Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Monday, July 4, 2011

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN)

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR  13  TAHUN 2003
TENTANG
MAISIR (PERJUDIAN)
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

Menimbang     :  a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat, pendidikan dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah;

b. bahwa Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syari’at Islam dan agama lain serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b perlu membentuk Qanun tentang Maisir;
Mengingat      :
1. Al – Qur’an;
2. Al – Hadits;
3. Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945;
4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040);
6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209 );
7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
9.        Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor  4134);
10.     Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258);
11.     Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3192);
12.     Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373);
13.     Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3953);
14.     Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 70);
15.     Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah;

16.     Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30);
17.     Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh  Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4);
18.     Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5);

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


MEMUTUSKAN :
Menetapkan    :  QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG MAISIR (PERJUDIAN).

BAB  I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan :
1.    Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
2.   Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lain Pemerintah Daerah Istimewa Aceh sebagai badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
5.  Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
6.  Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan.
7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong.
8.Guechik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
11.Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar.
12.Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang  khusus menangani pelaksanaan penegakan Syari’at Islam.
13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syari’at Islam.
15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang Syari’at Islam.
16. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan di bidang Syari’at dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim Mahkamah.
17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan/atau pejabat lain di lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
18.  Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan qishash-diat, hudud, dan ta’zir.
19.  ‘Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah.
20.  Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.

BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
Ruang lingkup larangan maisir dalam Qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihak yang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut.
Pasal 3
Tujuan  larangan maisir (perjudian) adalah untuk :
a.   Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan;
b.   Mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada maisir;
c.  Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir;
d.  Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir.

BAB III
LARANGAN DAN PENCEGAHAN
Pasal 4
Maisir hukumnya haram.
Pasal 5
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir.
Pasal 6
(1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir.
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir.
Pasal 7
Instansi Pemerintah, dilarang memberi izin usaha penyelenggaraan maisir.
Pasal 8
Setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan maisir.

BAB IV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 9
(1)       Setiap anggota masyarakat berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan maisir.
(2)  Setiap anggota masyarakat diharuskan melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya perbuatan maisir.
Pasal 10
Dalam hal pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal  5, 6, dan 7 tertangkap tangan oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang.
Pasal 11
Pejabat yang berwenang wajib memberikan  perlindungan dan jaminan keamanan bagi pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud dalam pasal 10.
Pasal 12
Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 apabila lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor  dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.
Pasal 13
Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah.

BAB V
PENGAWASAN DAN PEMBINAAN
Pasal 14
(1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal  5, 6, dan 7.
(2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Qanun ini, Gubernur, dan Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah.
(3)  Susunan dan Kedudukan Wilayatul Hisbah  diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat  Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
Pasal  15
(1)  Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2) yang menemukan pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7, menyerahkan persoalan itu kepada Penyidik.
(1) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah maisir dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada Penyidik.
Pasal  16
Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan pra-peradilan kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak  laporan diterima penyidik.

BAB VI
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
Pasal 17
Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan maisir dilakukan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini.
Pasal 18
Penyidik adalah :
a.  Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam;
b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan bidang Syari’at Islam;
Pasal 19
(1)   Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf a mempunyai wewenang :
a.     menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya jarimah Maisir;
b.     melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian;
c.   menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d.   melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e.    melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f.    mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g.    memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h.   mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i.  menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah;
j.           mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang berlaku.
(2)       Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berada di bawah koordinasi penyidik umum.
Pasal 20
Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi pelanggaran terhadap larangan maisir wajib segera melakukan penyidikan sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 21
Penuntut umum menuntut perkara jarimah maisir yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 22
Penuntut umum mempunyai wewenang :
a.         menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik;
b.         mengadakan pra-penuntutan apabila  ada  kekurangan  pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c.         memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d.         membuat surat dakwaan;
e.         melimpahkan perkara ke Mahkamah;
f.           menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g.         melakukan penuntutan;
h.         mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku;
i.           melaksanakan putusan dan penetapan hakim.

BAB VII
KETENTUAN  ‘UQUBAT
Pasal 23
(1)       Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.

(2)       Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non Instansi Pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, dan 7 diancam dengan ‘uqubat atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).
(3)       Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 adalah jarimah ta’zir.
Pasal 24
Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) merupakan penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal.
Pasal 25
Barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dari jarimah maisir dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.
Pasal 26
Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal.
Pasal 27
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam    pasal   6 :
a.         apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab;
b.         apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2), dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan;

BAB  VIII
PELAKSANAAN ‘UQUBAT
Pasal  28
(1)       ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum.
(2)       Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil.
Pasal 29
(1)       Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2)       Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.
Pasal 30
(1)       ‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk.
(2)       Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter antara 0.75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/dibelah.
(3)       Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan.
(4)       Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai.
(5)       Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan terhukum perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya.
(6)       Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan.
Pasal 31
Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.

BAB  IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 32
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam Qanun tersendiri, maka Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981), dan Peraturan Perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam Qanun ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
Pasal 34
Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Disahkan di Banda Aceh
pada tanggal,  15 Juli 2003

                     15 Jumadil Awal 1424 



GUBERNUR
PROVINSI NANGGROE  ACEH  DARUSSALAM

dto



ABDULLAH PUTEH

Diundangkan di Banda Aceh

pada tanggal,  16 Juli 2003

                     16 Jumadil Awal 1424

                    SEKRETARIS DAERAH

    PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM



                                    dto

                                    

                      THANTHAWI  ISHAK


LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 26 SERI D NOMOR 13 

PENJELASAN
ATAS
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSSALAM
NOMOR  13  TAHUN  2003
TENTANG

MAISIR (PERJUDIAN)

I.          UMUM
Sepanjang sejarah, masyarakat Aceh telah menjadikan agama Islam sebagai pedoman dalam kehidupannya. Melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam dalam rentang sejarah yang cukup panjang (sejak abad ke VII M) telah melahirkan suasana masyarakat dan budaya Aceh yang Islami. Budaya dan adat Aceh yang lahir dari renungan para Ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan dan dilestarikannya. Dalam ungkapan bijak disebutkan “Adat bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang Reusam bak Lakseumana”. Ungkapan tersebut merupakan pencerminan bahwa Syari’at Islam telah menyatu dan menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Aceh melalui peranan Ulama sebagai pewaris para Nabi.
Bahwa pemberlakukan Syari’at Islam  di Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekah terakomodasi dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh yang dipertegas dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di samping itu pada tingkat Daerah pelaksanaan Syari’at Islam telah dirumuskan secara yuridis melalui Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.
Secara umum Syari’at Islam di bidang hukum memuat norma hukum yang mengatur kehidupan bermasyarakat/bernegara dan norma hukum yang mengatur moral atau kepentingan individu yang harus ditaati oleh setiap orang. Ketaatan terhadap norma hukum yang mengatur moral sangat tergantung pada kualitas iman dan taqwa atau hati nurani seseorang, juga disertai adanya sanksi duniawi dan ukhrawi terhadap orang yang melanggarnya.
Dalam sistem hukum Islam terdapat dua jenis sanksi; yaitu sanksi yang bersifat definitif dari Allah dan Rasul-Nya dan sanksi yang ditetapkan manusia melalui kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kedua jenis sanksi tersebut mendorong masyarakat untuk patuh pada ketentuan hukum. 
Dalam  banyak  hal penegakan hukum menuntut peranan negara. Hukum tidak berjalan bila tidak ditegakkan oleh negara. Di sisi lain suatu negara akan tidak tertib bila hukum tidak ditegakkan.
Maisir (Perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan dalam bentuk permainan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran.
Bahwa pada hakikatnya maisir (perjudian) adalah bertentangan dengan agama, kesusilaan dan moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Namun melihat kenyataan dewasa ini, perjudian dengan segala macam bentuknya masih banyak dilakukan dalam masyarakat, sedangkan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian masih memungkinkan legalisasi perjudian oleh pemerintah dengan alasan tertentu dan di tempat tertentu dan tentunya dapat menjerumuskan orang Islam dalam kemaksiatan tersebut.
Qanun tentang larangan maisir (perjudian) ini dimaksudkan sebagai upaya preemtif, preventif dan pada tingkat optimum remedium sebagai usaha represif melalui penjatuhan ‘uqubat dalam bentuk ‘uqubat ta’zir yang dapat berupa ‘uqubat cambuk dan ‘uqubat denda (gharamah).
Untuk efektivitas pelaksanaan Qanun ini di samping adanya lembaga penyidikan dan penuntutan, juga dilakukan pengawasan yang meliputi upaya pembinaan si pelaku jarimah maisir oleh Pejabat Wilayatul Hisbah. Di samping itu juga masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah maisir dalam rangka memenuhi kewajiban sebagai seorang muslim untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Peran serta masyarakat tersebut tidak dalam bentuk main hakim sendiri.
Bentuk ancaman ‘uqubat cambuk bagi si pelaku jarimah maisir dimaksudkan sebagai upaya memberi kesadaran bagi si pelaku dan sekaligus menjadi peringatan bagi calon pelanggar lainnya untuk tidak melakukan maisir. Di samping itu ‘uqubat cambuk akan lebih efektif dengan memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko bagi keluarga. Jenis ‘uqubat cambuk juga berdampak pada biaya yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih murah dibandingkan dengan jenis ‘uqubat lainnya seperti yang dikenal dalam KUHP sekarang ini.
Oleh karena materi yang diatur dalam Qanun ini termasuk kompetensi Mahkamah Syar’iyah dan sementara ini Qanun yang sesuai dengan kebutuhan Syariat Islam belum terbentuk, maka untuk menghindari kevakuman hukum, Qanun ini juga mengatur tentang penyidikan, penuntutan dan pelaksanaan ‘uqubat.

II.        PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan perbuatan yang mengarah kepada maisir (perjudian) seperti permainan domino, kartu, sabung ayam, taruhan permainan/olahraga, seperti bilyar, sepak bola, pacuan kuda dan lain-lain;
Huruf c
Yang dimaksud dengan pengaruh buruk yang timbul akibat kegiatan dan/atau perbuatan maisir ialah seperti konflik dalam keluarga, perceraian, perkelahian, pembunuhan dan kejahatan lainnya.
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Yang dimaksud dengan izin usaha termasuk izin untuk menyelenggarakan keramaian, pameran, pertunjukan dan lain-lain.
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Perlindungan dan jaminan keamanan dimaksud meliputi kerahasiaan nama pelapor, keselamatan si pelapor, sipenyerah beserta keluarga mereka dari ancaman atau tindakan kekerasan si pelaku atau keluarganya atau pihak lainnya.
Pasal 12
Yang dimaksud dengan menuntut adalah mengajukan praperadilan dan/atau gugatan ganti rugi sebagai akibat kelalaian pejabat yang berwenang.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
 Ayat (1)
Cukup jelas
 Ayat (2)
Wilayatul Hisbah merupakan institusi di bawah Pemerintah Daerah, berwenang mengawasi pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar termasuk yang diatur dalam Qanun ini.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
 Ayat (2)
Yang dimaksud dengan peringatan adalah teguran kepada tersangka untuk tidak meneruskan atau mengulangi perbuatan jarimah dengan memberitahukan ancaman ‘uqubat yang dapat dikenakan karena melanggar larangan tersebut. Fungsi pembinaan dapat juga dilakukan dengan melaksanakan ketentuan yang tersebut dalam Perda Nomor 7 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Adat.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a, b dan c
  Cukup jelas
Ayat (1) Huruf d
Penahanan hanya dibenarkan untuk keperluan penyidikan, penuntutan dan persidangan dan tidak mempengaruhi kadar penjatuhan ‘uqubat.
Ayat (1)
Huruf e, f, g, h, i.
Cukup jelas
Ayat (1)
Huruf j.
Yang dimaksud dengan hukum yang berlaku adalah ketentuan Peraturan Perundang-undangan dan Syari’at Islam, misalnya terhadap tersangka perempuan harus dilakukan penyidikan oleh penyidik perempuan sejauh hal ini memungkinkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang Islam.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang yang berada di Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 24
Selama Baital Mal belum terbentuk,  penerimaan disetor ke Kas Daerah.
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 29



No comments:

Post a Comment