Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Wednesday, February 9, 2011

Tinjauan hukum Islam terhadap bentuk-Bentuk perlindungan korban tindak pidana yang terdapat dalam hukum positif


BAB SATU
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
                  Pada dasarnya, hukum bertujuan untuk menciptakan ketertiban dan keamanan guna terwujudnya suatu masyarakat yang harmonis, damai dan tentram. Kedamaian dan ketentraman tersebut akan terwujud apabila seluruh komponen yang ada di dalam alam semesta ini patuh dan taat terhadap hukum yang berlaku. Oleh karena itu, seluruh alam semesta ini terikat dengan hukum agar keharmonisan, kedamaian dan ketentraman itu terpelihara dengan baik[1].
Hukum juga merupakan wujud dari perintah dan kehendak negara yang dijalankan oleh pemerintah untuk mengemban kepercayaan dan perlindungan penduduk yang berada dalam wilayahnya[2]. Perlindungan yang diberikan oleh suatu negara terhadap penduduknya itu dapat bermacam-macam sesuai dengan perilaku setiap masyarakat karena hukum itu juga timbul dari suatu kebiasaan masyarakat. Karena itu kebutuhan akan hukum berbeda-beda dari setiap masyarakat yang ada.
Setiap tindak kriminal di samping memunculkan pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban itu dapat berupa pelaku kriminal, maupun korban yang timbul akibat dari tindak kriminal yang dilakukan oleh orang lain.

Perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana.[1] Jadi segala sesuatu yang dapat meringankan penderitaan yang dialami seseorang akibat menjadi korban itulah yang dimaksud dengan perlindungan korban. Upaya untuk meringankan penderitaan tersebut dapat dilakukan dari dua sisi, yakni mengurangi penderitaan dari sisi fisik korban dan mengurangi penderitaan mental korban.
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan dirinya sendiri maupun orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan hak asasi pihak yang dirugikan[2]. Korban dapat berupa perorangan maupun kelompok. Korban juga dapat berupa suatu badan hukum.
Ketika suatu peristiwa pidana terjadi, fokus acapkali hanya tertuju kepada pelaku kejahatan sehingga sering kali korban yang lahir sebagai akibat dari kejahatan si pelaku tersebut, terabaikan. Padahal Korban juga patut untuk diperhatikan karena pada dasarnya korban merupakan pihak yang paling dirugikan dalam suatu tindak pidana.
Seringkali pada saat pelaku kejahatan dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan terbengkalai seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, hal ini sangat mencoreng nilai-nilai keadilan yang seharusnya terkandung dalam suatu hukum sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan pengaturan tentang penanganan terhadap korban suatu tindak pidana.
Dalam hukum positif di Indonesia, satu-satunya Undang-undang yang mengatur masalah perlindungan saksi dan korban adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Undang-undang tersebut tidak secara keseluruhan membicarakan masalah bentuk-bentuk perlindungan korban sehingga perlu dicari beberapa aturan lain dalam hukum positif yang mendukung adanya bentuk perlindungan korban secara kongkrit. Diantaranya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia serta beberapa aturan lainnya.
Dari beberapa peraturan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam bentuk perlindungan korban yang diakui dalam hukum positif di Indonesia. Di antaranya restitusi, kompensasi, konseling, dan rehabilitasi. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara kepada korban atau keluarganya karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggungjawabnya. Konseling adalah suatu bantuan psikolog untuk mengurangi dampak negatif yang sifatnya psikis dari suatu tindak pidana. Sedangkan rehabilitasi adalah suatu bentuk bantuan berupa pengobatan dan perawatan yang dilakukan pada fasilitas rehabilitasi untuk memulihkan dan mengembangkan kembali kemampuan fisik, mental dan sosial korban. Biasanya rehabilitasi diberikan kepada korban psikotropika.
Upaya perlindungan korban sebenarnya sangat penting. Karena di samping dapat mengurangi perderitaan korban atas tindak pidana yang dialaminya, juga dapat mencegah terjadinya korban yang berkelanjutan, sehingga hal ini dapat mengurangi tingkat kriminalitas.[3]
Dalam fiqh Islam, sedikit dijumpai bahasan atau kajian tentang perlindungan korban tindak pidana. Perlindungan korban dalam Islam tidak dibahas dalam suatu bab khusus, akan tetapi praktik mengenai perlindungan korban ini ada, walaupun tidak dikodifikasi secara teoritis dalam karya ilmiah.
Secara umum Allah sering kali dalam ayat-ayatNya menyuruh manusia untuk berbuat baik terhadap sesama karena agama Islam ini diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin dan tolong-menolong telah menjadi identitas orang-orang muslim dulu sejak masa Rasulullah. Dalam Islam, tolong-menolong tidak hanya dianjurkan ketika seseorang telah menjadi korban, tetapi dalam setiap berbuat kebaikan juga umat Islam dianjurkan untuk saling bahu-membahu dan saling tolong-menolong.
Dalam hukum Islam terdapat beberapa ketentuan yang dapat dipandang sebagai suatu bentuk perlindungan korban. Walaupun istilahnya bukan perlindungan korban tindak pidana, namun nilai-nilai yang terdapat dalam ketentuan tersebut dapat memenuhi unsur-unsur, maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam upaya perlindungan korban. Salah satunya adalah sistem diyat yang diwajibkan atas pelaku pembunuhan yang dimaafkan, pembunuhan seperti sengaja, pembunuhan tersalah dan dalam kasus penganiayaan [4].
Diyat adalah harta benda yang wajib ditunaikan oleh sebab tindakan kejahatan kemudian diberikan kepada korban atau walinya.[5] Dalam kasus pembunuhan sengaja yang dimaafkan, diyat merupakan pembayaran berupa seratus ekor unta dari pelaku kepada keluarga korban pembunuhan. Diyat juga dibebankan kepada pelaku penganiayaan. Bentuk diyat ini juga dapat dikategorikan suatu bentuk restitusi yang disebut dalam hukum positif.
Selain diyat, dalam hukum Islam juga dikenal adanya pengembalian  barang hasil curian oleh pelaku pencurian kepada korban. Namun hal ini masih mengundang perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut jumhur Syafi’i dan Hanbali jaminan tersebut ada. Sedangkan menurut ulama Maliki, tidak ada pemberian jaminan dalam kasus pencurian[6].

1.2. Rumusan Masalah
                    Berdasarkan uraian di atas, maka masalah pokok yang dikaji adalah: bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap bentuk-bentuk perlindungan korban tindak pidana yang terdapat dalam hukum positif. Dari permasalahan pokok tersebut, maka timbul dua pertanyaan penelitian, yaitu:
1.      Bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan korban tindak pidana dalam hukum positif di Indonesia?
2.      Bagaimanakah mekanisme perlindungan terhadap korban tindak pidana menurut hukum positif di Indonesia?
3.      Bagaimanakah pandangan hukum Islam terhadap upaya perlindungan korban tindak pidana yang terdapat dalam hukum positif Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian yang penulis lakukan ini adalah:
  1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk perlindungan terhadap korban tindak pidana dalam hukum positif di Indonesia.
  2. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana mekanisme dan prosedur perlindungan korban tindak pidana di Indonesia
  3. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana pandangan hukum Islam terhadap upaya perlindungan korban tindak pidana yang terdapat dalam hukum positif Indonesia.

1.4. Penjelasan Istilah
                  Agar tidak terjadi kesalahfahaman dalam memahami dan menafsirkan pengertian dari judul yang akan dibahas, maka perlu dijelaskan beberapa definisi yang berkaitan dengan judul di atas antara lain:

1.4.1.      Korban
Perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunan hukum atas penderitaan/kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana[7]. Bentuk dari jaminan/santunan hukum tersebut dapat disesuaikan dengan bentuk penderitaan yang dialami oleh korban. Jaminan atau santunan hukum kepada korban diberikan setelah tindak pidana terjadi. Dengan kata lain, perlindungan korban tindak pidana yang dimaksud bukan dalam bentuk perlindungan keamanan, namun jaminan atau santunan hukum yang dapat berupa kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan konseling

1.4.2.      Perlindungan
Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pengertian korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau   kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Pengertian ini juga sesuai dengan definisi yang diberikan oleh para ahli hukum dalam bidang viktimologi (ilmu tentang korban).[8] Korban dapat berupa orang maupun lembaga.

1.4.3.      Hukum Positif
Hukum Positif adalah hukum yang berlaku pada saat sekarang. Dalah hal hukum positif di Indonesia adalah hukum yang berlaku pada saat ini di Indonesia.
1.4.4.      Hukum Islam
Hukum Islam adalah segala peraturan yang diciptakan oleh Allah SWT yang bertujuan untuk mengatur hubungan hubungan antara manusia dengan TuhanNya,  hubungan sesama Muslim, hubungan sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.

1.5. Kajian Pustaka
Pembahasan mengenai masalah perlindungan korban tindak pidana telah menjadi suatu bahan pemikiran baru bagi para ahli hukum. Pembahasan tentang korban juga dapat dilihat dalam buku-buku skripsi dan tesis. Diantara buku-buku yang membahas masalah perlindungan korban tindak pidana antara lain buku Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan oleh Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom. Fokus pembahasan dalam buku ini adalah masalah viktimologi, yakni ilmu tentang korban beserta pembahasan beberapa undang-undang.
Buku Masalah Korban Kejahatan yang dikarang oleh Arif Ghosita juga memuat pembahasan tentang korban. Namun fokus pembahasan buku ini lebih cenderung mengaitkan upaya perlindungan korban dengan masalah kriminalitas. Buku ini juga belum membahas tentang LPSK.
Selain buku-buku yang disebutkan di atas, juga terdapat beberapa buku lainnya yang berkaitan dengan upaya perlindungan korban, diantaranya buku karangan Barda Nawawi Arief dengan judul Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan dan Perlindungan HAM dan Korban dalam Pembaruan Hukum, buku karangan Mardjono Reksodiputro yang berjudul Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana dan beberapa literatur lainnya. Namun beberapa buku terakhir yang disebutkan di atas tidak sepenuhnya membahas tentang perlindungan korban, tetapi hanya membahas tentang korban tindak pidana dalam sub bab saja.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian tentang korban yang lainnya adalah bahwa fokus skripsi ini langsung tertuju kepada bentuk-bentuk perlindungan korban tindak pidana seperti kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan konseling. Kemudian beberapa bentuk perlindungan korban tersebut langsung dibandingkan dengan perlindungan korban dalam hukum Islam dengan menjelaskan persamaan dan perbedaan antara keduanya. Dengan demikian para pembaca dapat menganalisa dan mencerna mengenai bentuk-bentuk perlindungan korban tindak pidana yang diatur dalam hukum positif di Indonesia menurut hukum Islam.
1.6. Metode Penelitian
Pada prinsipnya dalam setiap penulisan karya ilmiah selalu memerlukan data-data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode penelitian dan cara tertentu yang disesuaikan dengan permasalahan yang hendak dibahas. Dalam membahas permasalahan ini digunakan metode deskriptif komperatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang semata-mata berusaha memberikan gambaran atau mendiskripsikan suatu permasalahan yang dibahas. Penelitian komparatif adalah penelitian yang dilakukan untuk membandingkan dua objek kajian. Dalam penisan skripsi ini, metode deskriptif kompartif digunakan untuk menjelaskan bentuk-bentuk perlindungan korban tindak pidana yang ada dalam hukum positif lalu membandingkan kesesuaiannya dengan hukum Islam.
Dalam pengumpulan data penulis melakukan studi kepustakaan (library research) yaitu dengan menelaah serta membaca buku-buku dan kitab-kitab yang berkaitan dengan topik permasalahan yang penulis bahas. Untuk data primer, penulis menggunakan beberapa Undang-Undang dan juga Peraturan Pemerintah yang secara khusus membahas tentang perlindungan korban tindak pidana seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Untuk data sekunder penulis menggunakan kitab At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami (Bairut: Dar al-Kitab al-Arabi) yang dikarang oleh Abdul Qadir Audah, buku karangan Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom yang berjudul Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Bandung: Raja Grafindo Persada, 2007) dan buku Arief Gosita dengan judul Masalah Korban Kejahatan (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993). Ketiga buku tersebut penulis gunakan karena membahas tentang seluk-beluk penanganan korban dari berbagai aspek. Dan sebagai data tersier penulis menggunakan berbagai buku dan kitab-kitab yang memang berkaitan dengan pembahasan mengenai penanganan masalah korban kejahatan.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiyah Mahasiswa dan Pedoman Transliterasi Arab- Latin yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh Tahun 2004. sementara untuk terjemahan ayat-ayat al-Quran penulis berpedoman kepada al-Quran dan terjemahannya yang diterbitkan oleh Departemen Agama Republik Indonesia.

1.6. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan dari hasil penelitian ini, maka sistematika pembahasannya akan dijabarkan dalam  empat bab yang terperinci yaitu:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang terdiri dari lima sub bagiannya. Diantaranya latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab ke dua merupakan bab kerangka teoritis yang memaparkan tentang perlindungan korban tindak pidana. Meliputi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan perlindungan korban tindak pidana  beserta dasar hukumnya yang terdapat dalam undang-undang yang membahas tentang perlindungan korban tindak pidana. Lalu juga dijelaskan mengenai urgensi dan syarat-syarat perlindungan korban tindak pidana serta kelembagaan perlindungan korban tindak pidana dalam Islam.
Bab ke tiga merupakan bab pokok atau inti dari masalah yang ingin diteliti, yaitu “perlindungan korban tindak pidana dalam hukum positif ditinjau menurut hukum Islam”. Untuk membahas permasalahan ini terlebih dulu akan dijelaskan sekilas tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana di Indonesia, lalu dijelaskan mengenai mekanisme dan prosedur perlindungan korban tindak pidana di Indonesia. Terakhir akan dijelaskan tinjauan hukum Islam terhadap konsep perlindungan korban tindak pidana di Indonesia.
Bab ke empat merupakan bab penutup yang diberi beberapa kesimpulan dan saran dengan harapan dapat bermanfaat bagi semua pihak.



[1] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 56.

[2] Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993), hlm. 63.
[3] Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dan Korban dalam Pembaruan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 23.
[4] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hlm. 3.

[5] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-ma’arif, 1984), hlm. 90.

[6] Abdul Wahhab Kallaf, Kaedah-kaedah Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 89.
[7] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, hlm. 56.

[8] Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, hlm. 289.

[1] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm. 9.

[2] Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, (Bandung: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 3.

No comments:

Post a Comment