Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Tuesday, February 8, 2011

EKSISTENSI DOKUMEN DAN SAKSI SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERNIKAHAN (Kajian Dasar Hukum Dan Tujuan Pensyari’atannya)


BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pernikahan dalam pandangan Islam merupakan suatu aqad (ikatan perjanjian) yang diberkahi antara seorang laki-laki dan perempuan. Untuk memulai kehidupan baru dalam mengarungi bahtera kehidupan yang panjang perlu bagi setiap calon pengantin, baik calon suami dan calon isteri untuk mempersiapkan diri dengan berbagai kebutuhan baik yang bersifat normatif maupun materialistis. Calon suami isteri harus memiliki pemahaman dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai suami isteri nantinya. Suami isteri harus saling bahu membahu dan bekerja sama, saling pengertian dan toleransi, saling memberikan kesenangan satu sama lain. Sehingga kehidupan pernikahan yang dibina akan berjalan dengan baik dan tenang bertaburan cinta kasih, keamanan, kedamaian, dan penuh dengan kenikmatan hidup.[1]
Setiap orang yang memasuki gerbang kehidupan berkeluarga harus melalui pintu pernikahan. Mereka tentu menginginkan terciptanya suatu keluarga atau rumah tangga yang bahagia sejahtera lahir dan batin serta memperoleh keselamatan hidup dunia dan akhirat. Dari keluarga sakinah inilah kelak akan terwujud masyarakat yang rukun damai serta makmur dan spiritual.


Allah Swt berfirman:
ومن أياته أن خلق لكم من أنفسكم ازواجا لتسكنواإليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذالك لايات لقوم يتفكرون ) الروم : ۲۱(
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah Dia menciptakan untukmu  isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (QS Ar-Rum: 21)
Menurut Islam, tujuan pernikahan bukanlah semata-mata menyalurkan dorongan syahwatnya belaka, tetapi lebih dari itu ialah membentuk keluarga, membentuk rumah tangga sejahtera bahagia yang dari padanya lahir anak-anak yang shaleh, tambatan mata bagi ibu bapaknya, yang akan menjadi penerus generasi yang akan datang, agar umat manusia tidak menjadi musnah. Rumah tangga yang stabil dan bahagia akan menghasilkan anak-anak yang shaleh, taat, berbudi, dan mengasihi orang tua dan masyarakat.[2]
Sehubungan dengan hal tersebut di atas agar pernikahan terlaksana dengan baik, maka pernikahan yang dilaksanakan itu haruslah didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Agar suami isteri dapat membentuk keluarga bahagia dan sejahtera kekal, maka diharuskan untuk saling kenal (ta’aruf) terlebih dahulu. Perkenalan yang dimaksud di sini adalah perkenalan atas moral yang tidak menyimpang dari norma agama yang dianutnya.[3]
Sebagai bentuk masyarakat majemuk Indonesia mempunyai berbagai sistem, cara, adat pernikahan yang satu sama yang lain berbeda, hal ini merupakan sesuatu kekayaan tersendiri bagi khazanah kebudayaaan Indonesia umumnya, namun demikian untuk kepentingan ketertiban dan tatacara keadministrasian negara, masalah pernikahan tersebut diperlukan dokumentasi dan peraturan perundang-undangan ataupun ketentuan hukumnya tanpa meniadakan atau mengurangi hukum adat masing-masing suku maupun hukum masing-masing agama yang berlaku.
Pernikahan itu merupakan sebuah aqad atau perikatan pernikahan. Pengertian pernikahan sebagai sebuah aqad lebih sesuai dengan pengertian yang di maksud oleh undang-undang. Juga telah dijelaskan bahwa aqad nikah dalam sebuah pernikahan memiliki kedudukan yang sentral. Begitu pentingnya aqad nikah ia ditempatkan sebagai salah satu rukun nikah yang disepakati. Kendati demikian tidak ada syarat bahwa  aqad nikah harus ditulis atau diaktekan. Atas dasar inilah dalam fiqh Islam tidak mengenal pencatatan pernikahan.[4]
Di Indonesia telah dibentuk hukum pernikahan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia yakni: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan, undang-undang pernikahan dimuat di dalam lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Sedangkan penjelasan tersebut dimuat di dalam tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019, di dalam bagian umum, penjelasan tersebut telah dimuat beberapa hal yang mendasar yang berkaitan degan masalah Pernikahan.
Menurut Undang-Undang pernikahan, yang dimuat dalam asas monogami yang secara otentik diatur dalam Pasal 3 ayat 1, di samping itu, undang-undang pernikahan mengenai adanya pencatatan pernikahan diatur dalam Pasal 2 ayat 2, sedangkan pengaturan lebih rinci dimuat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor  9 Tahun 1975 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12) menurut Pasal 2 ayat 1 Pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
Dengan perumusan Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada pernikahan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945, yang dimaksud hukum agama termasuk undang-undang yang berlaku bagi agamawan dan kepercayaan. Sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), berdasarkan ketentuan undang-undang dan penjelasan tersebut, bahwa aturan tentang pernikahan yang telah menjadi hukum tersendiri di dalam beberapa agama tetap tidak kehilangan eksistensinya sepanjang hal tersebut tidak bertentangan  atau dinyatakan lain dari undang-undang.
Menurut hukum Islam, yang dimaksud pernikahan adalah sebuah aqad yang menghalalkan  pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrimnya.[5]
Apabila ditinjau secara terperinci dari fi’il pernikahan atau pernikahan, merupakan aqad yang bersifat sakral, luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sahnya sebagai suami isteri dan dihalalkanya hubungan seksual, dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebaikan dan saling menyantuni sehingga menjadi keluarga sakinah, mawaddah warahmah.
Menurut hukum pernikahan, dalam Islam terdapat beberapa unsur yakni; orang yang mengikat diri dalam pernikahan pernikahan laki-laki dan perempuan yang menurut nash Al-Quran terdapat beberapa kaidah yang wajib di patuhi, sedangkan status antara  laki-laki dan perempuan yang melangsungkan aqad nikah meningkat menjadi suami-isteri yang keduanya memiliki hak dan kewajiban yang telah diatur dalam Islam.
Beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa pencatatan pernikahan tidak diberi perhatian yang serius oleh fiqh walaupun ada ayat-ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk mencatat segala transaksi muamalah, pertama larangan untuk menulis selain Al-Quran akibat kultur tulis tidak begitu berkembang dibanding kultur hafalan (oral), Kedua kelanjutan yang pertama maka  mereka sangat mengandalkan hafalan/ingatan agaknya mengigat sebuah peristiwa pernikahan bukan sebuah hal yang sulit untuk dilakukan , ketiga  tradisi walimah al-‘urusy walaupun dengan seekor kambing merupakan saksi di samping saksi syar’i. Tentang sebuah pernikahan yang berlangsung pada masa awal-awal Islam belum terjadi di antara wilayah negara yang berbeda, biasanya pernikahan pada masa itu berlangsung dalam suatu wilayah yang sama, sehingga alat bukti nikah selain saksi belum dibutuhkan.[6]
Dengan alasan yang tersebut di atas, dapatlah dikatakan bahwa pencatatan pernikahan belum dipandang sesuatu yang sangat penting sebagai sesuatu yang terpenting sekaligus belum dijadikan alat bukti otentik terhadap sebuah pernikahan. Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah, maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi merubah kultur lisan (oral) kepada kultur tulisan. Sebagai ciri masyarakat modern, menuntut di jadikan dokumen, akta atau surat sebagai bukti otentik, saksi hidup tidak bisa lagi diandalkan, tidak saja karena hilang dengan sebab kematian, manusia dapat mengalami kealpaan dan kesilapan atas dasar inilah diperlukan sebuah bukti yang abadi yang disebut Dokumentasi.
Dengan demikian salah satu bentuk pembaharuan hukum dalam masyarakat Islam khususnya di Aceh  umumnya di Negara Republik Indonesia ini, dimuatlah pencatatan pernikahan sebagai salah satu ketentuan pernikahan yang harus dipenuhi. Tanpa adanya pencatatan pernikahan yang dicatat oleh Petugas Pencatat Pernikahan (PPN), maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah atau batal, sebagaiaman yang telah disebutkan sebelumnya.
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis merasa perlu untuk merumuskan permasalahan yang hendak dicapai dan tertarik untuk diteliti sebagai berikut:
1.2.1.      Apakah dasar hukum dokumen sebagai alat bukti pernikahan?
1.2.2.      Apakah tujuan pensyari’atan saksi dalam pelaksanaan aqad nikah?
1.2.3.      Apakah pencatatan pernikahan sebagai syarat sah pernikahan?

1.3.Tujuan Pembahasan
Setelah berpijak dari latar belakang permasalahan di atas, maka target yang akan dicapai sebagai bentuk tujuan dari pembahasan dalam penyusunan skripsi ini adalah:
1.3.1.      Untuk mengetahui dasar hukum dokumen sebagai alat bukti pernikahan.
1.3.2.      Untuk mengetahui tujuan pensyari’atan saksi dalam pelaksanaan aqad nikah.
1.3.3.      Untuk mengetahui pencatatan pernikahan sebagai syarat sah pernikahan.

1.4.Penjelasan Istilah
Untuk menghindari dari kesimpangsiuran pengertian dan pemahaman para pembaca perlu kiranya dijelaskan pengertian (penjelasan) tentang istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini. Istilah-istilah tersebut di antaranya:
1.4.1.      Eksistensi
1.4.2.      Dokumentasi
1.4.3.      Alat bukti
1.4.4.      Pernikahan
1.3.1.1. Eksistensi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eksistensi artinya adanya, keberadaan. Bagi para pengikut atheisme tidak mengakui eksistensi tuhan.[7] Eksistensi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah keberadaan dokumen pernikahan sebagai alat bukti sebuah pernikahan.
Ad. 2. Dokumentasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dokumentasi merupakan surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai alat bukti keterangan, (seperti akta kelahiran, surat nikah, surat perjanjian), barang cetakan atau naskah karangan yang dikirim melalui kantor pos, rekaman suara, gambar, dan film dan sebagainya yang dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan.[8] Dokumentasi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah surat nikah resmi yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatatan Pernikahan (PPN) sebagai bukti pernikahan.
1.3.1.2. Alat Bukti
Alat bukti merupakan satu suku kata yang terdiri dari alat dan bukti. Alat artinya benda yang dipakai untuk memudahkan pekerjaan, perkakas, sesuatu yang digunakan untuk mencapai keinginan (maksud, tujuan, dan sebagainya)[9], Sedangkan bukti merupakan sesuatu yang dijadikan sebagai keterangan nyata, sesuatu yang dipakai sebagai alasan keyakinan kebenaran terhadap kenyataan, sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa; hal yang menjadi tanda perbuatan jahat (diperlukan untuk menyidik perkara pidana).[10] Alat bukti yang dimaksud dalam skripsi ini adalah surat nikah resmi yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) sebagai pembuktian nikah (akta nikah).
1.3.1.3. Pernikahan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pernikahan berasal dari kata nikah, yaitu pernikahan yang dilakukan dengan diawali mengikat perjanjian antara seorang pria dan seorang wanita untuk menjalin hubungan rumah tangga; perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk menjalin hubungan suami isteri secara sah, yang disaksikan oleh beberapa orang dan dibimbing oleh wali (dari pihak perempuan).[11] Menurut hukum Islam pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.[12]

1.5.Kajian Pustaka
            Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian sejenis yang mungkin pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya sehingga diharapkan tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak.       
Dalam kesempatan ini, penulis ingin lebih mengarahkan dan memfokuskan dalam memberikan ulasan sedikit mengenai eksistensi dokumen  sebagai alat bukti pernikahan dan tujuan pensyariatan saksi dalam aqad nikah, seperti akta di bawah tangan, yaitu akta yang dibuat dan ditandatangani tidak didepan pejabat berwenang, dengan maksud agar dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian. Dan dokumen/akta otentik yaitu, surat yang tertulis atau tercetak yang dibuat oleh pejabat umum, memberikan bukti cukup dan sah berdasarkan undang-undang Sebab selama ini masih banyak orang-orang yang melakukan nikah di bawah tangan (sirri), Sehinga pernikahan yang tidak memiliki kekuatan hukum berdampak yuridis terhadap hak-hak pelayanan publik oleh instansi yang berwenang bagi pelakunya. Karena suatu pernikahan harus dibuktikan dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Bagi yang menganut agama Islam, pencatatan nikahnya dilakukan di  Kantor Urusan Agama (KUA), dan  bagi yang non Muslim dilakukan di Kontor Catatan Sipil (KCS). 

1.6.Metodelogi Pembahasan 
Pada dasarnya dalam setiap penulisan karya ilmiah, data yang lengkap serta objektif sangat diperlukan, hal ini tentunya harus sesuai dengan metode yang akan digunakan dalam penelitian ini nantinya. Dalam penyelesaian skripsi ini penulis akan mengumpulkan data dengan menggunakan library risearch (kajian pustaka). Data dikumpulkan melalui penelusuran dan pengkajian kitab-kitab/buku-buku yang berkaitan dengan topik pembahasan, serta bacaan-bacaan lain yang mempunyai relevansinya. Penggunaan teknik library research ini digunakan agar data-data yang digunakan mempuyai sandaran yang representif (sesuai) yang dapat mendukung analisis penulis. Keakuratan informasi yang disampaikan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga bila ada pembaca yang ingin mengkonfirmasikan ulang data yang dikutip itu dapat melihat langsung literatur aslinya.
Untuk mendapat data tersebut, maka digunakan sumber data yang berasal dari bahan-bahan tertulis, baik berupa buku maupun tulisan-tulisan lain yang bersifat sumber data primer. Sumber data primer yang dimaksud adalah:
1.      Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
2.      Amiur Nurdin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai KHI
3.      Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia,
4.      Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional
5.      Said Agil Husein al-Munawar, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer
6.      Moh. Taufik Makarao, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata
Tahap selanjutnya penulis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode yang bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.[13] Ini dilakukan setelah melaui proses analisa data-data yang diperoleh dari pembahasan dengan menggunakan metode. Maslahah Murasalah. Teori Al-maslahah al-mursalah ini merupakan salah satu sumber penggalian hukum Islam yang juga disebut al-Adillah al-Syar’iyah. Setelah membahas Al-maslahah al-mursalah  secara  teoritis,  lalu  pembahasan  selanjutnya  adalah  penerapan  teori Al-maslahah  al-mursalah  itu  dalam  suatu  kasus  tertentu.  Dalam  hal  ini  adalah kasus  tentang  eksistensi dokumen sebagai alat bukti pernikahan.  Jadi,  Al-maslahah  al-mursalah  dijadikan sebagai metode analisa  untuk  membedah  dokumen sebagai alat bukti pernikahan. Di mana dalam penulisan ini akan menjelaskan dasar hukum dokumentasi sebagai alat bukti, tujuan pensyari’atan saksi dalam aqad nikah, dan tujuan pencatatan pernikahan.
Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini berpedoman kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa dan Pedoman Transliterasi Arab Latin, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry Darusalam Banda Aceh Tahun 2010. Sedangkan untuk penerjemahan ayat-ayat Al-Quran dikutip dari Al-Quran dan Terjemahannya yang diterbitkan oleh yayasan penyelenggaraan Penterjemahan Al-Quran Kementerian Agama RI tahun 1990.

1.7.Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan para pembaca dalam mengikuti pembahasan skripsi ini, maka digunakan sistematika pembahasannya dalam empat bab, yaitu:
Bab pertama merupakan bab pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, penjelasan istilah, tujuan pembahasan, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab  kedua Eksistensi dokumen sebagai alat bukti meliputi Pengertian dan Jenis-jenis dokumen, dalil penggunaan dokumen, tujuan dokumentasi, Kegunaan dokumen Sebagai Alat Bukti.
 Bab ketiga membahas tentang eksistensi dokumen sebagai alat bukti pernikahan, pembahasannya meliputi dasar hukum dokumentasi sebagai alat bukti pernikahan, tujuan pensyari’atan saksi dalam pelaksanaan aqad nikah, dan Pencatatan Pernikahan Sebagai Syarat Sah pernikahan.
Bab empat penutup, adalah sebagai bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran-saran.


[1] Cahyadi Takariawan, Pernik-pernik Rumah Tangga Islami, (Solo: Era Intermedia, 1997), hlm. 73.
[2] Muhammad Salih al-Munajid, Nasihat Membina Kerukunan Kehidupan Rumah Tangga, (terj. Maryudi), (Jakarta: Nur Insani, 2003), hlm. 9.

[3] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum  Keluarga Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 6.
[4]Khayaruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara  Studi Terhadap Undang-undang Pernikahan Muslim Kontenporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta: Leiden INIS, 2002),  hlm. 139.
[5] Hilman Hadikusuma, Hukum Pernikahan Indonesia menurut Pandangan Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Mandar Maju: 2003),  hlm. 88-90.
[6]Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2004), hlm. 61.
[7] Peter Salim Dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Modern English Press:1995), hlm. 380.

[8] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 272.

[9] Em Zul Fajri dkk., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Edisi Revisi, (Difa Publisher), t.t, hlm. 40.

[10] Ibid,

[11] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 590.

[12] Sudarsono, Hukum Pernikahan Nasional, (Jakarta:PT. Raneka Cipta, 2005), hlm. 44.
[13] Surmadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persda, 2008), hlm. 75.

No comments:

Post a Comment