Ada beberapa fenomena
yang belakangan ini terjadi di aceh. Sesuatu yang dulunya mungkin atau bahkan
sangat tidak mungkin untuk di dengar walau hanya pepesan kosong. Pertama kejadian
seorang abang yang menghamili adik kandungnya atau dengan bahasa lain hubungan
incest atau hubungan sedarah. Kedua adalah tragedi yang cukup membuat kita
menjadi miris yaitu pemukulan terhadap khatib jum’at yang terjadi di desa
keumala jijeim. Kemudian, berselang beberapa hari. Dilaporkan seorang khatib di
nagan raya meninggal dunia ketika sedang berkhutbah. Yang ketiga adalah
lahirnya orang yang mengaku sebagai utusan dari “TUHAN”nya kepada umat sekarang
ini untuk menyampaikan ajaran barunya. Kejadian ini terjadi di Tiro.
Kilasan peristiwa itu
sudah cukup menjadi peringatan kepada kita bahwa aceh sudah memasuki babak
jahiliyah yang dulu telah ditinggalkan. Lihat saja dua kejadian pertama yang
sangat tidak bertanggung jawab terhadap agama dan manusia pada umumnya. Agama manapun
akan melarang perbuatan yang demikian.
Pemukulan terhadap
khatib yang sedang berkhutbah, sama saja dengan melecehkan agama islam itu
sendiri. Syukur yang melakukan hal itu adalah orang yang berasal dari agama
yang berbeda. Namun kenyataannya, hal itu dilakukan oleh saudara kita sendiri. Saudara
seagama, sebangsa dan setanah air. Sungguh ironis!!!
Sepengetahuan penulis,
kejadian ini bukanlah yang pertama terjadi. Namun penyelesaiannya tidak
berbentuk kekerasan. Ada sebagian dari mareka yang menunggu khatib turun dari
khutbah dan membicarakan persoalan yang tidak berkenan dengan mareka.
Aceh, negeri yang dulu
katanya adalah serambi mekkah. Seperti sudah sangat tidak layak untuk
menyandang nama itu. Itu semua hanyalah kebesaran masalalu yang tinggal sejarah
tanpa jejak.
Banyak pendapat yang
mengatakan kita telah mendekati akhir dari pada zaman. Jika memang demikian,
kenapa kita tidak pernah menyadari akan hal itu? Apa pintu hati kita sebagai umat
yang beragam telah tertutup rapat untuk sesuatu yang telah ALLAH janjikan
kepada kita? Atau kita sendiri yang malah tidak memperhatikan akan tanda-tanda
itu?
Contoh yang paling
sederhana yang dapat kita lihat. banyaknya muda-mudi yang berjalan dan bermesraan dengan yang bukan muhrim mareka. Dan lagi, Ketika waktu azan telah tiba, orang akan
berduyun-duyun ke tempat yang mareka senangi. Jangan anda kira itu mesjid,
tempat yang mareka senangi itu adalah cafe-cafe, warung kopi, tempat nongkrong
anak muda seperti di jembatan, pelabuhan ulee lheu dan pantai.
Aceh negeri bersyari’at?!
Rasanya itu hanya nama belaka. Ada beberapa teori tentang aturan itu sendiri. Salah
satunya adalah teori dari soedjipto yang menyebutkan bahwa, jika kita ingin
melihat berjalannya suatu aturan di dalam suatu pemerintahan atau negara atau
daerah. Kita harus melihat masyarakat itu sendiri, apakah masyarakt itu
bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di tempat
tersebut?
Maka mari sekarang kita
melihat atau mengukur aceh dengan teori itu. Pertanyaan pertama yang wajib kita
ajukan adalah apakah masyarakat aceh telah bersikap seperti tuntunan agama? Mengingat
aceh sedang melaksanakan syari’at islam. Pertanyaan selanjutnya, apakah aceh
masih layak untuk menyandang gelar serambi mekkah? Atau kita ganti saja
gelarnya menjadi Aceh serambi “jahiliyah”? Pertanyaan ini hanya anda semua yang
dapat menjawabnya. Tentu saja anda semua punya alasan dan pandangan
masing-masing.
Terlepas dari itu
semua. Saya ingat sebuah hadist rasul yang artinya “jagalah dirimu dan
kelaurgamu dari api neraka”. Dapat di pastikan maksud dari perkataan nabi itu
adalah mari kita memulai sesuatu itu dari diri kita, keluarga kita kemudian
baru orang lain. Wallahu ‘alam
No comments:
Post a Comment