Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Monday, October 28, 2013

Calon Koruptor


Hari ini tanggal 28 oktober 2013, mungkin merupakan hari keberuntungan bagiku. Ya… walaupun kurang sehat karena pengaruh cuaca, keberuntungan tetap terjadi. Karena keberuntungan tidak ada hubungannya dengan sakit atau tidaknya seseorang. Bejo bahasa jawanya untuk kata beruntung. Dan keberuntungan ini terjadi bertepatan dengan hari sumpah pemuda dan anehnya lagi tepat setelah selesai kuliah sosiologi hukum. Apa hubungannya dengan sosiologi hukum?
Yupzs, di kuliah sosiologi hukum kebetulan berbicara tentang struktur masyarakat yang dipengaruhi oleh hukum dan juga sebaliknya. Masih pengantar sich… Dan salah satu pertanyaan yang timbul adalah apa yang menyebabkan masyarakat lebih senang main hakim sendiri atau melakukan tindakan yang cenderung bertentangan dengan hukum? Ada beberapa jawaban yang timbul antara lain pertama, masyarakat sudah tidak percaya dengan para penegak hukum. Apalagi dengan tertangkapnya para koruptor dari mulai dari pembuat hukum hingga penegak hukum. Mulai dari anggota DPR, polisi sampai para hakim dari tingkat bawah hingga ke MK. Kedua adanya ketidaktegasan dari penegak hukum dalam melaksanakan hukum. Faktor pertama timbul karena adanya faktor kedua. Kurang lebih seperti itu yang aku tangkap dari hasil perkuliahan, Jika tidak salah.
Trus, dimana keberuntungannya? Nah… selesei kuliah ketika sedang nunggu angkoet. Aku mendapatkan pelajaran atau mungkin bisa dikatakan perspektif masyarakat ketika melihat persoalan hukum yang terjadi belakangan ini. Keberuntungannya… ya disitu, baru saja belajar tentang sosiologi hukum lansung mendapatkan pelajaran lainnya dilapangan. Ya… minimal bisa tahu perspektif masyarakat ketika melihat hukum atau kejadian hukum yang sedang marak terjadi. Baru belajar di kelas lansung belajar lagi dilapangan. Bagiku, kejadian ini sangat luar biasa.
Awal mula ceritanya ketika aku sedang nunggu angkoet, aku menyapa para bapak yang sedang menunggu palanggan untuk di antar pulang. Ya, profesi mareka sebagai ojek di sekitar kampus. Dan kemudian salah Seorang bapak yang sedang berkumpul dengan teman2nya berkata kepadaku, “nanti selesai kuliah di  hukum, kamu hukum orang-orang yang korupsi ya?!”
aku hanya senyum dan mencoba mengomentari apa yang baru saja dikatakan oleh si bapak, tiba-tiba seorang bapak yang lainnya nyelonong masuk kedalam perbincangan kami dan mengatakan “iya sebelum dia tertangkap, gimana kalo dia tertangkap?! (dia yang dimaksud adalah aku sebagai mahasiwa yang kuliah di hukum) Yang korupsi sekarangkan banyak orang pintar. Yang buat hukum para ahli hukum yang korupsi juga mareka, mareka yang pandai dalam hukum mencari celah dan tahu celah untuk melanggar hukum. Hehehehe…” dia berkata sambil tertawa.
Aku hanya bisa tertawa atau mungkin lebih tepatnya malu. Belum jadi pejabat atau siapapun sudah di vonis sebagai calon koruptor, baru kuliah udah diasumsikan sebagai orang yang akan melanggar aturan yang dibuat sendiri. hmmmm,,,, sadis benar pernyataanmu pak… patah semangatku untuk melanjutkan kuliah. Tapi itulah kenyataannya.
Yang tertangkap kemaren ketua MK pak akil, dia merupakan orang yang punya pendidikan tinggi. Kuliah di hukum, tahu hukum tapi melanggar hukum. Lucunya lagi pak akil sempat mengajukan usul untuk memotong jari para koruptor yang terbukti dan sah menurut hukum telah melakukan korupsi. Tapi ternyata malah dia yang korupsi. Hampir seperti maling teriak maling dong. Pak Rudi rubianto, kasus SKK Migas, juga merupakan orang dengan pendidikan tinggi. Dan beberapa konco-konco dari pak akil yang mempunyai pendidikan setara S3 yang melakukan tindakan korupsi dan banyak contoh lainnya. Ai… ai… ai… kasian nian ibu pertiwi, telah membesarkan anak-anak yang durhaka.
Prof nur dosen pengampu perkuliahan sosiologi hukum menyampaikan bahwa kita perlu menggunakan Hati nurani sebagai penyeimbang antara logika dan nafsu atau amarah atau ego. Karena jika salah satu yang dominan maka cenderung tidak baik. Jika yang dominan adalah logika maka kita cenderung mencari pembenaran terhadap tindakan kita yang salah. Jika yang dominan adalah nafsu maka kita akan cenderung serakah. Bayangkan tidak ada hati nurani sebagai penyeimbang. Hmmmm…. Kepintaran bergabung dengan keserakahan, bakalan jadi apa kira-kira? Banyangin aja yang korupsi itu orang yang kuliah S3, tingkat kepintarannya tidak perlu dipertanyakan lagi. Tetap aja koruptor, gak punya nurani.
            Klo boleh jujur, aku tidak menyangka salah seorang dari bapak-bapak tersebut mengatakan “iya sebelum dia tertangkap, gimana kalo dia tertangkap?! Yang korupsi sekarangkan banyak orang pintar. Yang buat hukum para ahli hukum yang korupsi juga mareka, mareka yang pandai dalam hukum mencari celah dan tahu celah untuk melanggar hukum.” Klo bagian yang korupsi orang pintar itu fakta, tapi jangan merembes ke aku dong pak. Baru belajar hukum sudah dibilang calon koruptor. Atau kita bubarkan saja fakultas hukum pak biar gak ada calon koruptor,,, gimana? Hehehe,,, ya sama aja,, korupsi tetap jalan.
            Bagian lainnya yang menarik Selain bagian orang pintar yang melakukan korupsi, bagian menarik lainnya adalah bagaimana mareka melihat orang-orang yang belajar dihukum atau bagaimana mareka melihat fakultas hukum atau bagaimana mareka melihat universitas jika ditarik permasalahannya dalam lingkup yang sedikit lebih luas.
Mungkin mareka melihat orang yang belajar dihukum sebagai calon koruptor. Karena beranggapan yang membuat hukum adalah orang hukum, karena mareka tahu hukum, maka mareka membuat hukum untuk dapat melakukan korupsi yang tidak menjerat dirinya. Membuat hukum bukan untuk dirinya tapi untuk orang lain. Misalkan saja untuk kalangan atau golongan bawah seperti proletar pada masa marx. Atau hamba sahaya seperti pada masa jahiliyah di arab atau feodal di eropa (dark ages). Karena logikanya mana ada pemburu menyiapkan perangkap untuk dirinya, tentu saja untuk buruannya. Mana ada pembuat hukum membuat hukum untuk menjerat dirinya, tentu saja untuk orang lain.
Atau mungkin mareka melihat fakultas hukum sebagai tempat menghasilkan para koruptor atau mungkin mareka melihat universitas sebagai pabrik yang menghasilkan produk-produk seperti koruptor. Wow, mau dibawa kemana universitas jika masyarakat melihatnya sebagai penghasil koruptor. Ya… walaupun tidak benar tapi itu kenyataannya. Kalo dilihat dari kasus-kasus korupsi banyak yang terlibat orang-orang lulusan dari universitas. Artinya punya pendidikan yang tinggi.
Sibapak berkata lagi “Klo gak ada pelanggaran polisi itu gak dapat setoran ke atasan.” Hmmm… tambah malu sekaligus pembicaraan menarik untuk dibicarakan lebih lanjut. Hal ini mungkin saja benar menurut pendapat masyarakat awam. Atau masyarakat awam melihat aparat penegak hukum sudah tidak bisa dipercaya atau tidak bersih. Mungkin masyarakat juga melihat sudah menjadi rahasia umum jika aparat penegak hukum juga mencari keuntungan dari setiap pelanggaran yang terjadi.
            Hadeuh… begini rupanya masyarakat melihat hukum dan aparat penegak hukumnya. Wajah buram bangsa ini sudah penuh dengan persoalan korupsi, narkoba, pembunuhan, perampokan… sekarang ditambah lagi dengan ketidak percayaan masyarakat terhadap bangsa ini. Pesimistis timbul karena pola tingkah laku pejabat pemerintah atau amtenaar atau budak rakyat yang bertingkah semaunya. Lalu Siapa yang akan mengurusmu ibu?
            Ibu pertiwi, kasian benar nasibmu. Dikelilingi oleh orang-orang yang tamak serta parasit. Orang-orang yang mempertahankan hidupnya dengan menghancurkan hidupmu. ai… akan jadi apa kelak kamu ibu…?



Yogyakarta, 28 Oktober 2013.

1 comment: