Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Wednesday, March 9, 2011

Kedudukan Nafkah Isteri Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Ditinjau Dari Hukum Islam

BAB  I

PENDAHULUAN


A. Latar  Belakang  Masalah

Pengaturan  hak  dan  kewajiban  dalam  ajaran  Islam  adalah  perwujudan  dari  nilai  kemanusian  dan  keadilan. Perkawinan sebagai  perjanjian istimewa (mitsagan  ghalizha)  telah  melahirkan hak  dan  kewajiban  antara  suami  istri.  Istri  mempunyai kewajiban  yang  harus  dipenuhi  oleh suami,   sebaliknya  pada  saat  yang  sama  suami  mempunyai  kewajiban  yang  harus  di  penuhi  istri.
Islam  telah  menggariskan  bahwa  selama  perkawinan  berlangsung  bahkan  sampai  terjadi  perceraian  yakni selama  istri  menjalani  masa  iddah  suami  masih  mempunyai  kewajiban  yang  harus  dibayar  kepada  istrinya. Kewajiban  tersebut  dijelaskan  dalam  firman  Allah  Swt. surat  al-Thalaq  ayat 6:   

اسكنوهن من حيث سكنتم من وجد كم ولاتضا روهن لتضيقوا عليهن

Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka  untuk menyempitkan (hati)  mereka.”

Ayat ini menjelaskan  bahwa  wajib  hukumnya  memberikan  tempat  tinggal bagi istri, baik  istri  tersebut  telah  ditalak  dengan  talak  raj’i atau  talak  ba’in[1].  Berkenaan dengan kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isteri  diungkapkan lebih rinci  dalam firman-Nya surat at-Thalaq ayat 7:
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما ءاتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ماأتها سيجعل الله بعد عسر يسرا

Artinya: “Hendaklah  orang  yang  mampu  memberikan  nafkah  menurut  kemampuan Dan  orang  yang  (kekurangan )  rezkinya  hendaknya  memberi  nafkah  sesuai  dengan  apa yang  dikaruniakan  Allah  kepadanya. Allah tidak memberi  beban  kepada  seseorang  kecuali  sesuai  dengan  apa  yang diberikan  Allah. Semoga  Allah  memberikan  kelapangan  setelah kesempitan

Zahir ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan keluarga erat sekali kaitannya dengan kemampuan seseorang. Ayat di atas tidak memberikan  ketentuan yang  jelas  dan pasti  mengenai berapa  besarnya ukuran nafkah seorang suami  kepada  isteri  baik berupa batas maksimal  maupun minimal.  Tidak  adanya ketentuan  yang  menjelaskan  berapa ukuran  nafkah yang pasti itu  justru menunjukkan  betapa   fleksibelnya  Islam dalam menetapkan  aturan  nafkah.
Menurut  al-Qurthubi  ayat  ini  menjelaskan  bahwa  suami  wajib memberi nafkah  istri  selama  masa  iddah  talak  raj’ i.[2] Selanjutnya al-Qurthubi  berpendapat bahwa ukuran nafkah  ditentukan  menurut  keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan  orang yang diberi nafkah  ditentukan  menurut kebiasaan setempat. Al-Qurthubi menambahkan bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan  kepada suami  bukan   terhadap  isteri.  Dalam ayat juga ditegaskan bahwa  orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah  layaknya orang kaya dalam  memberi nafkah.
Dalam  surat  al-Baqarah  (2:241)  Allah  menjelaskan  pula:
وللمطلقت متاع بالمعروف حقا على المتقين
Artinya: Kepada wanita-wanita  yang  diceraikan (hendaklah  diberikan  suaminya )  mut’ah  menurut  yang  ma’ruf,  sebagai  suatu  kewajiban  bagi  orang  yang  bertaqwa. 

Berdasarkan  beberapa dalil nash di atas dapat dipahami bahwa  ada  tiga  kewajiban  yang  harus dipenuhi  suami  yakni  kewajiban  menyediakan kiswah, tempat  tinggal,  nafkah ,ketiga   ,   kewajiban  tersebut  berlaku  sampai  habis  masa  iddah. Sedangkan kewajiban mut`ah tidak dibatasi waktunya karena pemberian tersebut merupakan hiburan bagi isteri yang dicerai.
Meskipun  pengaturan  masalah  kewajiban  suami  terhadap  istri  telah  diatur  sedemikian  rupa  namun  pemerintah  membuat  pula  suatu  peraturan  yaitu  Peraturan  Pemerintah  Nomor  10  tahun  1983  yang  diperkuat  dan  dipertegas  oleh  Peraturan  Pemerintah  Nomor  45  tahun  1990 tentang  izin  perkawinan  dan  perceraian  bagi  pegawai  negeri  sipil.  Peraturan  Pemerintah itu  ( untuk selanjutnya disebut  PP)  tersebut  khusus  diberlakukan  terhadap  Pegawai  Negeri  Sipil  disamping  undang-undang  lain  yang  berlaku  bagi   rakyat  Indonesia .
Berbeda dengan ketentuan yang telah ada sebelumnya kedua Peraturan Pemerintah ini memang tidak menamakan kewajiban tersebut dengan  sebutan nafkah, namun dengan ungkapan ‘wajib’ seolah-olah kewajiban tersebut adalah nafkah.
Peraturan Pemerintah   nomor 10 tahun 1983 memuat tentang bentuk perceraian dan alasan perceraian serta kapan seorang isteri mendapatkan hak seperdua atau sepertiga gaji, disamping itu juga memuat perihal pembatasan pemberlakuan penerimaan hak tersebut hingga janda itu menikah lagi.
 Kemudian ketentuan yang dalam Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tersebut diadopsi dalam Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 dengan penyempurnaan tentang alasan perceraian yang menyebabkan janda tersebut tidak mendapatkan hak gaji serta penetapan sanksi tertentu bagi Pegawai Negeri Sipil pria yang tidak bersedia menyerahkan sebagian gajinya untuk jandanya.    
Mencermati konsideran Peraturan Pemerintah  tersebut terdapat dua hal yang menjadi perhatian Pemerintah Pemerintah tersebut disatu sisi menekankan kearah peningkatan disiplin Pegawai Negeri Sipil dalam pelaksanaan rumah tangganya sehingga Peraturan Pemerintah ini dianggap sama seperti peraturan disiplin lainnya yang tidak terkait langsung dengan proses penyelesaian perkara di pengadilan. Disamping itu dalam konsideran Peraturan Pemerintah ini dikaitkan pula dengan Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 yang menyebabkan Peraturan Pemerintah merupakan bagian dari hukum materil yang harus menjadi acuan dalam penyelesaian perkara di pengadilan. Munculnya kedua kenyataan tersebut dalam konsideran Peraturan Pemerintah ini menimbulkan dua persepsi pula dalam pelaksaan Peraturan Pemerintah ini di pengadilan sehingga lahirlah yurisprudensi yang menyerahkan penyelesaian hak janda tersebut kepada instansi tempatnya bekerja misalnya yurisprudensi4 Mahkamah Agung nomor 38 K /AG/ 1990. Persep4si lain yang menempatkan Peraturan Pemerintah ini menjadi bagian peraturan yang harus menjadi acuan hakim dalam penyelesaian perkara menetapkan hak janda tersebut secara exofisio misalnya yurisprudensi nomor 534/K/Pdt/1996, atau bahkan seperti putusan Kasasi nomor 15 K/AG/1997 yang menetapkan hak-hak akibat cerai seperti nafkah iddah, mut`ah, maskan dan kiswah serta hak yang ditetapkan Peraturan Pemerintah ini.  
Meskipun tidak ada keharusan mengikuti yurisprudensi  atau putusan Mahkamah Agung namun kehadiran yurisprudensi ini mempengaruhi putusan hakim-hakim pada tingkat pertama seperti putusan pengadilan Agama Sawahlunto nomor:90/Pdt.G/2002/PA.SWL.  Apabila penetapan hak janda dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan dalam usaha melaksanakan ketentuan pasal 41 huruf  c Undang-Undang Perkawinan yang memungkinkan pengadilan menetapkan hak bagi janda guna melindungi hak wanita    maka dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya sebagian kecil para janda yang terlindungi haknya yaitu isteri yang suaminya berstatus Pegawai Negeri Sipil.   
Penetapan jumlah seperdua dan sepertiga gaji tersebut juga terkesan memberatkan suami, padahal secara tekstual ayat dan hadis tidak satupun yang memberikan batasan minimal atau maksimal terhadap nafkah isteri tetapi disesuaikan dengan kemampuan suami. Di  samping  itu dalam fikih tidak dikenal adanya  kewajiban  suami kepada  isteri setelah terjadinya perceraian, kecuali selama masa iddah.
Penetapan hak terhadap janda dalam Peraturan Pemerintah ini juga  terkesan kurang memperhatikan bekas suami karena selain dibebani menyerahkan seperdua atau sepertiga gaji untuk bekas isterinya juga masih terkait kewajiban lain berupa nafkah iddah, uang mut’ah atau kewajiban terhadap keluarganya yang baru,  pada hal penerimaan gajinya hanya sepertiga dari jumlah yang biasanya diterima.
Penulis berpandangan bahwa kedua Peraturan Pemerintah ini sepertinya tidak memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak.  Misalnya ketika suami mengambil inisiatif dalam perceraian dimungkinkan suami tersebut tidak sanggup meneruskan perkawinan karena sikap isteri yang kurang baik, dan suami memandang bahwa perceraian merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari kemelut rumah tangganya. Dalam kondisi seperti ini cukup adilkah penetapan suatu kewajiban kepada bekas suami (apalagi kalau bekas suami tersebut telah berstatus pegawai negeri sipil sebelum pernikahan berlangsung)
Suami dihadapkan kepada dua kondisi yang sangat sulit menyerahkan sebagian gaji dan hidup dengan sisa gaji yang ada atau tidak menyerahkan sebagian gaji dengan mendapat hukuman disiplin seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1980 yang mungkin  akan berakhir dengan pemberhentian sebagai pegawai negeri sipil.
Berangkat dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti masalah ini dengan judul “Kedudukan Nafkah Isteri Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Ditinjau Dari Hukum Islam”   

B. Rumusan  Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka masalah pokok yang diteliti dalam tulisan ini adalah: Apakah pembebanan kewajiban bagi bekas suami untuk menyerahkan seperdua atau sepertiga gaji (jika punya anak) kepada jandanya dapat dibenarkan dalam Islam, mengingat kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun masa iddah telah habis (sampai bekas suami menikah lagi).               

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.        
1.   Tujuan
Tujuan  melakukan kajian terhadap persoalan ini adalah untuk mengetahui apakah pembebanan kepada bekas suami dalam bentuk keharusan menyerahkan sebagian gaji kepada jandanya  sekalipun telah habis masa iddah dapat dibenarkan dalam Islam.

2.   Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Menambah wawasan serta memperluas cakrawala berpikir penulis dalam menyikapi  berbagai persoalan  yang membutuhkan pemikiran terutama dalam menyelesaikan  perkara yang masuk ke pengadilan.
b. Memberikan  kontribusi pemikiran dalam  khazanah ilmu pengetahuan  terutama  bagi dunia peradilan.
        

D.  Definisi  Operasional


Ada beberapa istilah  penting  yang terdapat dalam judul tulisan ini  yang perlu  penulis jelaskan untuk menghindari terjadinya  kesalahpahaman serta kerancuan  dalam memahami  tulisan ini, di antaranya:
Nafkah adalah Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya .[3] Pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah  karena merupakan konsekuensi dari terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. Jadi bisa disimpulkan bahwa nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik sandang, pangan ataupun papan dan lainnya. dengan  sesuatu yang baik. Sedangkan nafkah yang dimaksud dalam judul tulisan ini adalah  pengeluaran  ataupun  pemberian yang harus diberikan oleh  mantan suami kepada jandanya selama isteri belum menikah dengan orang lain setelah habisnya masa iddah.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990  adalah seperangkat aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah berkenaan dengan  izin perkawinan  dan perceraian bagi  pegawai negeri sipil yang  terdiri dari 17 pasal .
Hukum Islam adalah seperangkat  peraturan  berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang  tingkah laku  manusia  mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.[4]
Jadi yang dimaksud dengan  judul  tesis ini sesungguhnya adalah bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pembebanan kewajiban bagi bekas suami untuk menyerahkan sebagian gaji kepada jandanya setelah terjadinya perceraian dan isteri telah  habis masa iddahnya.


E. Tinjauan Pustaka
          Persoalan  tentang penerapan  PP No. 10 tahun 1983 jo. PP  No. 45 tahun 1990  sering diperdebatkan   dan dipermasalahkan  masyarakat demikian juga halnya di dunia peradilan. Penulis  memandang bahwa  hal ini menjadi  persoalan karena terusiknya rasa keadilan  masyarakat.
Para  ulama  telah  merumuskan  bahwa  kewajiban  suami untuk  membayar  kewajiban  adalah  hingga  berakhirnya  masa  iddah. Sejauh  ini  pembahasan  masalah  hak dan  kewajiban  suami istri  dalam  perkawinan  sudah  banyak  ditemukan, tetapi pembahasan  yang dikaitkan  dengan kewajiban  seperti  dalam  PP tersebut di atas belum  penulis  temukan.
Penulis  berpandangan bahwa persoalan yang berkenaan dengan PP 45 tahun 1990  yang mengupas tentang  segala bentuk perizinan  yang harus dilakukan bagi  pegawai negeri sipil atau yang disamakan dengan PNS terutama  berkaitan dengan keharusan bagi mantan suami untuk memberikan seperdua ataupun sepertiga gajinya andai punya anak kepada janda merupakan suatu hal yang harus dikaji ulang.
Dalam mengkaji persoalan ini dan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pandangan hukum Islam  mengenai kedudukan nafkah serta kapankah sebenarnya seseorang itu masih berkewajiban memberikan nafkah penulis merujuk pada  kitab-kitab yang membicarakan persoalan nafkah di dalamnya. Di antaranya  kitab  al-Mabsut  yang disusun  oleh  Syamsudin  al- Sarakhsi,  Mugni  al-Muhtaj  karya Khatib  Syarbaini, Fathu  al-Wahab  bi  Syarhi  Minhaju  al – Thullab yang  disusun  Abi  Yahya  Zakariya  al-Ansari  dan  buku-buku  yang berhubungan  dengan  perundang-perundangan  seperti  kumpulan Perundang-undangan  yang  berlaku  di pengadilan  Agama  yang dihimpun  oleh  Zainal  Abidin  Abu  Bakar  serta  putusan  Pengadilan  Agama  tentang  masalah  tersebut .
Literatur-literatur  di atas  menjadi  landasan teoritis penulis dalam menganalisa  serta menelaah persoalan yang dibahas dalam tesis ini.


F. Metode Penelitian

Penelitian tesis ini berbentuk penelitian kepustakaan (library research). Metode penelitian ini mencakup tiga hal:
1.   Pengumpulan data. Data yang dikumpulkan adalah  yang diperoleh dari berbagai literatur yang ada dan relevan dengan pembahasan serta berhubungan dengan masalah pokok yang  ingin dibahas dalam tesis ini.
Secara garis besar dapat dikelompokkan:
a.     Buku-buku referensi (referensi books) yaitu berupa: literatur umum standar seperti: ensiklopedi, kitab-kitab fikih, kumpulan hadis dan sebagainya.
b.     Artikel dalam Jurnal dan Majalah, dalam hal ini  jurnal dan majalah yang berkaitan dengan dunia peradilan, seperti; Mimbar Hukum, Pustaka Peradilan, Varia Peradilan, dan juga  dalam bentuk publikasi  surat kabar yang didapat di internet.
2.   Pengolahan   data.  Data-data  yang  telah  diperoleh  akan   diolah  berdasarkan metode induktif, deduktif dan komparatif. Metode induktif adalah pemahaman terhadap kasus-kasus khusus  ke dalam bentuk yang bersifat umum. Metode deduktif menarik kesimpulan khusus dari informasi yang bersifat umum. Sedangkan metode komparatif adalah membandingkan data-data yang ada satu sama lain untuk ditarik suatu solusi apabila terdapat perbedaan.
3.   Penyimpulan data.  Data-data yang telah diolah dengan menggunakan metode induktif, deduktif dan komparatif disarikan menjadi suatu kesimpulan akhir.

G. Sistematika Penulisan

          Untuk lebih memudahkan pembahasan tesis ini,  tulisan dibagi  kedalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab  pertama  berisikan pendahuluan yang merupakan landasan dan pemberi arah pada pembahasan-pembahasan selanjutnya. Pada bab ini disajikan latar belakang masalah yang menjelaskan dasar pemikiran dan urgensi dilakukannya penelitian mengenai Kewajiban mantan suami memberikan nafkah kepada janda setelah habisnya masa iddah. Kemudian merumuskan masalah pokok yang akan dibahas serta mengemukakan tujuan serta manfaat penelitian, juga mengemukakan studi kepustakaan  yang memuat pelacakan terhadap tulisan-tulisan yang berkenaan dengan  persoalan yang dibahas, metode penelitian yang digunakan serta sistematika penulisan yang menjelaskan urutan pembahasan dari awal hingga akhir.
Bab kedua  membahas secara umum bagaimana sesungguhnya pengaturan nafkah dalam konsep  peraturan perundang-undangan. Dalam bab ini diungkap  hal-hal yang berkaitan dengan persoalan nafkah seperti yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yakni; Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah  No 10 tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990. Pembahasan dalam bab dua serta beberapa sub babnya  sangat penting sekali  untuk dibahas dikaitkan dengan persoalan  yang dibahas yakni mengenai   penetapan  hak nafkah bagi bekas isteri.
Bab Ketiga  mengupas  secara umum persoalan nafkah dalam dalam konsep fikih. Dalam  bab serta sub babnya penulis  mengungkap  pandangan para ulama  mengenai kewajiban nafkah bagi suami serta hal-hal yang melatarbelakangi kenapa seorang isteri itu berhak untuk mendapatkan nafkah. Di samping itu juga membicarakan  tentang  hal-hal yang bisa menggugurkan  nafkah isteri. Dengan membahas bab  akan dipahami bagaimana sesungguhnya  konsep nafkah dalam pandangan ulama serta  diketahui alasan-alasan kenapa seorang isteri itu memiliki hak untuk mendapatkan nafkah.
 Bab keempat, dalam bab ini penulis bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama  menganalisa  konsep peraturan perundang-undangan  mengenai penetapan hak nafkah bagi bekas istri, sedangkan bagian kedua mengupas serta menganalisa penetapan hak  nafkah bagi bekas isteri di lihat dari sisi  atau tinjauan hukum Islam. Dalam bab ini penulis menjawab semua persoalan yang diungkapkan dalam bab satu dengan mengemukakan berbagai argumentasi.
Bab kelima merupakan kesimpulan terhadap persoalan yang dibahas dari bab satu hingga bab empat serta  berisikan  saran terhadap mereka yang bergerak dan beraktifitas di dunia peradilan pada umumnya khususnya Peradilan Agama.



                [1]  Talak raj`i dan talak bain adalah bentuk talakdari segi boleh atau tidaknya suami untuk ruju`. Talak raj`i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami  pada isteri yang telah digauli tanpa ganti rugi. Talak ba`in adalah talak yang dijatuhkan  suami pada isterinya dimana suami berhak kembali kepada isterinya dengan akad dan mahar yang baru. (lihat Abdul Aziz Dahlan  (ed) , Ensiklopedi Hukum Islam,jilid 5 , Jakarta , Ichtiar Bari Van Hoeve, 1996, cet 1, hal .1784.
[2] Muhammad  al-Qurhibi, aljami’  li  ahkami  al  quran , juz  18 , (Beirut :  Dar  al-Ihya ‘  li – Tirkati  al – ‘Arabi , 1995  ) , hal . 170 

               4Yurisprodensi dalam kepustaan Indonesia adalah kumpulan atau sari keputusan Mahkamah Agung ( dan Pengadilan Tinggi ) mengenai perkara tertentu berdasarkan pertimbangan ( kibijaksanaan ) hakim sendiri yang diikuti sebagai pedoman oleh hakim lain dalam memutus yang sama atau hampir sama  ( lihat Muhammad Daud Ali, Pengembangan hukum Islam  dan Yurisprodensi Pengadilan Agama  dalam Mimbar Hukum , Jakarta , al-Hikmah, nomor 12 tahun 1994 hal. 119.
              4 Istilah ex Officio maksudnya karena Jabatan  ( karena jabatannya hakim memutus hak bekas isteri atas basgian gaji yang telah diatur dalam  Peraturan Pemerintah meskipun hal tersebut tidak dituntut dan hakim memutus melebihi tuntutan . Penulis ) lihat Andi Aziz , Kamus hukum , Jakarta , Ghalia Indonesia, 1986, hal 187, atau Hasan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Jakarta , Gramedia , 2003, Cet XXV , hal 224
[3] Al-Syarkawi, Al-Syarkawi ‘ala al-Tahrir, (Singapura: Al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.th), Juz II, h. 345 
[4]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Jilid I, h. 5.  

No comments:

Post a Comment