Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Thursday, December 15, 2011

Pengadilan HAM Dalam Sistem Hukum Indonesia


BAB I
Pendahuluan
  1. Latar Belakang
Jika kita melihat sejarah bangsa ini, maka akan kita dapati banyak hal yang menyebabkan terbentuknya pengadilan Ham. Pada masa orde baru memengang tampuk kekuasaan, selama 33 tahun (1965-1998) terlalu banyak tindakan-tindakan yang melanggar dari pada hak-hak asasi manusia yang dilakukan karena perilaku negara dan aparatnya yang memerintah Secara otoriter. Sehingga Indonesia dikenal dengan negara yang paling buruk dalam hal hak asasi manusia. Banyak kasus yang telah terjadi, mulai dari kasus timor-timur pra referendum, Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi, kasus-kasus di papua dan Dom di Aceh.[1]
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan data pada triwulan pertama 1998 telah terjadi 1.629 pelanggaran HAM yang fundamental yang tergolong ke dalam hak-hak yang tak dapat dikurangi di 12 propinsi yang menjadi sumber data. Hak-hak tersebut adalah hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari pemusnahan seketika, dan hak bebas dari penghilangan paksa.[2]

Dengan adanya pembentukan pengadilan Ham yang khusus ini, maka akan lebih mudah dalam menjerat pelanggar ham itu sendiri. Namun bukan berarti tindakan yang dilakukan oleh pelanggar ham tersebut tidak diatur didalam undang-undang. Tindakan tersebut sangat jelas diatur didalam KUHP namun tidakan itu tergolong kedalam tindakan kejahatan yang biasa atau ordinary crime, yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM yang berat harus memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan Statuta Roma 1999 untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Sedangkan tindakan kejahatan yang melanggar ham dalam tuntutan internasional merupakan tindakan kejahatan yang extra ordinary crimes, yang berdampak Secara luas baik tingkat nasional maupun internasional. Pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian baik materiil maupun immaterial yang menyebabkan perasaan tidak aman bagi orang Secara individual, maupun orang Secara kelompok. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakuan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif para pelaku pelanggaran HAM yang berat. Disamping itu sesuai dengan prinsip International Criminal Court, khususnya prinsip universal yang tidak mungkin memperlakukan pelanggaran HAM berat sebagai ordinary crimes dan adanya kualifikasi universal tentang crimes against humanity masyarakat mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula acara pidana yang bersifat khusus pula (Muladi:2000).[3] Atas dasar tersebut, maka pada tanggal 27 desember 2002 dikeluarkanlah undang-undang no 26 tahun 2002 tentang pengadilan hak asasi manusia.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana yang dimaksud dengan pengadilan ham?
  2. Bagaimana kedudukannnya dalam system hukum nasional?
  3. Bagaimana kinerja pengadilan ham dalam menyelesaikan perkara ham?

  1. Maksud Dan Tujuan Penulisan
  1. untuk mengetahui pengertian dan maksud dari pengadilan ham.
  2. untuk mengetahui kedudukan pengadilan ham dalam system hukum indonesia.
  3. untuk mengetahui sejauh mana perkara yang telah diselesaikan oleh pengadilan ham dan kinerja pengadilan ham irtu sendiri.


  1. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang dipergunakan dalam penulisan makalah ini adalah study kepustakaan atau library research, yaitu dengan mengumpulkan dan mempelajari data-data yang di dapatkan dari berbagai sumber. Kemudian di susun secara sistematis tanpa melanggar kaidah-kaidah dari pada karangan ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN

  1. PENGADILAN HAM
Dalam pasal 1 ayat 2, yang dikatakan dengan pengadilan ham adalah suatu pengadilan khusus terhadap pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang berat. Ada dua bentuk pengadilan ham di Indonesia, yaitu: pengadilan ham yang bersifat permanent dan pengadilan ham yang bersifat ad hoc. Beda diantara keduanya adalah dalam hal pemberlakuannya, jika pengadilan ham permanent itu menyidangkan atau mengusut kasus-kasus ham pada masa lampau artinya pelanggaran yang dilakukan sesudah undang-undang tentang ham disahkan. Sedangkan pengadilan ham yang bersifat ad hoc adalah sebaliknya, yaitu: menyelesaikan atau mengusut setiap pelanggaran ham yang dilakukan pada masa sebelum undang-undang tentang ham disahkan.
Dalam permasalahan ham berlaku azas retroaktif, yang dimaksudkan agar tidak ada permasalahan ham yang pernah terjadi tidak lolos begitu saja tanpa ada upaya yang pasti untuk menyelesaikannya.

Landasan Yuridis
Landasan yuridis pengadilan ham
-          ketetapan MPR RI No. XVIII/MPR/1998 tentang ham
-          UU No.39 tahun 1999 tentang ham
-          Amandemen kedua UUD 1945 yang berkaitan dengan ham
-          UU no.26/2000 tentang pengadilan ham

Landasan hukum bahwa perlu adanya pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM berat adalah dimana terbentuknya pengadilan HAM ini adalah pelaksanaan dari TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan sebagai tindak lanjut dari Pasal 104 ayat 1 Undang-undang No. 39 Tahun 1999. Pasal 104 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Komnas HAM menyatakan bahwa untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum.
Ayat 2 menyatakan pengadilan sebagaimana dimaksud ayat dalam ayat 1 dibentuk dengan udang-undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun. Tidak sampai 4 tahun, undang-undang yang khusus mengatur tentang Pengadilan HAM adalah Undangundang Nomor 26 Tahun 2000.[4]

Kedudukan Dan Tempat Kedudukan Pengadilan Ham
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum. Kedudukannya di daerah kabupaten atau daerah kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hokum Pengadilan Negeri yang bersangkutan, sedangkan daerah khusus ibukota pengadilan HAM berkedudukan di setiap wilayah Pengadilan Negeri yang bersangkutan. pada saat undang-undang ini berlaku pertama kali maka pengadilan HAM dibentuk di Jakarta Pusat, Surabaya, Medan, dan Makassar.[5]
Kedudukan dalam pengadilan HAM mengikuti Pengadilan Umum atau Pengadilan Negeri termasuk dukungan administrasinya. Hal ini membawa konsekuensi bahwa pengadilan HAM ini akan sangat tergantung dengan dukungan dari pengadilan negeri tersebut. Dukungan administratif itu adalah :
1. Ruangan pengadilan
merupakan ruangan pengadilan untuk kasus lainnya dan tidak ada ruangan yang khusus untuk pengadilan HAM. Hal ini membawa konsekuensi bahwa jadwal persidangan akan sangat bergantung dengan jadwal persidangan kasus-kasus lainnya yang juga ditangani oleh Pengadilan Negeri tempat Pengadilan HAM ini digelar.
2. Dukungan staf administrasi
Staf administrasi adalah staf yang menangani perkara pengadilan HAM selain panitera yang juga bertugas untuk membantu para hakim yang mengadili perkara pelanggaran HAM yang berat.
3. Dukungan panitera
Panitera juga diambilkan dari Pengadilan Negeri setempat. Panitera ini adalah panitera biasa dan bukan panitera yang dibentuk khusus untuk menangani kasus pelanggaran HAM yang berat. Panitera ini juga menangani kasus lainnya.
4. Ruangan hakim 
Ruangan hakim untuk hakim ad hoc adalah ruangan tersendiri, namun untuk hakim karir yang merupakan hakim pengadilan setempat maka mereka mempunyai ruangan tersendiri.[6]

  1. HUKUM ACARA PENGADILAN HAM
Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara yang berdasarkan hukum acara pidana kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Hal ini berarti hukum acara yang akan digunakan untuk proses pemeriksaan di pengadilan menggunakan hukum acara dengan mekanisme sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).[7]
UU No. 26 Tahun 2000 juga mengatur Kekhususan pengadilan HAM di luar ketentuan KUHAP untuk pelanggaran HAM yang berat. Kekhususan dalam penanganan pelanggaran HAM yang berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 adalah :
1.      Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, proses penyelidikan dilakukan oleh komnas ham dan melibatkan unsure masyarakat, berbeda dengan penyelidikan pidana biasa yang hanya dilakukan oleh polisi. penyidik ad hoc, proses penyidikan di lakukan oleh jaksa agung dengan melibatkan unsur pemerintah dan masyarakat. Berbeda dengan KUHAP yang melakukan penyidikan adalah polisi dan pengawai sipil lainnya yag diberi kewenangan. penuntut ad hoc, penuntutan dilakukan oleh jaksa agung yang menggabungkan pemerintah dengan masyarakat. dan hakim ad hoc, pemeriksaan perkara dilakukan oleh majelis hakim yang berjumlah 5 orang, terdiri dari 2 hakim pengadilan ham dan 3 hakim ad hoc.[8]
2.      Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Jangka waktu penahanan untuk penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari dan dapat diperpanjang selama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM dan jika waktu penahanan telah selesai tapi penyidikan belum dapat diselesaikan makan dapat diperpanjang selama 60 hari oleh ketua[9] pengadilan HAM yang bersangkutan. Jangka waktu penahanan untuk penuntutan paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang 20 hari, tetapi jika belum selesai maka dapat diperpanjang selama 20 hari lagi oleh ketua pengadilan sesuai dengan daerah hukumnya. Ketentuan mengenai lamanya penahanan ini tidak disertai dengan konsekuensi mengenai hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika selama waktu penahanan itu proses penyidikan dan penuntutan belum dapat diselesaikan.
KUHAP disamping mengatur tentang lamanya panahanan juga mengatur tentang hak tersangka untuk dikeluarkan dari tahanan jika tidak telah selesai masa penahanannya tetapi proses penyidikan dan penuntutan belum selesai.[10] Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan disidang pengadilan dapat dilakukan selama 90 hari dan dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan HAM selama 30 hari. Dalam pemeriksaan tingkat banding di pengadilan tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari oleh ketua pengadilan tinggi.Sedangkan untuk tingkat kasasi di Mahkamah Agung penahanan dapat dilakukan selama 60 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari oleh ketua MA.[11] Selama total 60 hari tersebut, tersangka atau terdakwa harus sudah dikeluarkan demi hukum meskipun perkaranya belum selesai diperiksa maupun belum diputus.[12]
3.      Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan korban dan saksi.[13]

  1. RUANG LINGKUP KEWENANGAN PENGADILAN HAM
Perkara pelanggaran HAM yang berat yang berwenang memutus dan memeriksa adalah pengadilan HAM. Kewenangan untuk memutus dan memeriksa juga termasuk menyelesaikan perkara yang menyengkut perkara tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Kewenangan untuk memutus tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini sesuai dengan Pasal 35 UU No. 26 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dicantumkan dalam amar putusan pengadilan HAM. Pengadilan HAM berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia. Dalam penjelasannya ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi warga negara Indonesia yang melakukan pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial, dalam arti tetap dihukum sesuai dengan undang-undang tentang pengadilan hak asasi manusia.[14]
Penegasan tentang asas nasional aktif ini juga bertujuan untuk menyatakan bahwa setiap pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh warga negara UU No. 26 Tahun 2000 memberikan larangan atau membatasi kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. Disini diartikan bahwa seseorang yang berumur dibawah 18 tahun yang melakukan pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus dalam Pengadilan Negeri.
Ketentuan tentang pembatasan perkecualian yurisdiksi terhadap mereka yang berumur dibawah 18 tahun pada saat tindak pidana dilakukan (exclusion of jurisdiction over person under eighteen) sesuai dengan norma yang diatur dalam Statuta Roma 1998.
Jenis kejahatan yang dapat diadili
Jenis kejahatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat yang dapat diperiksa atau diputus dan merupakan yurisdiksi pengadilan HAM adalah :
1. Kejahatan genosida
2. Kejahatan terhadap kemanusiaan berupa :
a. Pembunuhan
b. Pemusnahan
c. Perbudakan
d. Pengusiran dan pemindahan penduduk secara paksa
e. Perampasan kemerdekaan
f. Penyiksaan
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentukbentuk kekerasan seksual lain yang setara.
h. Penganiayaan terhadap suatu kelompok
i. Penghilangan orang secara paksa,
j. Kejahatan apartheid, yaitu



  1. KASUS-KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA[15]
Dimulai dari tahun 1965
1.Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat.
2. Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Aparat keamanan terlibat aktif maupun pasif dalam kejadian ini.
1966
1. Penahanan dan pembunuhan tanpa pengadilan terhadap PKI terus berlangsung, banyak yang tidak terurus secara layak di penjara, termasuk mengalami siksaan dan intimidasi di penjara.
2. Dr Soumokil, mantan pemimpin Republik Maluku Selatan dieksekusi pada bulan Desember.
3. Sekolah- sekolah Cina di Indonesia ditutup pada bulan Desember.
1967
1. Koran- koran berbahasa Cina ditutup oleh pemerintah.
2. April, gereja- gereja diserang di Aceh, berbarengan dengan demonstrasi anti Cina di Jakarta.
3. Kerusuhan anti Kristen di Ujung Pandang.
1969
1. Tempat Pemanfaatan Pulau Buru dibuka, ribuan tahanan yang tidak diadili dikirim ke sana.
2. Operasi Trisula dilancarkan di Blitar Selatan.
3. Tidak menyeluruhnya proses referendum yang diadakan di Irian Barat, sehingga hasil akhir jajak pendapat yang mengatakan ingin bergabung dengan Indonesia belum mewakili suara seluruh rakyat Papua.
4. Dikembangkannya peraturan- peraturan yang membatasi dan mengawasi aktivitas politik, partai politik dan organisasi kemasyarakatan. Di sisi lain, Golkar disebut- sebut bukan termasuk partai politik.
1970
1. Pelarangan demo mahasiswa.
2. Peraturan bahwa Korpri harus loyal kepada Golkar.
3. Sukarno meninggal dalam ‘tahanan’ Orde Baru.
4. Larangan penyebaran ajaran Bung Karno.
1971:
1. Usaha peleburan partai- partai.
2. Intimidasi calon pemilih di Pemilu ’71 serta kampanye berat sebelah dari Golkar.
3. Pembangunan Taman Mini yang disertai penggusuran tanah tanpa ganti rugi yang layak.
4. Pemerkosaan Sum Kuning, penjual jamu di Yogyakarta oleh pemuda- pemuda yang di duga masih ada hubungan darah dengan Sultan Paku Alam, dimana yang kemudian diadili adalah Sum Kuning sendiri. Akhirnya Sum Kuning dibebaskan.
1972
1. Kasus sengketa tanah di Gunung Balak dan Lampung.
1973
1. Kerusuhan anti Cina meletus di Bandung.
1974
1. Penahanan sejumlah mahasiswa dan masyarakat akibat demo anti Jepang yang meluas di Jakarta yang disertai oleh pembakaran- pembakaran pada peristiwa Malari. Sebelas pendemo terbunuh.
2. Pembredelan beberapa koran dan majalah, antara lain ‘Indonesia Raya’ pimpinan Muchtar Lubis.
1975
1. Invansi tentara Indonesia ke Timor- Timur.
2. Kasus Balibo, terbunuhnya lima wartawan asing secara misterius.
1977
1. Tuduhan subversi terhadap Suwito.
2. Kasus tanah Siria- ria.
3. Kasus Wasdri, seorang pengangkat barang di pasar, membawakan barang milik seorang hakim perempuan. Namun ia ditahan polisi karena meminta tambahan atas bayaran yang kurang dari si hakim.
4. Kasus subversi komando Jihad.
1978
1. Pelarangan penggunaan karakter- karakter huruf Cina di setiap barang/ media cetak di Indonesia.
2. Pembungkaman gerakan mahasiswa yang menuntut koreksi atas berjalannya pemerintahan, beberapa mahasiswa ditahan, antara lain Heri Ahmadi.
3. Pembredelan tujuh suratkabar, antara lain Kompas, yang memberitakan peritiwa di atas.
1980
1. Kerusuhan anti Cina di Solo selama tiga hari. Kekerasan menyebar ke Semarang, Pekalongan dan Kudus.
2. Penekanan terhadap para penandatangan Petisi 50. Bisnis dan kehidupan mereka dipersulit, dilarang ke luar negri.
1981
1. Kasus Woyla, pembajakan pesawat garuda Indonesia oleh muslim radikal di Bangkok. Tujuh orang terbunuh dalam peristiwa ini.
1982
1. Kasus Tanah Rawa Bilal.
2. Kasus Tanah Borobudur. Pengembangan obyek wisata Borobudur di Jawa Tengah memerlukan pembebasan tanah di sekitarnya. Namun penduduk tidak mendapat ganti rugi yang memadai.
3. Majalah Tempo dibredel selama dua bulan karena memberitakan insiden terbunuhnya tujuh orang pada peristiwa kampanye pemilu di Jakarta. Kampanye massa Golkar diserang oleh massa PPP, dimana militer turun tangan sehingga jatuh korban jiwa tadi.
1983
1. Orang- orang sipil bertato yang diduga penjahat kambuhan ditemukan tertembak secara misterius di muka umum.
2. Pelanggaran gencatan senjata di Tim- tim oleh ABRI.
1984
1. Berlanjutnya Pembunuhan Misterius di Indonesia.
2. Peristiwa pembantaian di Tanjung Priuk terjadi.
3. Tuduhan subversi terhadap Dharsono.
4. Pengeboman beberapa gereja di Jawa Timur.
1985
1. Pengadilan terhadap aktivis- aktivis islam terjadi di berbagai tempat di pulau Jawa.
1986
1. Pembunuhan terhadap peragawati Dietje di Kalibata. Pembunuhan diduga dilakukan oleh mereka yang memiliki akses senjata api dan berbau konspirasi kalangan elit.
2. Pengusiran, perampasan dan pemusnahan Becak dari Jakarta.
3. Kasus subversi terhadap Sanusi.
4. Ekskusi beberapa tahanan G30S/ PKI.
1989
1. Kasus tanah Kedung Ombo.
2. Kasus tanah Cimacan, pembuatan lapangan golf.
3. Kasus tanah Kemayoran.
4. Kasus tanah Lampung, 100 orang tewas oleh ABRI. Peritiwa ini dikenal dengan dengan peristiwa Talang sari
5. Bentrokan antara aktivis islam dan aparat di Bima.
6. Badan Sensor Nasional dibentuk terhadap publikasi dan penerbitan buku. Anggotanya terdiri beberapa dari unsur intelijen dan ABRI.
1991
1. Pembantaian di pemakaman Santa Cruz, Dili terjadi oleh ABRI terhadap pemuda- pemuda Timor yang mengikuti prosesi pemakaman rekannya. 200 orang meninggal.
1992
1. Keluar Keppres tentang Monopoli perdagangan cengkeh oleh perusahaannya Tommy Suharto.
2. Penangkapan Xanana Gusmao.
1993
1. Pembunuhan terhadap seorang aktifis buruh perempuan, Marsinah. Tanggal 8 Mei 1993
1994
1. Tempo, Editor dan Detik dibredel, diduga sehubungan dengan pemberitaan kapal perang bekas oleh Habibie.
1995
1. Kasus Tanah Koja.
2. Kerusuhan di Flores.
1996
1. Kerusuhan anti Kristen diTasikmalaya. Peristiwa ini dikenal dengan Kerusuhan Tasikmalaya. Peristiwa ini terjadi pada 26 Desember 1996
2. Kasus tanah Balongan.
3. Sengketa antara penduduk setempat dengan pabrik kertas Muara Enim mengenai pencemaran lingkungan.
4. Sengketa tanah Manis Mata.
5. Kasus waduk Nipah di madura, dimana korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka.
6. Kasus penahanan dengan tuduhan subversi terhadap Sri Bintang Pamungkas berkaitan dengan demo di Dresden terhadap pak Harto yang berkunjung di sana.
7. Kerusuhan Situbondo, puluhan Gereja dibakar.
8. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pendukung PDI pro Megawati pada tanggal 27 Juli.
9. Kerusuhan Sambas – Sangualedo. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 30 Desember 1996.
1997
1. Kasus tanah Kemayoran.
2. Kasus pembantaian mereka yang diduga pelaku Dukun Santet di Jawa Timur.
1998
1. Kerusuhan Mei di beberapa kota meletus, aparat keamanan bersikap pasif dan membiarkan. Ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Tanggal 13 – 15 Mei 1998
2. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei.
3. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998. Peristiwa ini terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I.
1999
1. Pembantaian terhadap Tengku Bantaqiyah dan muridnya di Aceh. Peritiwa ini terjadi 24 Juli 1999
2. Pembumi hangusan kota Dili, Timor Timur oleh Militer indonesia dan Milisi pro integrasi. Peristiwa ini terjadi pada 24 Agustus 1999.
3. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil dalam demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). Peristiwa Ini terjadi pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II.
4. Penyerangan terhadap Rumah Sakit Jakarta oleh pihak keamanan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 Oktober 1999.

BAB III
PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Pengadilan ham adalah suatu pengadilan khusus yang di buat untuk mengadili orang-orang yang melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang telah disepakati oleh internasional. Namun ketentuan dalam mengadilinya masih mengikuti pengadilan negeri atau pengadilan biasa.
Kedudukan pengadilan ham sama dengan kedudukan pengadilan negeri, Cuma ada beberapa perbedaan yang sangat signifikan seperti perbedaan kasus yang di adili.
Sejauh ini, pengadilan ham Indonesia masih belum mampu menyelesaikan perkara-perkara yang telah diajukan oleh komnas ham. Dai sekian banyak kasus yang telah dituntut, banyak yang tidak siap dan kalaupun ada keputusan dari pengadilan ham tentang sebuah kasus, itu tidak memberikan kepuasan bagi masyarakat. Dalam artian, masyarakat masih beranggapan bahwa keputusan tersebut tidak adil.

  1. KRITIK DAN SARAN
Banyak hal yang harus dibenahi dalam pengadilan ham di Indonesia. Terutama dalam hal hokum acara dalam pengadilan yang masih mengikuti KUHAP. Dan lagi, pengadilan ham di indonesia masih meminjam kantor dari pada pengadilan negeri. Ini dapat menghambat proses dari peradilan ham, karena berbagai alasan. Misalnya saja akan terjadi perbenturan jadwal yang menyebabkan mollornya atau ditundanya jadwal persidangan pengadilan ham.









DAFTAR PUSTAKA

KUHAP Indonesia
fauzan, Ahmad. 2005.Perundang-undangan lengkap tentang peradilan umum, peradilan khusus dan mahkamah konstitusi. Jakarta:Kencana.
Krisnawat, Dani, dkk. 2006. Bunga rampai hukum pidana khusus. Jakarta Selatan: Pena Pundit Aksara.
Sudidja, Eddy djunaedi karma.2006.Himpunan putusan-putusan mahkamah agung dalam perkara hak asasi manusia. Jakarta: Tata Nusantara.
Abiding, Zainal. Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005 Materi : pengadilan ham Pengadilan hak asasi manusia di Indonesia. www.elsam.or.id. www.kontras.com



[1]Ignatius Haryanto, Kejahatan Negara, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 1999, hlm.31.
[2] Kompas, 15 April 1998.

[3] Muladi, Pengadilan Pidana bagi Pelanggar HAM Berat di Era Demokrasi, 2000, Jurnal Demokrasi dan HAM, Jakarta, hlm. 54.
[4]UU No. 26 Tahun 2000 ini disahkan pada tanggal 6 November 2000.
[5] UU No. 26 tahun 2000 Bab IX tentang ketentuan peralihan pasal 45.
[6] Tentang dukungan adminsitratif ini didasarkan pada pengalaman pengadilan HAM ad hoc kasus pelanggaran HAM yang berat di Timor-Timur.
[7] Pasal 10 UU No. 26 Tahun 2000
[8] Hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas usul ketua mahkamah agung untuk masa jabatan 5 tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.
[9] Lihat Pasal 18 KUHAP.
[10]  Lihat Pasal 24 dan 25 KUHAP. Pasal 24 menyatakan bahwa lama penahanan untuk proses penyidikan adalah paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari, jika dalam waktu 60 hari sudah terpenuhi penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Pasal 25 menyatakan bahwa lama penahanan 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari, jika dalam wakti 50 hari telah terpenuhi maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Kedua pasal diatas juga menyatakan bahwa tersangka dapat dilepaskan dari tahanan jika pemeriksaan sudah selesai meskipun waktu penahanan belum berakhir.
[11] Dalam KUHAP perpanjangan penahanan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dilakukan berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindari yaitu bahwa tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara selama sembilan tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan ini dapat dilakukan untuk paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang selama 30 hari berikutnya.
[12] 21 Lihat Pasal 29 KUHAP.
[13] Pasal 34-35UU No. 26/2000.
[14] Ketentuan tentang asas ini sebetulnya sudah diatur dalam Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) yaitu Pasal 5 yang berasaskan nasional pasif.10 Namun ketentuan ini perlu ditegaskan lagi mengingat bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan kejahatan internasional yang merupakan musuh umat manusia yang mengenal yurisdiksi internasional dan menjadi kewajiban setiap negara untuk melakukan penghukuman terhadap kejahatan seperti ini.
[15] WWW.SekitarKita.com

1 comment: