Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Monday, October 10, 2011

Sistem Pembuktian


Menurut doktrin, terdapat empat sistem pembuktian, yaitu sebagai berikut.
a.       Sistem pembuktian semata-mata berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime). Dalam sistem ini, penentuan seorang terdakwa bersalah atau tidak hanya didasari oleh penilaian hakim. Hakim dalam melakukan penilaian memiliki subjektifitas yang absolut karena hanya keyakinan dan penilaian subjektif hakim lah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Mengenai dari mana hakim mendapat keyakinannya, bukanlah suatu permasalahan dalam sistem ini. Hakim dapat memperoleh keyakinannya dari mana saja.[1]
b.       Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan logis (La Conviction Raisonee/Conviction Raisonee). Dalam hal sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim telah dibatasi. Keyakian hakim dalam sistem pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction intime karena keyakinan hakim harus disertai alasan logis yang dapat diterima akal sehat. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).[2]
c.       Sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Sistem pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian conviction in time. Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam undang-undang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah menurut undang-undang. Sistem ini berusaha menyingkirkn semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.[3]

d.      Sistem pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Sistem pembuktian ini menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan dan faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Mengenai sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.[4] Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak secara khusus diatur mengenai syarat minimum alat bukti, atau pun ketentuan mengenai keyakinan hakim, sehingga tidak terlihat sistem pembuktian apa yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Namun, dengan menggunakan penafsiran secara a contrario terhadap prinsip lex specialis derogat legi generalis, ketentuan mengenai sistem pembuktian dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem pembuktian undang-undang secara negatif.[5] Dengan demikian, hakim dapat memutus seseorang bersalah melakukan tindak pidana terorisme apabila dari dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan kalau terdakwalah yang melakukan tindak pindana terorisme tersebut.


[1] Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal. 230.
[2] Ibid., hal. 231.
[3] Hamzah, op. cit., hal. 245.
[4] Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN. 3209, ps. 183.
[5] Mengenai penerapan asas lex specialis derograt legi generalis dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 terhadap KUHAP, secara tersirat terlihat dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 paragraf sembilan, yaitu sebagai berikut. “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan-ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.”  

No comments:

Post a Comment