Teori pembuktian, diantaranya :[1]
a.
Teori Tradisional
Menurut Bosch Kemper, ada beberapa
teori pembuktian tradisional, yaitu :
1)
Teori Negatif
Teori ini menegaskan bahwa hakim
diperbolehkan menjatuhkan pidana jika mendapatkan keyakinan dengan alat bukti
yang syah bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini
dianut oleh Pasal 294 ayat (1) HIR yang menyebutkan keharusan adanya keyakinan
hakim dan keyakinan tersebut didasarkan pada alat-alat bukti yang sah.
2)
TeoriPositif
Teori ini mengatakan bahwa hakim
hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa jika terdapat bukti minimum yang
diatur oleh undang-undang. Hakim diwajibkan memutus bersalah atas terdakwa
apabila terdapat bukti-bukti yang dimaksud oleh undang-undang. Singkatnya,
tidak ada bukti, tidak dihukum, ada bukti harus dihukum.
Teori ini dianut oleh KUHAP, yakni
pada pada Pasal 183 yang menyebutkan :
Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila diperoleh
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.[2]
3)
Teori Bebas
Teori ini tidak mengikat hakim kepada
aturan hukum. Inti dari teori ini adalah hakim dapat memutus bersalah atas
terdakwa berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat
dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman-pengalaman.[3]
Teori irti tidak dianut oleh sistem HIR maupun sistem KUHAP.
b.
Teori Modern
Teori ini diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk,
yaitu :
1)
Teori pembuktian dengan
keyakinan belaka (bloot gemoedelijke
overtuiging atau conviction intime).
2)
Teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif (positief
wettelijke bewijstheorie).
3)
Teori pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (negatief
wettelijke bewijstheorie).
4)
Teori keyakinan atas alasan
negatif (berenedeerde vertuging atau conviction raisonnee).
5)
Teori pembuktian negatif
menurut undang-undang (negatief
wettelijke overtuiging).
6)
Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie).
Adapun penjelasan dari teori-teori
pembuktian di atas adalah sebagai berikut :
1)
Teori pembuktian dengan
keyakinan belaka (bloot gemoedelijke
overtuiging atau conviction intime).
Menurut teori ini hakim boleh
mendasarkan suatu keadaan dan boleh memutuskan berdasarkan keyakinannya belaka
dengan tidak terkait oleh suatu peraturan. Dengan kata lain hakim boleh
menyatakan suatu keadaan telah dianggap terbukti dengan hanya berdasarkan
perasaan.[4]
Kelemahan sistem pembuktian ini
adalah terlalu memberikan kekuasaan dan kepercayaan yang besar kepada hakim
sehingga sulit untuk melakukan control. Penggunaan sistem ini di peradilan Juri
Perancis mengakibatkan banyak putusan bebas yang tidak realistis dan logis.[5]
2)
Teori pembuktian menurut
undang-undang secara positif (positief
wettelijke bewijstheorie).
Dalam teori ini, undang-undang
menentukan ragam alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim, bagaimana cara hakim
mempergunakan alat bukti serta kekuatan dari masing-masing alat bukti. Keadaan
dianggap terbukti apabila sudah dibuktikan dengan mempergunakan alat bukti yang
sudah ditetapkan oleh undang-undang meskipun hakim berkeyakinan lain.
Menurut D. Simon, sistem positief wettelijke di benua Eropa
dipakai pada waktu berlakunya hukum acara pidana yang bersifat inquisitor. Peraturan tersebut dianggap
memperlakukan terdakwa sebatas sebagai objek pemeriksaan dan hakim hanya
sebagai pelengkap saja.[6]
Sehingga kelemahan dari teori ini adalah tidak memberikan kepercayaan terhadap
hakim yang hal ini bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana bahwa putusan
harus didasarkan atas kebenaran yang diyakini.
3)
Teori pembuktian menurut
undang-undang secara negatif (negatief
wettelijke bewijstheorie).
Pembuktian menurut teori ini
menghendaki alasan yang disebutkan oleh undang-undang sebagai alat bukti, serta
tidak diperbolehkan mempergunakan alat bukti lain yang tidak diatur oleh
undang-undang. Dalam mempergunakan alat bukti tersebut, hakim harus mengacu
pada undang-undang
lstilah negatif dalam teori ini
berarti belum cukup bagi hakim dalam memutus perkara hanya berdasarkan
undang-undang melainkan juga berdasarkan keyakinan hakim atas suatu kebenaran.
Teori ini dianuti oleh HIR Pasal 294 ayat (1) dan juga Hukum Acara Pidana
Belanda (Sv Ned).[7]
Menurut pasal 294 HIR, pekerjaan
hakim dalam beracara pidana adalah meneliti apakah bukti yang disyaratkan oleh
undang-undang telah dipenuhi. Apabila sudah dicukupi, maka dengan mempergunakan
keyakinannya, hakim akan memutus keadaan tersebut telah terbukti atau tidak.
4)
Teori keyakinan atas alasan
logis (berenedeerde vertuging atau conviction raisonnee).
Menurut teori ini hakim menyebutkan
alasan dalam mengambil keputusan tidak terlihat pada penyebutan alat bukti dan
penggunaan alat bukti sesuai yang diatur oleh undang-undang, melainkan hakim
bebas mempergunakan alat bukti lain asal didasarkan pada alasan yang logis.[8]
5)
Teori pembuktian negatif
menurut undang-undang (negatief
wettelijke overtuiging).
Baik KUHAP maupun HIR menganut teori
ini. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP dan yang menyebutkan :
Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuahi apabila sekurang-kurangnya dengan
dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Esensi yang terkadung dalam Pasal di atas adalah :
a)
Disyaratkan sekurang-kurangnya
dua alat bukti yang syah.
b)
Terdakwalah yang telah bersalah
melakukannya.
Kata sekurang-kurangnya memberikan
batasan pada alat bukti minimum yang harus didatangkan pada saat pembuktian.
Sedangkan kata-kata alat bukti yang syah memberikan pengertian bahwa hanya alat-alat
bukti yang diatur oleh undang-undang yang dapat ditetapkan sebagai alat bukti
dalam proses pembuktian pada semua bentuk tindak pidana termasuk korupsi.
6)
Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie).
Terdapat berbagai macam sistem pembuktian
terbalik, di antaranya; sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang
berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence) dan pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of fault yang membebankan pembuktian secara penuh
kepada terdakwa atau pembuktian terbalik murni.
[2] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
[3] B. de Bosh-Kemnper dalam R. Tresna, Komentar
Atas Reglemen Hukum Acara di dalam Pemeriksaan di Muka Pengadilan Negeri,
(Jakarta), hal. 242.
[4] Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1962), hal. 71.
[5] A. Minkenhof, hal 219, dikutip Andi
Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana
Indonesia , (Chalia Indonesia, 1985), hal. 241.
[6] D. Simon dikutip Martiman Prodjohamidjojo,
Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik
UU No. 31 Tahun 1999, (Jakarta : Mandar Maju, 2001), hal. 103.
[7] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
[8] Wiryono Prodjodikoro, op. cit., hal. 72-73.
No comments:
Post a Comment