Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Tuesday, September 13, 2011

Teori Pembuktian


Teori pembuktian, diantaranya :[1]
a.       Teori Tradisional
Menurut Bosch Kemper, ada beberapa teori pembuktian tradisional, yaitu :
1)      Teori Negatif
Teori ini menegaskan bahwa hakim diperbolehkan menjatuhkan pidana jika mendapatkan keyakinan dengan alat bukti yang syah bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Teori ini dianut oleh Pasal 294 ayat (1) HIR yang menyebutkan keharusan adanya keyakinan hakim dan keyakinan tersebut didasarkan pada alat-alat bukti yang sah.
2)      TeoriPositif
Teori ini mengatakan bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan terdakwa jika terdapat bukti minimum yang diatur oleh undang-undang. Hakim diwajibkan memutus bersalah atas terdakwa apabila terdapat bukti-bukti yang dimaksud oleh undang-undang. Singkatnya, tidak ada bukti, tidak dihukum, ada bukti harus dihukum.
Teori ini dianut oleh KUHAP, yakni pada pada Pasal 183 yang menyebutkan :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila diperoleh sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.[2]



3)      Teori Bebas
Teori ini tidak mengikat hakim kepada aturan hukum. Inti dari teori ini adalah hakim dapat memutus bersalah atas terdakwa berdasarkan keyakinannya yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman-pengalaman.[3] Teori irti tidak dianut oleh sistem HIR maupun sistem KUHAP.

b.      Teori Modern
Teori ini diklasifikasikan menjadi beberapa bentuk, yaitu :
1)      Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gemoedelijke overtuiging atau conviction intime).
2)      Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie).
3)      Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijstheorie).
4)      Teori keyakinan atas alasan negatif (berenedeerde vertuging atau conviction raisonnee).
5)      Teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke overtuiging).
6)      Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie).

Adapun penjelasan dari teori-teori pembuktian di atas adalah sebagai berikut :
1)      Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (bloot gemoedelijke overtuiging atau conviction intime).
Menurut teori ini hakim boleh mendasarkan suatu keadaan dan boleh memutuskan berdasarkan keyakinannya belaka dengan tidak terkait oleh suatu peraturan. Dengan kata lain hakim boleh menyatakan suatu keadaan telah dianggap terbukti dengan hanya berdasarkan perasaan.[4]
Kelemahan sistem pembuktian ini adalah terlalu memberikan kekuasaan dan kepercayaan yang besar kepada hakim sehingga sulit untuk melakukan control. Penggunaan sistem ini di peradilan Juri Perancis mengakibatkan banyak putusan bebas yang tidak realistis dan logis.[5]
2)      Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie).
Dalam teori ini, undang-undang menentukan ragam alat bukti yang dapat dipakai oleh hakim, bagaimana cara hakim mempergunakan alat bukti serta kekuatan dari masing-masing alat bukti. Keadaan dianggap terbukti apabila sudah dibuktikan dengan mempergunakan alat bukti yang sudah ditetapkan oleh undang-undang meskipun hakim berkeyakinan lain.
Menurut D. Simon, sistem positief wettelijke di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya hukum acara pidana yang bersifat inquisitor. Peraturan tersebut dianggap memperlakukan terdakwa sebatas sebagai objek pemeriksaan dan hakim hanya sebagai pelengkap saja.[6] Sehingga kelemahan dari teori ini adalah tidak memberikan kepercayaan terhadap hakim yang hal ini bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana bahwa putusan harus didasarkan atas kebenaran yang diyakini.
3)      Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijstheorie).
Pembuktian menurut teori ini menghendaki alasan yang disebutkan oleh undang-undang sebagai alat bukti, serta tidak diperbolehkan mempergunakan alat bukti lain yang tidak diatur oleh undang-undang. Dalam mempergunakan alat bukti tersebut, hakim harus mengacu pada undang-undang
lstilah negatif dalam teori ini berarti belum cukup bagi hakim dalam memutus perkara hanya berdasarkan undang-undang melainkan juga berdasarkan keyakinan hakim atas suatu kebenaran. Teori ini dianuti oleh HIR Pasal 294 ayat (1) dan juga Hukum Acara Pidana Belanda (Sv Ned).[7]
Menurut pasal 294 HIR, pekerjaan hakim dalam beracara pidana adalah meneliti apakah bukti yang disyaratkan oleh undang-undang telah dipenuhi. Apabila sudah dicukupi, maka dengan mempergunakan keyakinannya, hakim akan memutus keadaan tersebut telah terbukti atau tidak.
4)      Teori keyakinan atas alasan logis (berenedeerde vertuging atau conviction raisonnee).
Menurut teori ini hakim menyebutkan alasan dalam mengambil keputusan tidak terlihat pada penyebutan alat bukti dan penggunaan alat bukti sesuai yang diatur oleh undang-undang, melainkan hakim bebas mempergunakan alat bukti lain asal didasarkan pada alasan yang logis.[8]
5)      Teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief wettelijke overtuiging).
Baik KUHAP maupun HIR menganut teori ini. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP dan yang menyebutkan :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuahi apabila sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti yang syah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Esensi yang terkadung dalam Pasal di atas adalah :
a)      Disyaratkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah.
b)      Terdakwalah yang telah bersalah melakukannya.
Kata sekurang-kurangnya memberikan batasan pada alat bukti minimum yang harus didatangkan pada saat pembuktian. Sedangkan kata-kata alat bukti yang syah memberikan pengertian bahwa hanya alat-alat bukti yang diatur oleh undang-undang yang dapat ditetapkan sebagai alat bukti dalam proses pembuktian pada semua bentuk tindak pidana termasuk korupsi.
6)      Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie).
Terdapat berbagai macam sistem pembuktian terbalik, di antaranya; sistem pembuktian terbalik terbatas atau berimbang berdasarkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of fault yang membebankan pembuktian secara penuh kepada terdakwa atau pembuktian terbalik murni.


[1]
[2] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

[3] B. de Bosh-Kemnper dalam R. Tresna, Komentar Atas Reglemen Hukum Acara di dalam Pemeriksaan di Muka Pengadilan Negeri, (Jakarta), hal. 242.
[4] Wiryono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung : Sumur, 1962), hal. 71.
[5] A. Minkenhof, hal 219, dikutip Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia , (Chalia Indonesia, 1985), hal. 241.

[6] D. Simon dikutip Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik UU No. 31 Tahun 1999, (Jakarta : Mandar Maju, 2001), hal. 103.
[7] Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
[8] Wiryono Prodjodikoro, op. cit., hal. 72-73.

No comments:

Post a Comment