Menurut
doktrin, terdapat empat sistem pembuktian, yaitu sebagai berikut.
a.
Sistem pembuktian semata-mata
berdasarkan keyakinan hakim (conviction intime). Dalam sistem ini,
penentuan seorang terdakwa bersalah atau tidak hanya didasari oleh penilaian
hakim. Hakim dalam melakukan penilaian memiliki subjektifitas yang absolut
karena hanya keyakinan dan penilaian subjektif hakim lah yang menentukan
keterbuktian kesalahan terdakwa. Mengenai dari mana hakim mendapat
keyakinannya, bukanlah suatu permasalahan dalam sistem ini. Hakim dapat
memperoleh keyakinannya dari mana saja.[1]
b.
Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim
atas alasan logis (La Conviction Raisonee/Conviction Raisonee). Dalam
hal sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim telah dibatasi. Keyakian
hakim dalam sistem pembuktian ini tidak seluas pada sistem pembuktian conviction
intime karena keyakinan hakim harus disertai alasan logis yang dapat
diterima akal sehat. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian jalan tengah
ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi kebebasan untuk menyebut
alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie).[2]
c.
Sistem pembuktian berdasarkan
undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Sistem
pembuktian ini merupakan kebalikan dari sistem pembuktian conviction in time.
Dalam sistem ini, keyakinan hakim tidak diperlukan, karena apabila terbukti
suatu tindak pidana telah memenuhi ketentuan alat bukti yang disebutkan dalam
undang-undang, seorang terdakwa akan langsung mendapatkan vonis. Pada teori
pembuktian formal/positif (positief bewijstheorie) ini, penekanannya
terletak pada penghukuman harus berdasarkan hukum. Artinya, seorang terdakwa
yang dijatuhi hukuman tidak semata-mata hanya berpegang pada keyakinan hakim
saja, namun berpegang pada ketentuan alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Sistem ini berusaha menyingkirkn semua pertimbangan subjektif hakim dan
mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang keras.[3]
d.
Sistem pembuktian undang-undang secara
negatif (negatief wettelijk bewijstheori). Sistem pembuktian ini
menggabungkan antara faktor hukum positif sesuai ketentuan perundang-undangan
dan faktor keyakinan hakim. Artinya, dalam memperoleh keyakinannya, hakim juga
terikat terhadap penggunaan alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
Mengenai
sistem pembuktian mana yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia
dapat terlihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.[4]
Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan
teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk
bewijstheori).
Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003 tidak secara khusus diatur mengenai syarat minimum alat
bukti, atau pun ketentuan mengenai keyakinan hakim, sehingga tidak terlihat
sistem pembuktian apa yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.
Namun, dengan menggunakan penafsiran secara a contrario terhadap prinsip
lex specialis derogat legi generalis, ketentuan mengenai sistem
pembuktian dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem pembuktian undang-undang secara
negatif.[5]
Dengan demikian, hakim dapat memutus seseorang bersalah melakukan tindak pidana
terorisme apabila dari dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan kalau
terdakwalah yang melakukan tindak pindana terorisme tersebut.
[1] Andi Hamzah, Pengantar
Hukum Acara Pidana di Indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal.
230.
[2] Ibid., hal. 231.
[3] Hamzah, op. cit.,
hal. 245.
[4] Indonesia, Undang-Undang
Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76 Tahun 1981, TLN.
3209, ps. 183.
[5] Mengenai penerapan asas lex
specialis derograt legi generalis dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003
terhadap KUHAP, secara tersirat terlihat dalam Penjelasan Umum Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2003 paragraf sembilan, yaitu sebagai berikut. “Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat
ketentuan-ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan
yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.”
No comments:
Post a Comment