BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bantuan hukum adalah merupakan sumbangan yang diberikan pengacara pada masyarakat atau kliennya dalam menghadapi masalah dan berurusan dengan hakim di muka pengadilan Bantuan yang diberikan itu pada satu pihak merupakan dukungan moril dalam rangka mendapatkan pemembelaan, serta mempertahankan haknya di hadapan hakim. Pada sisi lain pengacara akan mendapatkan imbalan atas bantuan yang diberikan.
Dalam sistim hukum Barat, Amerika, Yunani Kuno dan negara berkembang seperti Indonesia sudah mengenal istilah bantuan hukum. Untuk masyarakat modern hal ini sudah harus diprogramkan.[1] Sedangkan untuk masyarakat berkembang juga sudah mulai dilaksanakan, meskipun sangat sukar ditentukan arti dan tujuannya.[2]
Fenomena yang berkembang di tengah masyarakat, khusus di Kota Padang kebutuhan akan bantuan hukum sangat diperlukan. Hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor seperti, faktor kesempatan dan kesibukan dari individu masyarakat, sehingga tidak ada waktu untuk berurusan dengan hakim atau pengadilan, juga kemungkinan faktor ilmu, sebab tidak semua orang tahu dan mengerti dalam beracara, dan juga kemungkinan faktor psychologis, kemungkinan ada di antara masyarakat yang kurang berani membela dan mempertahankan haknya di hadapan hakim atau pengadilan.
Ketika lembaga bantuan hukum itu dibutuhkan dan didambakan kehadirannya oleh masyarakat, di saat itu pula timbulnya praktek yang kurang harmonis, kelambanan dalam penyelesaian perkara, semakin panjang jalur upaya hukum yang ditempuh yakni sampai ke tingkat kasasi, bahkan juga terjadi tawar menawar dalam pembiayaan, akibatnya keinginan dan harapan masyarakat tidak terpenuhi dengan baik.
Persoalan biaya dapat diatasi jika ekonomi masyarakat kuat, namun persoalan akan timbul sekiranya ekonomi individu masyarakat lemah dan tidak mampu mewujudkan tawaran yang dimunculkan. Akibatnya hasrat akan bantuan hukum yang dimaksud tidak terwujud.
Adnan Buyung Nasution pernah mengungkapkan bahwa bantuan hukum diberikan pada individu atau masyarakat yang berekonomi lemah.[3] Kasus- kasus semacam ini banyak dijumpai pada Pengadilan Agama Padang.
Prinsip dari bantuan hukum sudah mulai bergeser dari prinsip menolong kepada prinsip memungut biaya, tendensi ta'awun kepada tendensi bisnis. Ada suatu kesan yang mencuat ke permukaan yang akhir-akhir ini tidak asing lagi didengar seperti " membela yang salah ". Agaknya prinsip semacam ini melanda dunia peradilan. Ketika mereka bergumul dalam membela dan mempertahankan hak mereka masing-masing, di saat itu masing-masing pihak memperjuangkan rencana dan keinginan mereka meskipun pihak pemberi dan penerima kuasa mengetahui hal itu tidak benar.
Disamping peristiwa tersebut, ada juga perbenturan faham diantara praktisi dalam menafsirkan Undang-undang dan peraturan, karena aturan dan Undang-undang tersebut belum jelas dan juga tidak mengatur secara rinci. Hal semacam ini menimbulkan tudingan yang mengakibatkan terjadinya perang dingin melalui mass media.
Lebih jauh lagi pada era reformasi, perkembangan hukum dan aplikasinya dituntut untuk menampakkan jati diri demi tegaknya supermasi hukum di tengah masyarakat. Sifat koreksi dan kritis sudah bermunculan yang dilontarkan oleh berbagai kalangan masyarakat. Selama ini banyak yang kurang menyesuaikan diri dengan lingkungan hukum, pemahaman dan penghayatan hukum masih bersifat normatif hanya melaksanakan tata aturan yang dibuat oleh penjajah, terobosan dan pembaharuan hukum sulit untuk diterapkan akibatnya para praktisi mengalami berbagai kendala dalam mencari solusi dan pemecahan masalah yang dihadapkan kepadanya
Fenomena yang berkembang di tengah masyarakat serta penghayatan terhadap hukum semakin luas dan dalam, akibatnya nilai normatif yang ada dan telah dilaksanakan sangat perlu ditinjau secara sosio yuridis dan perspektif hukum Islam.
Hukum Islam sangat respon terhadap eksistensi dan realitas kebutuhan hukum masyarakat, baik dalam bentuk perubahan, maupun perkembangan, karena hukum merupakan titah Allah yang mengandung aspek pembinaan, aspek riyadhah, aspek kerelaan, kesejahteraan, memupuk rasa solider, menumbuhkan rasa bantu membantu / ta'awun.
Ahli fiqh pada beberapa abad yang silam sudah membicarakan hal ini yang dikelompokkan kepada bab wakalah. Meskipun diantara mereka telah terjadi perselisihan pendapat, namun wujud bantuan hukum, mewakilkan atau mendelegasikan untuk bertindak hukum sudah ada pembicaraan panjang lebar bahkan sampai kepada pendelegasian mengenai kasus perdata dan pidana seperti terungkap dalam kitab Bidayatu al-Mujtahid, Fiqhu as-Sunnah.
Pendelegasian yang diberikan seperti tersebut di atas pernah terjadi pada beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, pernah meminta Uqail mewakilinya dalam sebuah perkara, begitu juga yang dilakukan oleh Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan.[4]
Dalam suatu pendapat, manakala seorang pengacara telah ditunjuk sebagai wakil dari suatu sengketa, ia tidak boleh lagi menerima perwakilan dari orang lain dari kasus yang lain agar ia dapat konsentrasi pada tugasnya, kecuali seizin orang yang pertama kali mengangkatnya sebagai wakil.[5] Pendapat para ahli fiqh di atas nampaknya terdapat perbedaan dengan pemahaman yang selama ini dianut oleh para praktisi.
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
Istilah bantuan hukum sudah lama dikenal dikalangan peradilan baik peradilan Agama, Militer, Tata Usaha Negara, apalagi pada peradilan Umum.
Pelaksanaan bantuan hukum dapat diberikan oleh orang yang ahli atau yang berprofesi, baik secara pribadi maupun dalam bentuk lembaga. Praktek bantuan hukum tersebut dapat diterapkan pada kasus perdata maupun kasus pidana. Pada kasus pidana yang diancam dengan hukuman lima tahun ke atas sudah merupakan kewajiban Negara untuk menunjuk seorang atau beberapa orang penasehat hukum untuk mendampingi kliennya.[6] Tetapi pada kasus perdata, tergantung kepada masyarakat atau individu masing-masing apakah ia bersedia untuk didampingi oleh advokaT, pengacara praktek atau tidak.
Bantuan hukum pada kasus perdata juga cukup luas bidangnya, karena setiap masalah yang terkait dengan keperdataan dapat didampingi dan dibela oleh pengacara. Khusus pada Pengadilan Agama kasus yang dapat didampingi dan diwakili hanya pada kasus yang berkaitan dengan jenis perkara yang telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, jadi ia bersifat khusus.
Dalam praktek sehari-hari ada dua bentuk atau cara advokat, pengacara praktek membela dan mempertahankan hak kliennya seperti :
- Advokat, pengacara praktek sebagai kuasa yang mewakili pemberi kuasa membela dan mempertahankan haknya sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan. Pada kasus ini pengacara dapat mewakili si pemberi kuasa dalam persidangan dan pemberi kuasa boleh tidak hadir dalam proses persidangan.
- Advokat, pengacara praktek sebagai kuasa yang mewakili pemberi kuasa untuk membela dan mempertahankan haknya sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan, tetapi pemberi kuasa harus hadir dalam proses persidangan. Pada kasus seperti ini pengacara pada hakekatnya hanya bersifat mendampingi si pemberi kuasa. Kalau terwujud perdamaian maka yang akan melaksanakannya adalah para pihak yang berperkara.
Dalam kasus huruf b di atas tidak dijumpai aturan-aturannya, namun dalam praktek harus dilaksanakan seperti itu karena melihat kerahasiaan perkara yang diselesaikan.
Dari gambaran tersebut, dapat penulis rumuskan bahwa permasalahan yang akan menjadi bahasan dalam tesis ini adalah :
" Bagaimanakah pandangan Hukum Islam terhadap Bantuan Hukum di Pengadilan Agama dalam kasus perceraian ?”
Pembahasan tesis ini akan dibatasi pada kegiatan bantuan hukum oleh advokat di Pengadilan Agama Padang. Pengadilan Agama Padang dijadikan sebagai obyek penelitian karena hal-hal sebagai berikut :
1. Kasus yang banyak didampingi oleh advokat / pengacara praktek adalah kasus yang terdaftar pada Pengadilan Agama kelas I A Padang.
2. Bobot / jenis perkara yang banyak masuk adalah perkara yang didaftarkan pada Pengadilan Agama Kelas I A Padang.
3. Dalam penyelesaian perkara mempunyai aturan yang sama antara Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Diharapkan dengan pembahasan ini akan memperoleh informasi yang kongkrit tentang bantuan hukum pada Pengadilan Agama serta aplikasinya bagi pengacara / pengacara praktek atau si penerima kuasa dan sekaligus akan dapat memperbandingkan dengan ajaran Islam, apakah praktek-praktek bantuan hukum yang berkembang di masyarakat sesuai dan sejalan dengan ajaran Islam atau tidak.
2. Di samping itu pembahasan ini sebagai sumbangan pemikiran dalam menyorot sistim dan aspek-aspek dari bantuan hukum.
3 Selanjutnya penulisan ini adalah sebagai khazanah pemikiran tentang bantuan hukum setelah memperhatikan fenomena yang berkembang di tengah masyarakat.
D. Tinjauan Kepustakaan
Bantuan hukum adalah merupakan salah satu upaya untuk menolong masyarakat atau pihak yang berperkara di pengadilan. Kemungkinan para pihak tidak mempunyai waktu untuk mempertahankan haknya atau tidak mempunyai kemampuan atau keberanian dalam memperjuangkan haknya dan kemungkinan juga kurang pengalaman atau tidak ada ilmu dalam membela haknya di muka pengadilan.
Buku-buku yang telah membahas bantuan hukum atau yang berkaitan dengan bantuan hukum cukup banyak seperti :
Soerjono Soekanto, membahas secara panjang lebar dalam bukunya yang berjudul Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis [7] ia menjelaskan bahwa masyarakat sangat membutuhkan bantuan hukum. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor baik yang bersifat intern maupun extern, terutama dalam kasus pidana. Disamping itu ia juga mengupas tentang kegunaan dan manfaat bantuan hukum serta bentu-bentuk bantuan hukum yang ada di Indonesia.[8] Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasannya hanya bersifat umum yang mencakup masalah perdata dan pidana, sedangkan yang bersifat khusus yang merupakan garapan dan kewenangan Pengadilan Agama tidak ditemui terutama dalam masalah kasus cerai talak dan cerai gugat.
T. Mulya Lubis dalam bukunya Bantuan Hukum Dan Kemiskinan Struktural [9] menjelaskan sejarah bantuan hukum di Indonesia, kemiskinan Struktural serta strategi bantuan hukum. Dan lebih lanjut ia menjelaskan tentang politik hukum yang berkembang di Indonesia sehingga pasang surut perkembangan bantuan hukum dimata masyarakat serta perlakuan pihak yang berwenang terhadap lembaga bantuan hukum. Terakhir ia menjelaskan bagaimana strategi pengembangan bantuan hukum dimasa datang. Dari kupasan yang disampaikan tersebut nampaknya T. Mulya lubis membahas bantuan hukum secara umum bahkan terfokus pada masalah perkembangan bantuan hukum dalam tinjauan politik hukum. Namun pembahasan yang menjadi harapan dari penulis belum terjawab, yakni berkenaan dengan bantuan hukum dalam beracara di Pengadilan Agama.
Adnan Buyung Nasution, dalam bukunya Bantuan Hukum di Indonsia [10] membahas tentang politik hukum yang berkembang sejak zaman penjajahan sampai kepada masa ordebaru, bantuan hukum dan budaya kemiskinan, lebih lanjut ia mengupas harapan masyarakat terhadap bantuan hukum serta kurangnya perhatian pejabat terhadap bantuan hukum. Ditambah lagi dengan perkembangan ekonomi bangsa yang kurang menguntungkan disamping sarjana Hukum semakin banyak, sedangkan perhatian untuk mengangkat lembaga bantuan hukum tidak ada. Terakhir dalam bukunya itu ia mengajukan langkah agar bantuan hukum struktural mendapat perhatian dari berbagai pihak.
Frans Hendra Winarta, dalam bukunya Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia bukan Belas Kasihan [11] membahas Sejarah bantuan Hukum di Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda sampai kepada zaman kemerdekaan, mengupas tentang perkembangan lembaga-lembaga bantuan hukum yang berada di Indonesia. Lebih lanjut ia menjelaskan tentang bantuan hukum adalah merupakan hak sebagai warga negara, yang akhir-akhir ini diabaikan dan dikecilkan peranannya. Tarakhir dalam paparannya, bantuan hukum bagi masyarakat adalah suatu langkah dalam mengentaskan kemiskinan dan keadilan. Dari kupasan di atas nampaknya tidak menyinggung bantuan hukum pada Pengadilan Agama. Sorotan diarahkan tentang bantuan hukum yang berada dalam kawasan Peradilan Umum khusus mengenai kasus pidana.
Binziad Kadafi dan kawan-kawan dalam sebuah buku yang berjudul Advokat Indonesia Mencari Legitimasi [12] memaparkan hasil temuan yang diperoleh di lapangan tentang kegiatan advokat, kebijakan lembaga peradilan terhadap kedudukan dan peran advokat dan bagaimana pengakuan Negara terhadap status dan fungsi advokat di Indonesia serta sejauh mana pengaturan Negara terhadap advokat asing. Meskipun tulisan itu cukup gamblang dan lugas serta diiringi dengan bukti-bukti dari temuan di lapangan tentang advokasi di Indonesia, tetapi itu semua belum menyentuh institusi lembaga Peradilan Agama sebagai lembaga yang diakui oleh Negara dan mempunyai kewenangan dalam menerima, memeriksa, memutuskan serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, khusus tentang masalah perdata secara khusus sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang no 7 tahun l989.
Mahkamah Agung Republik Indonesia ( MARI ) selaku lembaga tinggi Negara dan Pengadilan Tertinggi di Negara Republik Indonesia yang mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan di bawah undang-undang secara umum telah mengatur tentang bantuan hukum seperti terdapat dalam:
1. Buku Pedoman kedua yang telah direvisi, pada halaman 109, menjelaskan, Permohonan / gugatan harus diajukan dengan surat permohonan / surat gugatan yang ditandatangani oleh pemohon / penggugat atau kuasanya yang sah, aturan ini dipertegas dalam halaman 111, bahwa untuk bertindak sebagai kuasa atau wakil dari penggugat atau tergugat harus memenuhi syarat-syarat.[13] Ketentuan yang dibuat oleh MARI itu masih bersifat umum dan tidak menjangkau materi yang didapat dalam proses sidang pada Pengadilan Agama.
2. Kumpulan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonsia tentang Surat Kuasa dan Penasehat Hukum. MARI nampaknya memberikan petunjuk dan pengawasan kepada pengacara praktek, pemberi kuasa serta Penasehat hukum.[14] Aturan tersebut masih bersifat umum dan belum menyentuh bidang bantuan hukum pada Pengadilan Agama khusus tentang pembelaan dalam kasus cerai talak dan cerai gugat.
H.M. Yahya Harahap, menjelaskan tentang bantuan hukum dan surat kuasa, melalui bukunya Beberapa masalah Hukum Acara Pada Peradilan Agama[15] Buku tersebut memberikan informasi tentang hukum acara yang diperlakukan pada Pengadilan Negeri termasuk Pengadilan Agama serta macam-macam surat kuasa, tetapi bagaimana cara menghadapi dan memberi bantuan hukum pada kasus cerai talak dan cerai gugat tidak ditemui.
Orba Susilawati dalam skripsinya berjudul Suatu Tinjauan Terhadap Peranan Penasehat Hukum di Pengadilan Agama Menurut Hukum Islam[16] Judul dimaksud hampir bersamaan dengan judul tesis penulis tetapi isinya jauh berbeda karena penulisan skripsi lebih mengarahkan kepada peranan penasehat hukum secara umum, sedangklan tesis ini lebih menitik beratkan kepada sistim atau cara bagi advokat, pengacara praktek melaksanakan fungsinya di Pengadilan Agama yang ada kaitannya dengan cerai talak dan cerai gugat serta bagaimana konsep / ajaran Islam dalam masalah ini.
Burgerlijk Wetboek ( Kitab Undang-undang Hukum Perdata ) dari pasal 1792 sampai kepada pasal 1819 telah memberikan penjelasan tentang definisi kuasa, sifat pemberian kuasa, kewajiban si pemberi kuasa serta si penerima kuasa serta macam-macam surat kuasa dan berakhirnya surat kuasa.[17] Namun tidak dijumpai cara pemberian kuasa serta batas-batasnya pada kasus cerai talak dan cerai gugat.
Sepanjang buku literatur yang pernah dibaca, bahwa bantuan hukum dalam kajian fiqh belum dijumpai, tetapi sebagai bahan perbandingan dalam kajian tesis ini dapat penulis kemukakan sebagai berikut :
Fiqh Sunnah oleh Sayid Sabiq dalam bab al-Wakalah memberikan bahasan, bahwa pada asasnya seseorang dapat diwakili oleh orang lain dari berbagai kasus kecuali masalah ibadah mahdhah atau oleh syara' dilarang.[18] Kupasan tersebut belum menyentuh terhadap persoalan yang penulis bahas dalam tesis ini.
Bidayatu al- Mujtahid oleh Ibnu Rusyd [19] hanya membahas masalah wakalah. Bahasannya berkisar pendelegasian seseorang kepada orang lain dari berbagai masalah serta perbedaan pendapat dalam menyikapinya. Masalah bantuan hukum secara khusus sebagaimana yang diharapkan untuk menjawab problema yang ada pada Pengadilan Agama khusus tentang bantuan hukum dalam kasus cerai talak dan cerai gugat tidak ditemui.
Ensiklopedi Hukum Islam, halaman 1911 menguraikan tentang wakalah yang pada intinya memberikan informasi tentang transaksi tolong menolong antara pribadi dalam masalah perdata dan pidana.[20] Di dalamnya juga terdapat perbedaan pendapat dari para fuqaha' dalam menyikapi pendelegasian, perwakilan dari si pemberi kepada si penerima. Tetapi dalam masalah cara pendelegasian dan batasan penedelegasian dalam kaksus cerai talak dan cerai gugat sebagaimana yang dialami oleh Pengadilan Agama dewasa ini tidak dijumpai.
E. Definisi Operasional
Bantuan hukum adalah suatu istilah yang sudah dikenal dalam dunia peradilan yang pada intinya, mengandung makna pembelaan yang diperoleh seseorang dari penasehat hukum sewaktu perkaranya diperiksa, diproses di muka pengadilan.[21]
Disamping itu bantuan hukum dipergunakan dalam makna yang luas seperti:
- Memberikan konsultasi hukum serta jasa-jasa lain yang berhubungan dengan hukum.
- Memberikan penyuluhan terhadap masyarakat, khususnya kepada pencari keadilan untuk menjunjung tinggi norma-norma hukum.
- Memberikan bantuan hukum secara aktif, langsung serta secara merata kepada masyarakat, khususnya kepada pencari keadilan. Pada umumnya
Istilah di atas dipergunakan di kalangan perguruan tinggi.[22]
F. Metode Penelitian
Untuk merangkum data yang diperlukan dalam pembahasan tesis ini, penulis mencoba untuk mengkaji berdasarkan metode kualitatif, yakni menyerap data, bahan-bahan dalam bentuk tertulis baik dari bahan bacaan buku-buku yang telah diterbitkan, majalah-majalah baik bulanan, mingguan, brosur-brosur kemudian dipadukan dengan bahan-bahan / data yang di peroleh di lapangan. [23] Lapangan yang dimaksud disini adalah data yang diperoleh pada Pengadilan Agama Kelas I A Padang, baik berupa laporan bulanan, tahunan tentang kepengacaraan, maupun dokumen lain seperti surat keterangan yang ada kaitannya dengan advokasi, jenis-jenis perkara yang menjadi garapan Pengadilan Agama Klas I A Padang. Untuk kesempurnaan data yang diharapkan penulis melakukan wawancara baik terhadap hakim sebagai pelaku utama dalam penyelesaian perkara, kemudian kepada advokat dan pengacara praktek yang pernah mendampingi kliennya di Pengadilan Agama Padang serta terhadap pencari keadilan ( pihak materiil ) yang pernah mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Padang. Disamping itu data yang di peroleh juga berdasarkan pengamatan penulis sendiri yang sudah enam tahun berkecimpung dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama Klas I A Padang. Sebagai bahan pendukung berupa catatan-catatan tentang penyelesaian perkara yang terkait dengan advokat.[24] Sumber data tersebut penulis ambil dari perkara yang telah terdaftar pada pada Pengadilan Agama Padang tahun 2002. Analisis data dilakukan dengan cara induktif dan deduktif.
[2]Ibid
[3]Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Pen. LP 3 ES, Th.1988 ) cet. Ke 3, hal, 15
[4]Abdul Aziz Dahlan (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta : PT.Ichtiar Barau van Holve, th. 1997 ) hal. 1913.
[9]T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural, (Jakarta : Pen. LP3 ES, Th. 1986 ) Cet. Pertama
[11]Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia Bukan Belas Kasihan,(Jakarta : Pen. PT Elex Media Komputindo Th. 2000)
[12]Binziad Kadafi (ed) Advokat indonesia Mencari Legitimasi,( Jakarta : Pen. Pusat Studi hukum dan Kebijakan Indonesia, th. 2001 ) Cet. Pertama
[13]Mahkamah Agung R I, Pedoman pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan , buku II ,( Jakareta Th. 1993 ) Cet ke 3, .
[15]Yahya Harahap, Beberapa Masalah Hukum Acara pada Peradilan Agama, Jakarta : Pen.Yayasan Al-Hikmah.Th. 1993/1994)
[16]Orba Susilawati, Suatu Tinjauan Terhadap Peranan Penasehat Hukum di Pengadilan Agama Menurut Hukum Islam, Bukittinggi th 1992 IAIN Imam Bonjol Bukittinggi
[18]Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah , Dar al Fikr, Cet ke 4, th l983 (1403 H)
[19]Ahmad Ibnu Rusyd , Bidayatu al-Mujtahid wa nihayatu al Muqtashid ( Semarang : Pen. Maktabah Wamatba'ah, Thaha Putra )
[23]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,( Bandung : Pen. PT. Remaja Rosdakarya, th, 1994 ) Cet ke lima,hal. 26.
No comments:
Post a Comment