A. Latar Belakang Masalah
Pengaturan hak dan kewajiban dalam ajaran Islam adalah perwujudan dari nilai kemanusiaan dan keadilan. Perkawinan sebagai perjanjian istimewa (mitsaqan ghalizha) telah melahirkan hak dan kewajiban antara suami istri. Suami mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi yang merupakan hak bagi isteri, sebaliknya pada saat yang sama isteri juga mempunyai kewajiban yang merupakan hak bagi suami.
Islam telah menggariskan bahwa selama perkawinan berlangsung bahkan sampai terjadi perceraian yakni selama istri menjalani masa iddah suami masih mempunyai kewajiban yang harus dibayar kepada istrinya. Kewajiban tersebut dijelaskan dalam firman Allah Swt. dalam surat al-Thalaq ayat 6:
أسكنوهن من حيث سكنتم من وجد كم ولا تضا روهن لتضيقـوا عليهـن.. (الطلاق:6)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”[1]
Menurut Muhammad Musthafa al-Maraghi ayat ini menjelaskan bahwa seorang suami wajib memberikan tempat tinggal kepada isteri yang telah ditalak sesuai dengan kemampuannya, karena tempat tinggal itu merupakan sebagian dari nafkah. [2] Selanjutnya al-Maraghi menjelaskan bahwa suami dilarang mempersulit isteri dalam masalah tempat tinggal, seperti dengan menempatkan orang lain yang tidak disukai isteri tinggal bersamanya, untuk memaksa agar isteri keluar dari tempat tinggal tersebut.
Senada dengan itu Muhammad Ali al-Sayyis menjelaskan bahwa seorang suami wajib memberikan tempat tinggal kepada isteri yang telah ditalak secara mutlak, baik talak raj’i maupun talak bain, dalam keadaan hamil atau tidak.[3]
Kedua pendapat tersebut sama-sama menjelaskan bahwa seorang suami berkewajiban memberikan tempat tinggal bagi istri, baik istri tersebut telah ditalak dengan talak raj’i atau talak ba’in[4]. Berkenaan dengan kewajiban suami untuk memberikan nafkah kepada isteri diungkapkan lebih rinci dalam firman-Nya surat at-Thalaq ayat 7:
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما أتاه الله ,لا يكلف الله نفسا الا ماأتاها , سيجعل الله بعـد عسر يسرا (الطلاق : 7)
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”[5]
Zahir ayat di atas menunjukkan bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada isteri dan keluarga erat sekali kaitannya dengan kemampuan seseorang. Ayat di atas tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah yang pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.
Menurut al-Qurthubi ayat ini menjelaskan bahwa suami wajib memberi nafkah isteri selama masa iddah talak raj’ i.[6] Selanjutnya al-Qurthubi berpendapat bahwa ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Al-Qurthubi menambahkan bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Dalam ayat juga ditegaskan bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.[7]
Di samping ayat-ayat tersebut, Rasul Saw juga menjelaskan tentang kewajiban suami menafkahi isteri dalam beberapa hadisnya di antaranya sebagai berikut :
1. Hadis Rasulullah SAW. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Aisyah Ra :
حدثني علي بن حجر السعدي حدثنا علي بن مسهر عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة قالت دخلت هند بنت عتبة امرأة أبي سفيان على رسول الله صلى اللهم عليه وسلم فقالت يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفيني ويكفي بني إلا ما أخذت من ماله بغير علمه فهل علي في ذلك من جناح فقال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم خذي من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيك (رواه المسلم).[8]
“Telah menceritakan kepadaku Ali bin Hujrin al-Sa’di, telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushar dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.”
4. Hadis riwayat Muslim dari Jabir ra :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وإ سحق بن إبراهيم جميعا عن حاتم قال أبو بكر حدثنا حاتم بن إسمعيل المدني عـن جعفر بن محمد عـن أبيه عـن جا بر بن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ... ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعـروف.... (رواه المسلم) [9]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishak bin Ibrahim yang semuanya dari Hatim, Abu Bakar berkata: telah menceritakan kepada kami Hatim bin Ismail al-Madani dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah dari Nabi Saw. Beliau bersabda : …, mereka (isteri) berhak mendapatkan dari kamu sekalian, berupa makanan dan pakaian dengan cara yang baik”…. (HR. Muslim)
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan di atas, Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban suami terhadap isterinya adalah memberikan nafkah, pakaian dan tempat tinggal.[10] Seiring dengan itu al-Sarakshi menjelaskan bahwa kewajiban suami tersebut muncul disebabkan oleh dua faktor yaitu karena isteri telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada suami (tamkin) serta timbulnya kepemilikan suami terhadap isteri (tamlik), sehingga hak isteri untuk berusaha terhalang karena kesibukannya mengurus kepentingan suami. [11] Di samping kedua pendapat tersebut, Umar Qadir bin Umar al-Syaibani dan Ibrahim bin Muhammad bin Dhiwyan dalam mazhab Hanbali menyatakan bahwa umat Islam telah sepakat mewajibkan para suami untuk menafkahi isterinya apabila keduanya telah dewasa dan isteri tidak nusuz.[12]
Berdasarkan pendapat para Imam di atas dapat dipahami bahwa jika telah terjadi akad nikah maka suami wajib menafkahi isterinya apabila isterinya tidak nusyuz. Hal ini seiring dengan ungkapan Wahbah al-Zuhaili bahwa ulama telah sepakat menyatakan wajibnya suami menafkahi isteri yang dinikahi secara sah dengan syarat isteri tersebut tidak nusyuz.[13] Berkenaan dengan hal ini Ibn Hazm dari kalangan Zahiri berpendapat bahwa ikatan suami isteri sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Jadi selama ada ikatan suami isteri selama itu pula ada hak nafkah. Jadi kewajiban tersebut lahir dikarenakan adanya ikatan perkawinan, dan isteri berhak untuk mengambil sebagian dari harta suaminya dengan cara yang baik, sekalipun tidak diketahui suaminya. Perbuatan tersebut dibolehkan andaikata hal tersebut dilakukan ketika suami melalaikan kewajiban yang menjadi hak isterinya.
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa seorang suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Kewajiban ini juga tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 80 ayat (4) huruf (a). yang berbunyi : Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung : a.Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.”.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, di samping memuat kewajiban suami menafkahi isteri juga memuat ketentuan tentang harta bersama. Di mana semua harta yang diperoleh selama dalam perkawinan, menjadi harta bersama suami isteri. Hal ini tertuang dalam pasal 35 ayat (1) Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam.
Dengan adanya ketentuan tentang harta bersama, membawa konsekuensi bahwa semua harta yang diperoleh suami isteri selama dalam perkawinan menjadi harta bersama suami isteri tanpa melihat siapa yang mengusahakan perolehan harta tersebut. Artinya suami dan isteri sama-sama punya hak dalam mengelola, mengatur dan mempergunakan harta tersebut.
Penulis berpandangan bahwa ketentuan tentang harta bersama ini dalam penerapannya sangat berpengaruh kepada kewajiban suami dalam menafkahi isteri. Di satu sisi suami wajib menafkahi isteri dengan harta yang diperoleh dan diusahakannya terutama yang diperoleh selama dalam masa perkawinan. Di sisi lain harta yang diperoleh seorang suami selama dalam masa perkawinan merupakan harta bersama yang juga menjadi hak isteri. Begitu juga kalau yang mengusahakan harta itu seorang isteri, maka dalam harta tersebut juga ada hak suami. Persoalan yang muncul kemudian, apakah suami masih wajib memberikan nafkah kepada isteri setelah adanya harta bersama, kalau wajib, dari mana suami mengambilkan harta yang akan diberikan sebagai nafkah kepada isteri, sementara antara suami dan isteri telah terjadi percampuran harta.
Berangkat dari latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik membahasnya dengan judul “KEWAJIBAN NAFKAH DALAM RUMAH TANGGA DALAM KONTEKS HARTA BERSAMA (Studi Analisis terhadap Undang-undang no. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam).
B. Rumusan dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka masalah pokok yang diteliti dan dibahas dalam tulisan ini adalah:
1. Bagaimanakah kewajiban nafkah dalam rumah tangga dalam konteks harta bersama?
2. Adakah pengaruh timbal balik antara harta bersama dengan kewajiban nafkah?
2. Batasan Masalah
Untuk lebih terfokusnya pembahasan tesis ini, maka masalah yang akan dibahas dibatasi sekitar harta bersama dan kewajiban nafkah suami kepada isteri.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan
Tujuan melakukan kajian terhadap persoalan ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana kewajiban nafkah dalam rumah tangga dengan diberlakukankanya harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui apakah ada hubungan timbal balik antara harta bersama dengan kewajiban nafkah suami kepada isteri.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
a. Menambah wawasan serta memperluas cakrawala berpikir penulis dalam menyikapi berbagai persoalan yang membutuhkan pemikiran terutama dalam menyelesaikan perkara yang masuk ke pengadilan.
b. Memberikan kontribusi pemikiran dalam khazanah ilmu pengetahuan terutama bagi dunia peradilan.
D. Definisi Operasional
Ada beberapa istilah penting yang terdapat dalam judul tulisan ini yang perlu penulis jelaskan untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman serta kerancuan dalam memahami tulisan ini, di antaranya:
Nafkah dalam rumah tangga terdiri dari dua kata yaitu nafkah dan rumah tangga. Nafkah adalah Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya .[14] Di samping makanan, pakaian dan tempat tinggal juga termasuk nafkah.[15] Pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah karena merupakan konsekuensi dari terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. Jadi dapat disimpulkan bahwa nafkah adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik sandang, pangan ataupun papan dan lainnya. dengan sesuatu yang baik. Sedangkan rumah tangga identik dengan keluarga yaitu sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan di rumah, seperti halnya belanja rumah dan sebagainya.[16] Maka yang dimaksud dengan nafkah dalam rumah tangga dalam judul ini adalah pengeluaran ataupun pemberian yang harus diberikan oleh suami kepada isterinya.
Harta bersama adalah harta yang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan.[17] Dalam bahasa Indonesia harta diartikan dengan: “1. barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan, barang-barang milik orang; 2. kekayaan berwujud dan tidak berwujud”[18].
Untuk keperluan operasional, maka yang di maksud dengan harta bersama adalah segala harta benda atau barang baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang diperoleh selama dalam perkawinan yang merupakan milik suami isteri.
Jadi yang dimaksud dengan judul tesis ini adalah bagaimana kewajiban nafkah dalam rumah tangga sebagai akibat pemberlakuan harta barsama.
E. Tinjauan Pustaka
Persoalan kewajiban nafkah dalam rumah tangga sebetulnya telah banyak dikaji dan diteliti baik dalam fiqh klasik, fiqh kontemporer maupun dalam bentuk penetapan melalui peraturan perundang-undangan. Namun dengan diberlakukanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yang dalam pasal-pasalnya di samping memuat masalah kewajiban nafkah suami terhadap isteri juga mengatur tentang harta bersama. Di sini terjadi kerancuan karena di satu sisi suami mempunyai kewajiban menafkahi isterinya dengan harta yang diusahakannya selama dalam perkawinan, di sisi lain harta yang diperoleh suami selama dalam perkawinan otomatis juga menjadi milik isterinya.
Untuk membahas permasalahan ini, Penulis merujuk pada kitab-kitab yang membicarakan persoalan nafkah di dalamnya. Di antaranya kitab al-Mabsuth yang disusun oleh Syamsudin al- Sarakhsi, al-Umm, yang disusun oleh Imam al-Syafi’i, Mugni al-Muhtaj karya Khatib Syarbaini, Fathu al-Wahab bi Syarhi Minhaju al – Thullab yang disusun Abi Yahya Zakariya al-Ansari, kitab Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, disusun oleh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh ala Mazahib al-Arba’ah oleh Abd. Al-Rahman al-Jaziri, kedua kitab ini menghimpun berbagai pendapat ulama dari berbagai mazhab tentang satu masalah. Al-Ahwal a-Syakhshiyah oleh Muhammad Abu Zahrah, Kitab ini khusus membahas tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan hukum keluarga. Kutub al-Tis’ah yaitu sembilan buah kitab standar dalam bidang hadis dan Subul al-Salam oleh al-San’ani, kitab ini merupakan salah satu kitab standar yang membahas tentang hadis-hadis hukum dan buku kumpulan Perundang-undangan yang berlaku di pengadilan Agama yang dihimpun oleh Zainal Abidin Abu Bakar.
Di samping itu penulis juga merujuk buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan harta bersama seperti buku Pencaharian Bersama suami isteri di Indonesia oleh H. Ismuha, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, oleh A. Wasit Aulawi dalam “Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional” oleh Amrullah Ahmad (Ed), Hak Suami Isteri terhadap Harta Bersama, Studi Analisis Pengembangan Konsep fikih dalam Kompilasi Hukum Islam, Tesis, oleh Husnaini A. Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, tahun 1999. Tulisan ini membahas tentang hak suami isteri terhadap harta bersama dan studi analisis Pengembangan Konsep Fikih dalam Kompilasi Hukum Islam dan Harta Pencarian Dalam Perkawinan dan Penyelesaiannya Saat Terjadi Perceraian di Pengadilan Agama”, Tesis oleh M. Nasir. Program Pascasarjana UMSB Padang tahun 2003. Tulisan ini membahas tentang kedudukan harta yang diperdapat dalam perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam dalam tinjauan fiqh dan bagaimana penyelesaiannya saat terjadi perceraian di Pengadilan Agama”.
Tulisan-tulisan tersebut baru membahas secara parsial baik tentang kedudukan nafkah maupun tentang harta bersama, sehingga pembahasan secara utuh tentang kedudukan kewajiban nafkah dengan pemberlakuan harta bersama, belum ada yang menelitinya. Oleh sebab itu literatur-literatur di atas hanya menjadi landasan teoritis penulis dalam menganalisa serta menelaah persoalan yang dibahas dalam tesis ini.
F. Metode Penelitian
Penelitian tesis ini berbentuk penelitian kepustakaan (library research). Metode penelitian ini mencakup tiga hal:
1. Pengumpulan data. Data yang dikumpulkan adalah yang diperoleh dari berbagai literatur yang ada dan relevan dengan pembahasan serta berhubungan dengan masalah pokok yang ingin dibahas dalam tesis ini.
Secara garis besar dapat dikelompokkan:
a. Buku-buku referensi (referensi books) yaitu berupa: literatur umum standar seperti: ensiklopedi, kitab-kitab fiqh, kumpulan hadis dan sebagainya.
b. Artikel dalam Jurnal dan Majalah, dalam hal ini jurnal dan majalah yang berkaitan dengan dunia peradilan, seperti; Mimbar Hukum, Pustaka Peradilan, Varia Peradilan, dan juga dalam bentuk publikasi surat kabar yang didapat di internet.
2. Pengolahan data. Data-data yang telah diperoleh akan diolah berdasarkan metode induktif, deduktif dan komparatif. Metode induktif adalah pemahaman terhadap kasus-kasus khusus ke dalam bentuk yang bersifat umum. Metode deduktif menarik kesimpulan khusus dari informasi yang bersifat umum. Sedangkan metode komparatif adalah membandingkan data-data yang ada satu sama lain untuk ditarik suatu solusi apabila terdapat perbedaan.
3. Penyimpulan data. Data-data yang telah diolah dengan menggunakan metode induktif, deduktif dan komparatif disarikan menjadi suatu kesimpulan akhir.
G. Sistematika Penulisan
Untuk lebih sistematisnya pembahasan ini, tulisan ini dibagi kedalam lima bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab pertama berisikan pendahuluan yang merupakan landasan dan pemberi arah pada pembahasan-pembahasan selanjutnya. Pada bab ini disajikan latar belakang masalah yang menjelaskan dasar pemikiran dan urgensi dilakukannya penelitian mengenai Kedudukan kewajiban nafkah suami terhadap isteri dalam konteks harta bersama. Kemudian merumuskan masalah pokok yang akan dibahas serta mengemukakan tujuan serta manfaat penelitian, juga mengemukakan studi kepustakaan yang memuat pelacakan terhadap tulisan-tulisan yang berkenaan dengan persoalan yang dibahas, metode penelitian yang digunakan serta sistimatika penulisan yang menjelaskan urutan pembahasan dari awal hingga akhir.
Bab dua membahas secara umum bagaimana sesungguhnya pengaturan nafkah secara normatif baik menurut fiqh, maupun menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam bab ini diungkap hal-hal yang berkaitan dengan persoalan nafkah seperti Pengertian dan dasar hukum nafkah, syarat-syarat wajib nafkah, macam-macam nafkah dan gugurnya hak nafkah. Pembahasan dalam bab ini sangat penting sebagai landasan teoritis untuk pembahasan selanjutnya.
Bab tiga membahas tentang harta bersama dalam perspektif fiqh dan peraturan perundang-undangan yang terdiri dari pengertian dan asal-usul harta bersama, kedudukan harta dalam perkawinan serta hak dan kewajiban suami isteri terhadap harta bersama. Pembahasan dalam bab ini juga sebagai pengantar untuk bab berikutnya.
Bab empat, dalam bab ini penulis bagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menganalisa tentang kedudukan harta bersama terhadap kewajiban nafkan suami kepada isteri, sedangkan bagian kedua membahas tentang pengaruh timbal balik antara harta bersama dengan kewajiban nafkah. Dalam bab ini penulis menjawab semua persoalan yang diungkapkan dalam bab satu dengan mengemukakan berbagai argumentasi.
Bab kelima merupakan kesimpulan terhadap persoalan yang dibahas dari bab satu hingga bab empat serta berisikan saran terhadap mereka yang bergerak dan beraktifitas di dunia peradilan pada umumnya khususnya Peradilan Agama.
[1] Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/pentafsir al-Qur’an, 1971), hal. 946.
[2] Al-Maraghi, Muhammad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, alih bahasa Bahrun Abu Bakar Lc dkk, (Semarang : CV. Toha Putra, 1993), jilid 28, hal. 236
[3] al-Sayyis, Muhammad Ali, Tafsir ayat al-Ahkam, (t.tp : t.p, t.th), juz IV, hal. 170.
[4] Talak raj`i dan talak bain adalah bentuk talakdari segi boleh atau tidaknya suami untuk ruju`. Talak raj`i adalah talak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada isteri yang telah digauli tanpa ganti rugi. Talak ba`in adalah talak yang dijatuhkan suami pada isterinya dimana suami berhak kembali kepada isterinya dengan akad dan mahar yang baru. (lihat Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam,jilid 5 , Jakarta , Ichtiar Bari Van Hoeve, 1996, cet 1, hal .1784.
[5] Departemen Agama RI, Loc.cit.
[6] al-Qurthubi, Muhammad, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, (Beirut : Dar al-Ihya ‘ li – Tirkati al – ‘Arabi , 1995 ) , juz 18 ,hal . 170
[7] Ibid.
[8] al-Nawawi, Imam Muhiddin, Shahih Muslim, (Beirut : Darul Ma’rifah li al-Thaba’ah wa al-Nasyar wa al-Tauzi’, 1999), juz 12, h. 234.
[9]Ibid, juz. 8, hal. 413
[10] al-Syafi’i, Imam Muhammad bin Idris, al-Umm, (t.tp. : Dar al-Fikr li al-Thaba’ah wa al-Nasyar wa al-Tauzi’, t.t), juz 5, hal. 94
[11] al-Sarakhsi, Syamsuddin, al-Mabsuth, (Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1989), juz 5, hal. 181
[12] al-Syaibani, Syekh Abd al-Qadir Ibn Umar dan Syekh Ibrahim ibn Muhammad Ibn Dhiwyan, al-Mu’tamad fi Fiqh al-Imam Ahmad, (t.tp. : Dar al-Khair, t.t), juz 2, hal 321
[13] al-Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah : Dar al-Fikr bi Damsyiq, 2002), juz. 10, hal. 7373
[14] Al-Syarkawi, al-Syekh, al-Syarkawi ‘ala al-Tahrir, (Singapura: Al-Thaba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, t.th), Juz 2, h. 345
[15] al-Zuhaili, Op.cit, hal. 7371
[16] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1990), cet. 3 hal. 758
[17] Ibid, hal. 299
[18] Ibid, hal. 334
No comments:
Post a Comment