BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan menimbulkan korban. Korban dapat berupa pelaku kriminal, maupun korban yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan oleh pihak lain.
Korban tindak pidana merupakan pihak yang menderita dalam suatu peristiwa pidana. Begitu juga dengan korban pemerkosaan yang menderita akibat tindak pidana yang dialaminya. Oleh sebab itu perlu kiranya diketahui sejauh mana korban telah memperoleh perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan.
Perlindungan korban tindak pidana dapat diartikan sebagai perlindungan untuk memperoleh jaminan hukum atas penderitaan atau kerugian pihak yang telah menjadi korban tindak pidana.[1] Segala sesuatu yang dapat meringankan penderitaan yang dialami seseorang akibat menjadi korban itulah yang dimaksud dengan perlindungan korban. Upaya untuk meringankan penderitaan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengurangi penderitaan fisik dan penderitaan mental korban.
Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakannya sendiri maupun tindakan dari pihak lain, yang ingin mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau pihak lain yang bertentangan dengan hak asasi yang dirugikan.[2] Korban dapat berupa perorangan maupun kelompok, korban dapat juga berupa suatu badan hukum.
Ketika suatu peristiwa pidana terjadi, aturan hukum sering kali memfokuskan diri untuk menghukum pelaku kejahatan sehingga sering kali korban dari kejahatan tersebut terabaikan. Padahal korban juga patut untuk diperhatikan karena pada dasarnya korban merupakan pihak yang cukup dirugikan dalam suatu tindak pidana.
Sering kali pada saat pelaku kejahatan dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban terbengkalai seperti tidak dipedulikan. Padahal hal seperti ini bisa mencoreng nilai-nilai keadilan yang terkandung dalam suatu hukum, sehingga untuk mengatasi hal ini diperlukan pengaturan tentang penanganan terhadap korban suatu tindak pidana.
Dampak kejahatan menimbulkan korban dan kerugian. Kerugian yang timbul itu bisa diderita oleh korban sendiri, maupun oleh pihak lain secara tidak langsung.[3] Yang terakhir ini bisa tergantung pada sanak saudara ataupun orang-orang lain yang menggantungkan hidupnya langsung.
Begitu pula dengan kejahatan pemerkosaan yang dinilai dapat merendahkan derajat kaum wanita serta merusak harkat dan martabatnya. Padahal wanita adalah ibu dari umat manusia, karena dari rahim wanitalah anak manusia dilahirkan.
Di KUHP Indonesia, kejahatan dalam bentuk pemerkosaan ini diatur dalam pasal 285 KUHP. Pasal ini diatur dalam BUKU II BAB XIV tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Adapun pasal 285 KUHP menyatakan sebagai berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 (dua belas tahun)”.[4]
Hakikat kejahatan seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang merugikan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan si korban dalam bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya. Kerugian yang harus dipulihkan tersebut, tidak saja kerugian fisik tetapi juga kerugian non fisik.
Untuk memperhatikan kepentingan korban pemerkosaan dalam penjatuhan pidana, bukan sekadar untuk memenuhi hak korban, bukan pula sekadar pertimbangan akal karena logika mengatakan demikian, tetapi lebih jauh dari itu adalah juga untuk kepentingan korban tersebut.
Upaya perlindungan hukum terhadap korban pemerkosaan menyangkut kebijakan atau politik hukum pidana yang ingin diterapkan, yaitu bagaimana membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.[5] Pada akhirnya upaya perlindungan dan penanggulangan korban dari kejahatan dapat tercapai. Pengertian kebijakan hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun politik kriminal.[6] Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada saat itu,[7] serta kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.[8] Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik dan yang dapat mengekspresikan apa-apa yang terkandung dalam masyarakat demi tercapainya suatu perlindungan hukum terhadap korban perkosaan tidak terlepas dari faktor hukumnya.
Dalam hukum positif, undang-undang yang mengatur masalah perlindungan saksi dan korban adalah Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, undang-undang tersebut tidak secara keseluruhan membicarakan masalah bentuk-bentuk perlindungan korban sehingga harus dicari beberapa aturan lain dalam hukum positif yang mendukung adanya bentuk perlindungan korban secara kongkrit. Diantaranya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Hak Asasi Manusia serta beberapa aturan lainnya.
Dari beberapa aturan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam bentuk perlindungan korban diantaranya restitusi, kompensasi, konseling dan rehabilitasi.
Upaya perlindungan korban sebenarnya sangat penting. Karena di samping dapat mengurangi penderitaan korban atas tindak pidana yang dialaminya, juga dapat mencegah terjadinya korban yang berkelanjutan, sehingga hal ini dapat mengurangi tingkat kriminalitas.[9]
Dalam Fiqh Islam, jarang kita menemukan pembahasan tentang perlindungan korban tindak pidana. Perlindungan korban dalam Islam tidak dibahas dalam suatu bab yang khusus, akan tetapi praktik mengenai perlindungan ini ada. Dalam hukum Islam, ada ketentuan yang dapat dikatakan suatu bentuk perlindungan korban. Walaupun istilahnya bukan perlindungan korban, tetapi nilai-nilai yang terdapat dalam ketentuan tersebut dapat memenuhi unsur-unsur, maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam upaya perlindungan korban. Salah satunya adalah diyat yang diwajibkan atas pelaku pembunuhan dan penganiayaan yang dimaafkan.
Syariat Islam membagi hukuman dari segi berat dan ringannya ke dalam tiga bentuk: qishas, hudud dan ta`zir. Qishas merupakan pembalasan setimpal terhadap kejahatan pembunuhan, penganiayaan dan usaha melukai dengan sengaja. Hudud adalah hukuman yang jenis kejahatannya ditentukan oleh wahyu Allah Swt. Sedangkan ta’zir merupakan hukuman terhadap suatu kejahatan tertentu yang bentuk dan jenisnya diserahkan pada pertimbangan hakim (pemerintah).[10]
Terkait masalah perkosaan maka lelaki yang telah memerkosa si perempuan, di samping dikenakan hukuman rajam atau cambuk, si pelaku juga akan dikenakan untuk membayar mahar misil kepada perempuan yang telah diperkosanya. Apabila perempuan yang diperkosa itu luka, maka wajib bagi lelaki itu untuk membayar biaya pengobatan luka perempuan tersebut, dan apabila berakibat pada kehamilan wajib atas perempuan itu untuk beriddah, dan anak yang dikandungnya tadi tetap menjadi nasab atas lelaki yang telah memperkosanya.[11]
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah upaya perlindungan hukum terhadap korban perkosaan di Indonesia dikaitkan dengan Undang-undang perlindungan saksi dan korban?
2. Bagaimanakah perbedaan dan persamaan antara hukum positif di Indonesia dan hukum pidana Islam tentang perlindungan hukum terhadap korban pemerkosaan?
3. Bagaimanakah perspektif Islam terhadap Undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban?
1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui upaya perlindungan hukum terhadap korban perkosaan di Indonesia dikaitkan dengan Undang-undang perlindungan saksi dan korban.
2. Untuk mengetahui perbedaan antara hukum positif di Indonesia dan hukum pidana Islam tentang perlindungan hukum terhadap korban pemerkosaan.
3. Untuk mengetahui perspektif Islam terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban.
1.4 Metodologi Penelitian
Pada prinsipnya dalam setiap penulisan karya ilmiah selalu memerlukan data-data yang lengkap dan objektif serta mempunyai metode penelitian dan cara tertentu yang disesuaikan dengan permasalahan yang hendak dibahas. Dalam membahas permasalahan ini, digunakan metode deskriptif komparatif, yakni dengan membandingkan bentuk-bentuk perlindungan korban tindak pidana perkosaan yang ada dalam hukum positif di Indonesia dengan hukum Islam.
Dalam pengumpulan data, dilakukan studi kepustakaan (library research) yaitu dengan menelaah serta membaca buku-buku dan kitab-kitab yang berhubungan dengan topik permasalahan yang dibahas. Untuk data primer, digunakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dan sebagai data sekunder digunakan berbagai buku yang memang berkaitan dengan pembahasan yang ingin dibahas. Di antaranya buku Ledeng Marpaung yang berjudul Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya (Sinar Jakarta, 1996) dan buku karangan Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom yang berjudul Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan (Bandung: Raja Grafindo Persada, 2007), buku Arief Gosita dengan judul Masalah Korban Kejahatan (Jakarta: Akademika Presendo, 2007) dan buku Abdul Wahab Khallaf dengan judul Kaedah-kaedah Hukum Islam (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002) serta beberapa buku lainnya yang dapat mendukung penulis dalam pengumpulan data mengenai masalah yang penulis bahas.
Penyusunan dan penulisan skripsi ini, berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa dan Transliterasi Arab-Latin yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah IAIN Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh Tahun 2004.
1.5 Sistematika pembahasan
Untuk memudahkan para pembaca dalam mengikuti pembahasan skripsi ini, maka dipergunakan sistematika dalam empat bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab sebagaimana tersebut di bawah ini.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua penjelasan tentang perlindungan hukum terhadap korban perkosaan dalam hukum pidana positif di Indonesia dan hukum Islam, bentuk-bentuk perlindungan korban, dasar hukum perlindungan korban dan urgensi perlindungan korban.
Bab ketiga membahas tentang perbedaan dan persamaan antara hukum positif di Indonesia dan hukum pidana Islam tentang perlindungan hukum terhadap korban pemerkosaan.
Bab keempat merupakan bab penutup yang dalam penulisan skripsi ini adalah merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dari materi yang telah dibahas lalu diakhiri dengan saran-saran sebagai penutup.
[1] Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 56
[2] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Prassindo, 1993), hlm. 63
[3] J.E Sahetapy, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, cet.I, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), hlm. 36
[4] R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politea, 1981) , hlm. 210
[5] Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. Pertama, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 28
[6] Ibid., hlm. 27
[7] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 159
[8] Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 83
[9] Barda Nawawi Arief, Perlindungan HAM dan Korban dalam Pembaharuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 3
[10] H. A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 25
[11] Haji Sa’id haji Ibrahim, Qanun Jinayah Syar’iyah dan Sistem Kehakiman dalam Perundangan Islam Berdasarkan Qur’an dan Hadith, Cet. Pertama, (Kuala Lumpur: Darul Ma’rifah, 1996), hlm. 514
No comments:
Post a Comment