BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pengaturan hak dan kewajiban dalam ajaran Islam adalah perwujudan dari nilai kemanusian dan keadilan. Perkawinan sebagai perjanjian istimewa (mitsagan ghalizha) telah melahirkan hak dan kewajiban antara suami istri. Istri mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami, sebaliknya pada saat yang sama suami mempunyai kewajiban yang harus di penuhi istri.
Islam telah menggariskan bahwa selama perkawinan berlangsung bahkan sampai terjadi perceraian yakni selama istri menjalani masa iddah suami masih mempunyai kewajiban yang harus dibayar kepada istrinya. Kewajiban tersebut dijelaskan dalam firman Allah Swt. surat al-Thalaq ayat 6:
اسكنوهن من حيث سكنتم من وجد كم ولاتضا روهن لتضيقوا عليهن
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”
Ayat ini menjelaskan bahwa wajib hukumnya memberikan tempat tinggal bagi istri, baik istri tersebut telah ditalak dengan talak raj’i atau talak ba’in[1]. Berkenaan dengan kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isteri diungkapkan lebih rinci dalam firman-Nya surat at-Thalaq ayat 7:
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما ءاتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ماأتها سيجعل الله بعد عسر يسرا
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuan Dan orang yang (kekurangan ) rezkinya hendaknya memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya. Allah tidak memberi beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah memberikan kelapangan setelah kesempitan”
Zahir ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan keluarga erat sekali kaitannya dengan kemampuan seseorang. Ayat di atas tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah yang pasti itu justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.
Menurut al-Qurthubi ayat ini menjelaskan bahwa suami wajib memberi nafkah istri selama masa iddah talak raj’ i.[2] Selanjutnya al-Qurthubi berpendapat bahwa ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Al-Qurthubi menambahkan bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Dalam ayat juga ditegaskan bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.
Dalam surat al-Baqarah (2:241) Allah menjelaskan pula:
وللمطلقت متاع بالمعروف حقا على المتقين
Artinya: Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan suaminya ) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang yang bertaqwa.
Berdasarkan beberapa dalil nash di atas dapat dipahami bahwa ada tiga kewajiban yang harus dipenuhi suami yakni kewajiban menyediakan kiswah, tempat tinggal, nafkah ,ketiga , kewajiban tersebut berlaku sampai habis masa iddah. Sedangkan kewajiban mut`ah tidak dibatasi waktunya karena pemberian tersebut merupakan hiburan bagi isteri yang dicerai.
Meskipun pengaturan masalah kewajiban suami terhadap istri telah diatur sedemikian rupa namun pemerintah membuat pula suatu peraturan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 yang diperkuat dan dipertegas oleh Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil. Peraturan Pemerintah itu ( untuk selanjutnya disebut PP) tersebut khusus diberlakukan terhadap Pegawai Negeri Sipil disamping undang-undang lain yang berlaku bagi rakyat Indonesia .
Berbeda dengan ketentuan yang telah ada sebelumnya kedua Peraturan Pemerintah ini memang tidak menamakan kewajiban tersebut dengan sebutan nafkah, namun dengan ungkapan ‘wajib’ seolah-olah kewajiban tersebut adalah nafkah.
Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 memuat tentang bentuk perceraian dan alasan perceraian serta kapan seorang isteri mendapatkan hak seperdua atau sepertiga gaji, disamping itu juga memuat perihal pembatasan pemberlakuan penerimaan hak tersebut hingga janda itu menikah lagi.
Kemudian ketentuan yang dalam Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 tersebut diadopsi dalam Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 dengan penyempurnaan tentang alasan perceraian yang menyebabkan janda tersebut tidak mendapatkan hak gaji serta penetapan sanksi tertentu bagi Pegawai Negeri Sipil pria yang tidak bersedia menyerahkan sebagian gajinya untuk jandanya.
Mencermati konsideran Peraturan Pemerintah tersebut terdapat dua hal yang menjadi perhatian Pemerintah Pemerintah tersebut disatu sisi menekankan kearah peningkatan disiplin Pegawai Negeri Sipil dalam pelaksanaan rumah tangganya sehingga Peraturan Pemerintah ini dianggap sama seperti peraturan disiplin lainnya yang tidak terkait langsung dengan proses penyelesaian perkara di pengadilan. Disamping itu dalam konsideran Peraturan Pemerintah ini dikaitkan pula dengan Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 yang menyebabkan Peraturan Pemerintah merupakan bagian dari hukum materil yang harus menjadi acuan dalam penyelesaian perkara di pengadilan. Munculnya kedua kenyataan tersebut dalam konsideran Peraturan Pemerintah ini menimbulkan dua persepsi pula dalam pelaksaan Peraturan Pemerintah ini di pengadilan sehingga lahirlah yurisprudensi yang menyerahkan penyelesaian hak janda tersebut kepada instansi tempatnya bekerja misalnya yurisprudensi4 Mahkamah Agung nomor 38 K /AG/ 1990. Persep4si lain yang menempatkan Peraturan Pemerintah ini menjadi bagian peraturan yang harus menjadi acuan hakim dalam penyelesaian perkara menetapkan hak janda tersebut secara exofisio misalnya yurisprudensi nomor 534/K/Pdt/1996, atau bahkan seperti putusan Kasasi nomor 15 K/AG/1997 yang menetapkan hak-hak akibat cerai seperti nafkah iddah, mut`ah, maskan dan kiswah serta hak yang ditetapkan Peraturan Pemerintah ini.
Meskipun tidak ada keharusan mengikuti yurisprudensi atau putusan Mahkamah Agung namun kehadiran yurisprudensi ini mempengaruhi putusan hakim-hakim pada tingkat pertama seperti putusan pengadilan Agama Sawahlunto nomor:90/Pdt.G/2002/PA.SWL. Apabila penetapan hak janda dalam Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan dalam usaha melaksanakan ketentuan pasal 41 huruf c Undang-Undang Perkawinan yang memungkinkan pengadilan menetapkan hak bagi janda guna melindungi hak wanita maka dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya sebagian kecil para janda yang terlindungi haknya yaitu isteri yang suaminya berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Penetapan jumlah seperdua dan sepertiga gaji tersebut juga terkesan memberatkan suami, padahal secara tekstual ayat dan hadis tidak satupun yang memberikan batasan minimal atau maksimal terhadap nafkah isteri tetapi disesuaikan dengan kemampuan suami. Di samping itu dalam fikih tidak dikenal adanya kewajiban suami kepada isteri setelah terjadinya perceraian, kecuali selama masa iddah.
Penetapan hak terhadap janda dalam Peraturan Pemerintah ini juga terkesan kurang memperhatikan bekas suami karena selain dibebani menyerahkan seperdua atau sepertiga gaji untuk bekas isterinya juga masih terkait kewajiban lain berupa nafkah iddah, uang mut’ah atau kewajiban terhadap keluarganya yang baru, pada hal penerimaan gajinya hanya sepertiga dari jumlah yang biasanya diterima.
Penulis berpandangan bahwa kedua Peraturan Pemerintah ini sepertinya tidak memperhatikan kemaslahatan kedua belah pihak. Misalnya ketika suami mengambil inisiatif dalam perceraian dimungkinkan suami tersebut tidak sanggup meneruskan perkawinan karena sikap isteri yang kurang baik, dan suami memandang bahwa perceraian merupakan satu-satunya jalan untuk keluar dari kemelut rumah tangganya. Dalam kondisi seperti ini cukup adilkah penetapan suatu kewajiban kepada bekas suami (apalagi kalau bekas suami tersebut telah berstatus pegawai negeri sipil sebelum pernikahan berlangsung)
Suami dihadapkan kepada dua kondisi yang sangat sulit menyerahkan sebagian gaji dan hidup dengan sisa gaji yang ada atau tidak menyerahkan sebagian gaji dengan mendapat hukuman disiplin seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 30 tahun 1980 yang mungkin akan berakhir dengan pemberhentian sebagai pegawai negeri sipil.
Berangkat dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk meneliti masalah ini dengan judul “Kedudukan Nafkah Isteri Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 Ditinjau Dari Hukum Islam”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka masalah pokok yang diteliti dalam tulisan ini adalah: Apakah pembebanan kewajiban bagi bekas suami untuk menyerahkan seperdua atau sepertiga gaji (jika punya anak) kepada jandanya dapat dibenarkan dalam Islam, mengingat kewajiban tersebut tetap berlaku meskipun masa iddah telah habis (sampai bekas suami menikah lagi).
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan
Tujuan melakukan kajian terhadap persoalan ini adalah untuk mengetahui apakah pembebanan kepada bekas suami dalam bentuk keharusan menyerahkan sebagian gaji kepada jandanya sekalipun telah habis masa iddah dapat dibenarkan dalam Islam.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Menambah wawasan serta memperluas cakrawala berpikir penulis dalam menyikapi berbagai persoalan yang membutuhkan pemikiran terutama dalam menyelesaikan perkara yang masuk ke pengadilan.
b. Memberikan kontribusi pemikiran dalam khazanah ilmu pengetahuan terutama bagi dunia peradilan.
D. Definisi Operasional
Ada beberapa istilah penting yang terdapat dalam judul tulisan ini yang perlu penulis jelaskan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman serta kerancuan dalam memahami tulisan ini, di antaranya:
Nafkah adalah Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya .[3] Pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah karena merupakan konsekuensi dari terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. Jadi bisa disimpulkan bahwa nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik sandang, pangan ataupun papan dan lainnya. dengan sesuatu yang baik. Sedangkan nafkah yang dimaksud dalam judul tulisan ini adalah pengeluaran ataupun pemberian yang harus diberikan oleh mantan suami kepada jandanya selama isteri belum menikah dengan orang lain setelah habisnya masa iddah.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 adalah seperangkat aturan yang dikeluarkan oleh pemerintah berkenaan dengan izin perkawinan dan perceraian bagi pegawai negeri sipil yang terdiri dari 17 pasal .
Hukum Islam adalah seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.[4]
Jadi yang dimaksud dengan judul tesis ini sesungguhnya adalah bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pembebanan kewajiban bagi bekas suami untuk menyerahkan sebagian gaji kepada jandanya setelah terjadinya perceraian dan isteri telah habis masa iddahnya.
E. Tinjauan Pustaka
Persoalan tentang penerapan PP No. 10 tahun 1983 jo. PP No. 45 tahun 1990 sering diperdebatkan dan dipermasalahkan masyarakat demikian juga halnya di dunia peradilan. Penulis memandang bahwa hal ini menjadi persoalan karena terusiknya rasa keadilan masyarakat.
Para ulama telah merumuskan bahwa kewajiban suami untuk membayar kewajiban adalah hingga berakhirnya masa iddah. Sejauh ini pembahasan masalah hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan sudah banyak ditemukan, tetapi pembahasan yang dikaitkan dengan kewajiban seperti dalam PP tersebut di atas belum penulis temukan.
Penulis berpandangan bahwa persoalan yang berkenaan dengan PP 45 tahun 1990 yang mengupas tentang segala bentuk perizinan yang harus dilakukan bagi pegawai negeri sipil atau yang disamakan dengan PNS terutama berkaitan dengan keharusan bagi mantan suami untuk memberikan seperdua ataupun sepertiga gajinya andai punya anak kepada janda merupakan suatu hal yang harus dikaji ulang.
Dalam mengkaji persoalan ini dan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya pandangan hukum Islam mengenai kedudukan nafkah serta kapankah sebenarnya seseorang itu masih berkewajiban memberikan nafkah penulis merujuk pada kitab-kitab yang membicarakan persoalan nafkah di dalamnya. Di antaranya kitab al-Mabsut yang disusun oleh Syamsudin al- Sarakhsi, Mugni al-Muhtaj karya Khatib Syarbaini, Fathu al-Wahab bi Syarhi Minhaju al – Thullab yang disusun Abi Yahya Zakariya al-Ansari dan buku-buku yang berhubungan dengan perundang-perundangan seperti kumpulan Perundang-undangan yang berlaku di pengadilan Agama yang dihimpun oleh Zainal Abidin Abu Bakar serta putusan Pengadilan Agama tentang masalah tersebut .
Literatur-literatur di atas menjadi landasan teoritis penulis dalam menganalisa serta menelaah persoalan yang dibahas dalam tesis ini.
F. Metode Penelitian
Penelitian tesis ini berbentuk penelitian kepustakaan (library research). Metode penelitian ini mencakup tiga hal:
1. Pengumpulan data. Data yang dikumpulkan adalah yang diperoleh dari berbagai literatur yang ada dan relevan dengan pembahasan serta berhubungan dengan masalah pokok yang ingin dibahas dalam tesis ini.
Secara garis besar dapat dikelompokkan:
a. Buku-buku referensi (referensi books) yaitu berupa: literatur umum standar seperti: ensiklopedi, kitab-kitab fikih, kumpulan hadis dan sebagainya.
b. Artikel dalam Jurnal dan Majalah, dalam hal ini jurnal dan majalah yang berkaitan dengan dunia peradilan, seperti; Mimbar Hukum, Pustaka Peradilan, Varia Peradilan, dan juga dalam bentuk publikasi surat kabar yang didapat di internet.
2. Pengolahan data. Data-data yang telah diperoleh akan diolah berdasarkan metode induktif, deduktif dan komparatif. Metode induktif adalah pemahaman terhadap kasus-kasus khusus ke dalam bentuk yang bersifat umum. Metode deduktif menarik kesimpulan khusus dari informasi yang bersifat umum. Sedangkan metode komparatif adalah membandingkan data-data yang ada satu sama lain untuk ditarik suatu solusi apabila terdapat perbedaan.
3. Penyimpulan data. Data-data yang telah diolah dengan menggunakan metode induktif, deduktif dan komparatif disarikan menjadi suatu kesimpulan akhir.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih memudahkan pembahasan tesis ini, tulisan dibagi kedalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab pertama berisikan pendahuluan yang merupakan landasan dan pemberi arah pada pembahasan-pembahasan selanjutnya. Pada bab ini disajikan latar belakang masalah yang menjelaskan dasar pemikiran dan urgensi dilakukannya penelitian mengenai Kewajiban mantan suami memberikan nafkah kepada janda setelah habisnya masa iddah. Kemudian merumuskan masalah pokok yang akan dibahas serta mengemukakan tujuan serta manfaat penelitian, juga mengemukakan studi kepustakaan yang memuat pelacakan terhadap tulisan-tulisan yang berkenaan dengan persoalan yang dibahas, metode penelitian yang digunakan serta sistematika penulisan yang menjelaskan urutan pembahasan dari awal hingga akhir.
Bab kedua membahas secara umum bagaimana sesungguhnya pengaturan nafkah dalam konsep peraturan perundang-undangan. Dalam bab ini diungkap hal-hal yang berkaitan dengan persoalan nafkah seperti yang termuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yakni; Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1983 dan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990. Pembahasan dalam bab dua serta beberapa sub babnya sangat penting sekali untuk dibahas dikaitkan dengan persoalan yang dibahas yakni mengenai penetapan hak nafkah bagi bekas isteri.
Bab Ketiga mengupas secara umum persoalan nafkah dalam dalam konsep fikih. Dalam bab serta sub babnya penulis mengungkap pandangan para ulama mengenai kewajiban nafkah bagi suami serta hal-hal yang melatarbelakangi kenapa seorang isteri itu berhak untuk mendapatkan nafkah. Di samping itu juga membicarakan tentang hal-hal yang bisa menggugurkan nafkah isteri. Dengan membahas bab akan dipahami bagaimana sesungguhnya konsep nafkah dalam pandangan ulama serta diketahui alasan-alasan kenapa seorang isteri itu memiliki hak untuk mendapatkan nafkah.
Bab keempat, dalam bab ini penulis bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menganalisa konsep peraturan perundang-undangan mengenai penetapan hak nafkah bagi bekas istri, sedangkan bagian kedua mengupas serta menganalisa penetapan hak nafkah bagi bekas isteri di lihat dari sisi atau tinjauan hukum Islam. Dalam bab ini penulis menjawab semua persoalan yang diungkapkan dalam bab satu dengan mengemukakan berbagai argumentasi.
Bab kelima merupakan kesimpulan terhadap persoalan yang dibahas dari bab satu hingga bab empat serta berisikan saran terhadap mereka yang bergerak dan beraktifitas di dunia peradilan pada umumnya khususnya Peradilan Agama.
[1] Talak raj`i dan talak bain adalah bentuk talakdari segi boleh atau tidaknya suami untuk ruju`. Talak raj`i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada isteri yang telah digauli tanpa ganti rugi. Talak ba`in adalah talak yang dijatuhkan suami pada isterinya dimana suami berhak kembali kepada isterinya dengan akad dan mahar yang baru. (lihat Abdul Aziz Dahlan (ed) , Ensiklopedi Hukum Islam,jilid 5 , Jakarta , Ichtiar Bari Van Hoeve, 1996, cet 1, hal .1784.
[2] Muhammad al-Qurhibi, aljami’ li ahkami al quran , juz 18 , (Beirut : Dar al-Ihya ‘ li – Tirkati al – ‘Arabi , 1995 ) , hal . 170
4Yurisprodensi dalam kepustaan Indonesia adalah kumpulan atau sari keputusan Mahkamah Agung ( dan Pengadilan Tinggi ) mengenai perkara tertentu berdasarkan pertimbangan ( kibijaksanaan ) hakim sendiri yang diikuti sebagai pedoman oleh hakim lain dalam memutus yang sama atau hampir sama ( lihat Muhammad Daud Ali, Pengembangan hukum Islam dan Yurisprodensi Pengadilan Agama dalam Mimbar Hukum , Jakarta , al-Hikmah, nomor 12 tahun 1994 hal. 119.
4 Istilah ex Officio maksudnya karena Jabatan ( karena jabatannya hakim memutus hak bekas isteri atas basgian gaji yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah meskipun hal tersebut tidak dituntut dan hakim memutus melebihi tuntutan . Penulis ) lihat Andi Aziz , Kamus hukum , Jakarta , Ghalia Indonesia, 1986, hal 187, atau Hasan Shadily, Kamus Ingris Indonesia, Jakarta , Gramedia , 2003, Cet XXV , hal 224
[3] Al-Syarkawi, Al-Syarkawi ‘ala al-Tahrir, (Singapura: Al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.th), Juz II, h. 345
No comments:
Post a Comment