Hlm.446
[2] Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ajaran
Ahlus Sunnah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1971), Hlm 457
[3] Abdul aziz amir,
al-ta’zir fi al-syari’ah al islamiyah, kairo: dar alfikr al-arabi, 1976, hlm.
56.
No comments:
Post a Comment