Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Sunday, July 3, 2011

Penyelesaian Perselisihan Dalam Hukum Adat Aceh

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Ada beberapa hal yang perlu pengkajian ulang dalam sistem hukum indonesia. Misalnya saja dalam hal penyelesaian perkara yang kadang-kadang tidak efektif bagi masayarakt sekitar. Selalu saj ada kendala yang dihadapi oleh masyarakt. Mulai dari ketidaktahuan mareka terhadap hukum positif juga karena rumitnya procedure dan banyaknya biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat itu sendiri. Sehingga tidak efektive dan fleksiblenya suatu pelaksanaan hukum.
Dengan berbagai alasan diatas telah membuat masyarakat berpaling kepada hukum yang menjadi kebiasaan mareka dalam menyelesaikan perkara mareka yakni hukum adat yang mareka kenal. Apalagi sekarang telah adanya undang-undang yang mengatur tentang lembaga adat dan penyelesaian secara adat. Kita warga Aceh perlu bersyukur dengan di akuinya hukum adat di dalam struktur undang-undang dan pemerintahan. Walaupun lembaga adat yang di akui tidak berperan penuh dalam suatu perkara.
Misalnya saja penyelesaian suatu perkara pidana, yang kemungkinan besar tidak dapat diselesaikan secara adat. Karena tidak semuanaydapat diselesaikan dengan cara hukum adat. Dan keterbatasan dari pada waktu penyelesaian terhadap suatu perkara.
Di dalam makalah ini, kami mencoba membahas mulai dari teori sampai kepada teknis cara penyelesaian perkara pidana dalam hukum adat Aceh, serta sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum adat. Kami tidak melakukan perbandingan dengan hukum adat lainnya karena hampir keseluruhan hukum adat sama sistemnya. Misalnya saja semua hukum adat sepakat dengan sistem musyawarah. Walaupun ada perbedaan secara teknis dari setiap hukum adat yang berlaku di Indonesia.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hukum Adat
Hukum adat sama dengan hukum lainnya yang hidup dan berkembang didalam masyarakat. Hukum adat merupakan panutan dan implementasi sikap atau watak (geist) dari praktek sehari-hari dalam tatanan kehidupan masyarakat yang lebih bersifat etnis atau kelompok masyarakat dalam suatu negara. Sifat dan bentuknya bernuansa tradisional dan pada dasarnya tidak tertulis serta bersumber dari adat istiadat atau kebiasaan mareka sendiri. [1]
Seperti halnya hukum adat yang berlaku di seluruh Indonesia khususnya aceh. Hukum tersebut berkembang di dalam tatanan kehidupan orang aceh, yang tentunya berbeda adat istiadatnya dengan hukum adat yang berada di wilayah Indonesia yang lain. Kita patut bergembira karena Hukum adat di aceh telah menampakkan perkembangan, walaupun prakteknya dalam kehidupan sehari-hari masih sangat tidak sesuai dengan yang diharapkan. Namun, Aceh telah mempunyai wewenang didalam konstitusi[2] artinya hukum adat yang berlaku di Aceh telah mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Walaupun letak hukum adat aceh tidak setara dengan hukum positif, akan tetapi aceh di berikan kesempatan kepada aparatur hukum adat untuk menyelesaikan perkara dalam jangka waktu 1 bulan. [3]
Hukum adat merupakan alternative yang sangat efektive bagi masyarakat setempat terutama aceh. Ada tiga penyebab utama dipergunakannya cara non-ligitas dalam penyelesaian sengketa terutama Penyelesaiannya di luar pengadilan dengan cara perdamaian. Pertama,di Indonesia tata cara penyelesaian sengketa damai telah lama dan biasa dipakai oleh masyarakat Indonesia.[4] Hal ini dapat dilihat dari hukum adat yang menempatkan kepala adat sebagai penengah dan memberi putusan adat bagi sengketa di antara warga. Kedua, adanya ketidakpuasaan atas penyelesaian perkara melalui pengadilan, seperti mahalnya ongkos perkara, lamanya waktu dan rumitnya beracara, maka berbagai negara di dunia termasuk Indonesia mulai berpaling kepada penyelesaian perkara secara non ligitimasi di luar pengadilan. Ketiga, pada masyarakat Indonesia (Aceh) terdapat kecenderungan menyelesaikan sengketa dengan cara adat Sebagai sarana penyelesaian sengketa hukum nonligitasi sampai saat ini masih efektif, walaupun tidak sepenuhnya baik  dalam aspek perdata maupun aspek pidana.

  1. Penyelesaian Perselisihan Dalam Adat  Aceh
Sengketa atau perselisihan adat Menurut Qanun no. 9 tahun 2008, meliputi:
  1. perselisihan dalam rumah tangga;
  2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
  3. perselisihan antar warga;
  4. khalwat meusum;
  5. perselisihan tentang hak milik;
  6. pencurian dalam keluarga  (pencurian ringan);
  7. Perselisihan harta sehareukat,
  8. pencurian  ringan;
  9. pencurian ternak  peliharaan;
  10. pelanggaran adat tentang ternak,  pertanian, dan hutan;
  11. persengketaan di laut;
  12. persengketaan di pasar;
  13. penganiayaan ringan;
  14. pembakaran hutan (dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat);
  15. pelecehan,  fitnah, hasut, dan pencemaran nama  baik;
  16. pencemaran lingkungan (skala ringan);
  17. ancam  mengancam  (tergantung dari jenis ancaman); dan
  18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat.
Sedangkan jenis sanksi yang diberikan kepada pelanggar hukum adat dalam Pasal 16 Qanun no. 9 tahun 2008 tentang Jenis-jenis Sanksi Adat antara lain:
    1. nasehat;
    2. teguran;
    3. pernyataan maaf;
    4. sayam; (semacam peusijuek)
    5. diyat;
    6. denda;
    7. ganti kerugian;
    8. dikucilkan oleh masyarakat gampong;
    9. dikeluarkan dari masyarakat gampong;
    10. pencabutan gelar adat; dan bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat
Sedangkan menurut perda no. 7 tahun 2000 pasal 19 menyebutkan sanksi yang diberikan juga sama dengan yang tersebut di dalam qanun di atas.
Dalam pelaksanaan atau dalam mengadili pelanggar hukum adat tidak boleh sembarangan orang ada orang-orang yang ditunjuk sendiri atau ada heirarki sendiri dalam hukum adat, yaitu Pelaksana Penyelesaian Sengketa Adat di Gampong atau Mukim. Para pelaksana tersebut yaitu:
}  Keuchik;
}  imeum meunasah;
}  tuha peut;
}  sekretaris gampong;
}  ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan
}  imeum mukim;
}  imeum chik,
}  tuha peut;
}  sekretaris mukim;
}  ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya yang relevan.
Terdapat beberapa metode dan pola penyelesaian sengketa yang dilakukan dalam penyelesaian setiap perkara yang terjadi di dalam masyarakat adat, antara lain yaitu[5]:
  1. Penyelesaian secara personal, yaitu penyelesaian yang dilaksanakan secara pribadi oleh tokoh masyarakat berdasarkan kepercayaan para pihak tanpa melibatkan komponen lain.
  2.  Penyelesaian melalui pihak keluarga, yaitu penyelesaian yang dilakukan dengan pendekatan pihak keluarga dari pihak yang bersengketa yang biasanya mempunyai hubungan yang masih dekat.
  3. Duek ureung tuha, yaitu musyawarah terbatas para tokoh masyarakat untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan laporan para pihak.
  4. Penyelesaian melalui Lembaga Adat Keujreun Blang, yaitu penyelesaian yang dilaksanakan oleh keujreun terhadap berbagai sengketa, baik berdasarkan laporan dari para pihak atau tidak.
  5. Penyelesaian melalui Peradilan Gampong, yaitu peradilan adat yang diikuti oleh perangkat gampong untuk penyelesaian sengketa yang  dilaksanakan di meunasah atau mesjid.
  6. Penyelesaian melalui Peradilan Mukim, yaitu peradilan adat yang diikuti oleh perangkat mukim untuk menyelesaikan sengketa yang diajukan oleh para pihak karena tidak puas terhadap putusan peradilan gampong.

Tempat Pelaksanaan dalam penyelesaian secara adat seperti tersebut didalam Pasal 14 ayat 4 Qanun no. 9 tahun 2008 yaitu:
Sidang musyawarah penyelesaian sengketa/perselisihan dilaksanakan :
}  di Meunasah pada tingkat Gampong,
}  di Mesjid pada tingkat Mukim atau tempat-tempat lain yang ditunjuk oleh Keuchik atau Imeum Mukim.
}  di Balee Nelayan untuk penyelesaian sengketa laoet.



  1. Prosesi Penyelesaian Adat
      membawa kain putih, sebagai simbol kedamaian dan kesucian
      membawa biaya( ganti rugi / biaya pengobatan ) bila pesakitan mengeluarkan darah
      membawa bu lukat ( nasi ketan ) yang besar hidangnya sesuai dengan kesalahan
      membawa kambing untuk acara khanduri ( menurut tingkat kesalahan )
      peusijuek kepada pihak bersengketa
      memberikan kata-kata nasehat
      bermaaf-maafan/ berjabat tangan pihak sengketa
      membuat surat penyelesaian/ perdamaian adat
      do’a




BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Penyelesaian terhadap suatu perkara dalam hukum adat merupakan penyelesaian perkara yang sangat efektive jika di tinjau secara social. Artinya, kemungkinan untuk selesai dalam suatu perkara sangatlah besar. Hal ini karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan hukum adat yang berlaku dibandingkan dengan hukum positif. Selain biaya murah juga tidak meripotkan. Artinya tidak perlu memikirkan procedure yang sangat membigungkan.
Di aceh sendiri telah ada lembaga adat yang disahkan oleh pemerintah. Ini merupakan langkah awal dalam mengembangkan kembali hukum adat yang telah lama pudar dimasyarakat kita. Landasan hukumnya antara lain:
  1. Perda NAD (Naggroe Aceh Darussalam) No. 7 tahun 2000
  2. Qanun PA (Pemerintahan Aceh) No. 9 tahun 2008
  3. UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Dalam pelaksanaan penyelesaian secara adat ada 6 pola, ada tingkatan-tingkatan ataupun bertahap dalam proses penyelesaiannya dan ada sanksi secara adat yang diberikan oleh masyarakat. Misalnya di tingkat keuchik, kemudian, tuha peut, kemudian mukim sebagai temapat penyelesaian terakhir dalam adat. Waktu yang diberikan dalam semua tingakatan oleh pemerintah adalah 1 bulan. Dan apabila perkara tersebut tidak selesai secara adat maka akan diambil oleh pihak yang berwenang untuk menyelesaikan perkara tersebut secara hukum positif.



DAFTAR PUSTAKA
Badruzzaman, ismail, 2003. Bunga Rampai Hukum Adat. Banda Aceh: CV Gua Hira
Sudar, Sano. 1999. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta,
Soerjono, Soekanto. 1986. Kedudukan Kepala Desa Sebagai Hakim Perdamaian. Jakarta: CV. Rajawali
Ter,Haar.1960.asas-asas dan susunan hukum adat, Jakarta: Pradiya Pramita
Gawing,Laurensius. Majalah forum. Peradilan Adat : KeadilanYang Ternafikan
TAQWADDIN. 2009. Bahan diskusi pada Training  untukTuha Peut , diselenggarakan
oleh Yayasan Rumpun Bambu Indonesia. Banda Aceh.
Soekanto, Soerjono.1970. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia. Jakarta: Kurnia Esa.
Perda NAD (Naggroe Aceh Darussalam) No. 7 tahun 2000
Qanun PA (Pemerintahan Aceh) No. 9 tahun 2008
UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
Www.Idlo.Int




[1] H. badruzzaman ismail. Bunga rampai hukum adat. Banda aceh. 20003. Hlm. 1
[2] Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat istiadat di Tingkat Desa/Kelurahan,
[3] Perda no. 7 tahun 2000 pasal. 10 “Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada geuchik dan imum mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa atau perselisihan di gampong atau mukim masing-masing.”

[4] Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Pasasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Tahun 2007.

[5] Dari hasil resume penelitian tentang Penerapan Alternative Dispute Resolution Berbasis Hukum Adat pada Lembaga Adat Keujreun Blang di Kabupaten Aceh Besar hasil kerjasama antara Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) dan Satker BRR-Pengembangan Sarpras Hukum NAD-Nias, (www. Idlo.int)

No comments:

Post a Comment