Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Wednesday, June 29, 2011

Pandangan Hukum Islam terhadap Bantuan Hukum di Pengadilan Agama dalam kasus perceraian

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang  Masalah
        Bantuan hukum adalah merupakan sumbangan yang diberikan pengacara pada masyarakat atau kliennya dalam menghadapi masalah  dan berurusan dengan hakim di muka pengadilan  Bantuan yang diberikan itu pada satu pihak merupakan dukungan moril dalam rangka mendapatkan  pemembelaan,  serta mempertahankan haknya di hadapan hakim. Pada sisi lain pengacara akan mendapatkan  imbalan atas bantuan yang diberikan.
                Dalam sistim hukum Barat, Amerika, Yunani Kuno dan negara berkembang  seperti Indonesia  sudah mengenal istilah bantuan hukum. Untuk masyarakat modern hal ini sudah harus diprogramkan.[1]  Sedangkan untuk masyarakat berkembang juga sudah mulai dilaksanakan,  meskipun sangat sukar ditentukan arti  dan tujuannya.[2]
                  Fenomena yang berkembang di tengah  masyarakat, khusus di Kota Padang kebutuhan akan bantuan hukum sangat diperlukan. Hal ini  dimungkinkan karena beberapa faktor seperti, faktor kesempatan dan kesibukan dari individu masyarakat, sehingga tidak ada waktu untuk berurusan dengan hakim atau pengadilan, juga kemungkinan faktor ilmu, sebab tidak semua orang tahu dan mengerti  dalam beracara,  dan juga kemungkinan faktor psychologis, kemungkinan ada di antara masyarakat yang kurang berani membela dan mempertahankan haknya di hadapan hakim atau pengadilan.
                  Ketika lembaga bantuan hukum itu dibutuhkan dan didambakan kehadirannya oleh masyarakat, di saat itu pula timbulnya praktek yang kurang harmonis, kelambanan dalam penyelesaian perkara, semakin panjang jalur upaya hukum yang ditempuh yakni sampai ke tingkat kasasi, bahkan juga terjadi tawar menawar dalam pembiayaan, akibatnya keinginan dan harapan masyarakat tidak terpenuhi dengan baik.
                Persoalan biaya dapat diatasi  jika ekonomi masyarakat kuat, namun persoalan akan timbul sekiranya ekonomi individu masyarakat  lemah dan tidak mampu mewujudkan tawaran yang dimunculkan. Akibatnya hasrat  akan bantuan hukum yang dimaksud tidak terwujud.
               Adnan Buyung Nasution pernah mengungkapkan bahwa bantuan hukum  diberikan pada individu atau masyarakat yang berekonomi lemah.[3] Kasus- kasus semacam ini banyak dijumpai  pada Pengadilan Agama Padang.

               Prinsip dari bantuan hukum sudah mulai bergeser dari prinsip menolong  kepada prinsip memungut biaya, tendensi ta'awun kepada tendensi bisnis. Ada suatu kesan yang mencuat ke permukaan yang akhir-akhir ini tidak asing lagi didengar seperti " membela yang salah ". Agaknya prinsip semacam ini melanda dunia peradilan. Ketika mereka bergumul dalam membela dan mempertahankan hak mereka masing-masing, di saat itu masing-masing pihak memperjuangkan rencana dan keinginan mereka meskipun pihak pemberi dan penerima kuasa mengetahui hal itu tidak benar.
               Disamping peristiwa tersebut, ada juga perbenturan faham diantara praktisi dalam menafsirkan Undang-undang dan peraturan, karena aturan dan Undang-undang tersebut belum jelas dan juga tidak mengatur secara rinci. Hal semacam ini menimbulkan tudingan yang mengakibatkan terjadinya perang  dingin melalui mass media.
               Lebih  jauh  lagi  pada  era  reformasi,   perkembangan   hukum         dan aplikasinya dituntut untuk  menampakkan jati diri  demi  tegaknya supermasi hukum di tengah masyarakat. Sifat koreksi dan kritis sudah bermunculan yang dilontarkan oleh berbagai kalangan masyarakat.    Selama   ini   banyak    yang kurang menyesuaikan   diri    dengan   lingkungan   hukum,    pemahaman dan penghayatan hukum masih bersifat normatif hanya    melaksanakan tata aturan yang dibuat oleh penjajah,   terobosan dan    pembaharuan   hukum sulit untuk diterapkan  akibatnya para praktisi      mengalami    berbagai   kendala    dalam mencari solusi dan      pemecahan     masalah    yang   dihadapkan   kepadanya
              Fenomena yang berkembang di tengah masyarakat serta penghayatan terhadap  hukum  semakin luas dan dalam,  akibatnya nilai normatif yang ada dan telah  dilaksanakan sangat perlu ditinjau secara sosio yuridis dan perspektif hukum Islam.
             Hukum Islam sangat respon terhadap eksistensi dan realitas kebutuhan hukum masyarakat, baik dalam bentuk perubahan, maupun perkembangan, karena hukum merupakan titah Allah yang mengandung aspek pembinaan, aspek riyadhah, aspek kerelaan, kesejahteraan, memupuk rasa solider, menumbuhkan rasa bantu membantu / ta'awun.
              Ahli fiqh pada beberapa abad yang silam sudah membicarakan hal ini yang dikelompokkan kepada bab wakalah. Meskipun diantara mereka telah terjadi perselisihan pendapat, namun wujud bantuan hukum, mewakilkan atau mendelegasikan untuk bertindak hukum sudah ada pembicaraan panjang lebar  bahkan sampai kepada pendelegasian mengenai  kasus perdata dan pidana seperti terungkap dalam kitab Bidayatu al-Mujtahid, Fiqhu as-Sunnah.
               Pendelegasian  yang diberikan seperti tersebut di atas pernah terjadi pada beberapa orang sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, pernah meminta Uqail mewakilinya dalam sebuah perkara, begitu juga yang dilakukan oleh Abu Bakar as Shiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan.[4]
             Dalam suatu pendapat, manakala seorang pengacara telah ditunjuk sebagai wakil dari suatu sengketa,  ia tidak boleh lagi menerima perwakilan dari orang lain dari kasus yang lain  agar ia dapat konsentrasi pada tugasnya, kecuali seizin orang yang pertama kali mengangkatnya sebagai wakil.[5] Pendapat para ahli  fiqh di atas nampaknya terdapat perbedaan dengan pemahaman  yang selama ini dianut oleh para praktisi.

B. Rumusan Dan Batasan Masalah

Istilah bantuan hukum sudah lama dikenal dikalangan peradilan baik peradilan Agama, Militer, Tata Usaha Negara, apalagi pada peradilan Umum.
Pelaksanaan bantuan hukum dapat diberikan oleh orang yang ahli atau yang berprofesi, baik secara pribadi maupun dalam bentuk lembaga. Praktek bantuan hukum tersebut dapat diterapkan pada kasus perdata maupun kasus pidana. Pada kasus pidana yang diancam dengan hukuman lima tahun ke atas sudah merupakan kewajiban Negara untuk menunjuk seorang atau beberapa orang penasehat hukum untuk mendampingi kliennya.[6]  Tetapi pada kasus perdata,  tergantung kepada masyarakat atau individu masing-masing apakah ia bersedia untuk didampingi oleh advokaT, pengacara praktek atau tidak.
Bantuan hukum pada kasus perdata juga cukup luas bidangnya, karena setiap masalah yang terkait dengan keperdataan dapat didampingi dan dibela oleh pengacara. Khusus pada Pengadilan Agama  kasus yang dapat didampingi dan diwakili hanya pada kasus yang berkaitan dengan jenis perkara yang telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, jadi ia bersifat khusus.
Dalam praktek sehari-hari ada dua bentuk atau cara advokat, pengacara praktek membela dan mempertahankan hak kliennya seperti :
  1. Advokat,  pengacara praktek  sebagai kuasa yang mewakili pemberi  kuasa membela dan mempertahankan haknya sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan. Pada kasus ini pengacara dapat mewakili  si pemberi kuasa dalam persidangan dan pemberi kuasa boleh tidak hadir dalam proses persidangan.
  2. Advokat,  pengacara praktek sebagai kuasa yang mewakili pemberi kuasa untuk membela dan mempertahankan haknya sesuai dengan batas-batas kewenangan yang diberikan,  tetapi pemberi kuasa harus hadir dalam proses persidangan.  Pada kasus seperti ini pengacara pada hakekatnya hanya bersifat mendampingi si pemberi kuasa.  Kalau terwujud perdamaian maka   yang akan melaksanakannya adalah para pihak yang berperkara.
Dalam kasus huruf b di atas tidak dijumpai aturan-aturannya,  namun dalam praktek harus dilaksanakan seperti itu karena melihat kerahasiaan perkara yang diselesaikan.
                       Dari gambaran tersebut, dapat penulis rumuskan bahwa permasalahan yang  akan menjadi  bahasan dalam tesis ini adalah :
" Bagaimanakah  pandangan Hukum Islam terhadap Bantuan Hukum di Pengadilan Agama  dalam kasus perceraian ?”
 Pembahasan tesis ini akan dibatasi pada kegiatan bantuan hukum oleh advokat di Pengadilan Agama Padang. Pengadilan Agama Padang dijadikan sebagai obyek penelitian karena  hal-hal sebagai berikut :
1.      Kasus yang banyak didampingi oleh advokat / pengacara praktek adalah kasus yang  terdaftar pada Pengadilan Agama kelas I A Padang.
2.      Bobot / jenis perkara yang banyak masuk adalah perkara yang didaftarkan pada Pengadilan Agama Kelas I A Padang.
3.      Dalam penyelesaian perkara mempunyai aturan yang sama antara Pengadilan Agama di seluruh Indonesia.

C. Tujuan  Dan  Kegunaan  Penelitian

     1. Diharapkan dengan pembahasan ini akan memperoleh informasi yang kongkrit tentang  bantuan  hukum pada  Pengadilan  Agama serta  aplikasinya bagi pengacara /  pengacara praktek  atau si penerima kuasa dan sekaligus akan dapat memperbandingkan dengan ajaran  Islam, apakah praktek-praktek bantuan hukum yang berkembang di masyarakat sesuai dan sejalan dengan ajaran Islam atau tidak.
     2.  Di samping itu    pembahasan   ini   sebagai   sumbangan    pemikiran dalam menyorot sistim dan aspek-aspek dari bantuan hukum.
     3   Selanjutnya   penulisan   ini   adalah   sebagai   khazanah  pemikiran tentang bantuan hukum setelah   memperhatikan   fenomena   yang   berkembang  di tengah masyarakat.

D. Tinjauan Kepustakaan

                 Bantuan hukum adalah merupakan salah satu upaya untuk menolong masyarakat atau pihak yang berperkara  di pengadilan. Kemungkinan para pihak tidak mempunyai waktu untuk mempertahankan haknya atau tidak mempunyai kemampuan  atau keberanian dalam memperjuangkan haknya dan kemungkinan juga kurang pengalaman atau tidak ada ilmu dalam membela haknya di muka pengadilan.
                 Buku-buku yang telah membahas bantuan hukum atau yang berkaitan dengan bantuan hukum cukup banyak seperti :
                  Soerjono  Soekanto, membahas secara panjang lebar dalam bukunya yang berjudul  Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosio Yuridis  [7] ia menjelaskan bahwa masyarakat sangat membutuhkan bantuan hukum. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor baik yang bersifat intern maupun extern, terutama dalam kasus pidana. Disamping itu ia juga mengupas tentang kegunaan dan manfaat bantuan hukum  serta bentu-bentuk bantuan hukum  yang ada di Indonesia.[8]  Dari paparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pembahasannya hanya bersifat umum yang mencakup masalah perdata dan  pidana, sedangkan yang bersifat khusus yang merupakan garapan dan kewenangan Pengadilan Agama tidak ditemui terutama dalam masalah kasus cerai talak dan cerai gugat.
            T. Mulya Lubis  dalam bukunya  Bantuan Hukum Dan Kemiskinan   Struktural [9] menjelaskan sejarah  bantuan hukum di Indonesia, kemiskinan Struktural  serta strategi bantuan hukum.  Dan lebih lanjut ia menjelaskan tentang politik hukum yang berkembang di Indonesia sehingga pasang surut perkembangan bantuan hukum dimata masyarakat serta perlakuan pihak yang berwenang terhadap lembaga bantuan hukum. Terakhir ia menjelaskan bagaimana strategi pengembangan bantuan hukum dimasa datang.  Dari kupasan yang disampaikan tersebut nampaknya T. Mulya lubis membahas bantuan hukum secara umum bahkan  terfokus pada masalah perkembangan bantuan hukum dalam tinjauan politik hukum. Namun pembahasan yang menjadi harapan dari penulis belum terjawab, yakni berkenaan dengan bantuan hukum dalam beracara di Pengadilan Agama.
                 Adnan  Buyung Nasution, dalam  bukunya  Bantuan Hukum di Indonsia  [10] membahas tentang politik hukum yang berkembang sejak zaman penjajahan sampai kepada masa ordebaru,  bantuan hukum dan budaya kemiskinan, lebih lanjut ia mengupas harapan  masyarakat terhadap bantuan hukum serta kurangnya perhatian  pejabat  terhadap bantuan hukum. Ditambah lagi dengan  perkembangan ekonomi bangsa yang kurang menguntungkan disamping sarjana Hukum semakin banyak,  sedangkan perhatian untuk mengangkat lembaga bantuan hukum tidak ada.  Terakhir dalam bukunya itu ia mengajukan langkah agar bantuan hukum struktural  mendapat perhatian dari berbagai pihak.
                 Frans Hendra Winarta,  dalam bukunya  Bantuan Hukum  Suatu Hak Asasi Manusia bukan  Belas Kasihan  [11] membahas  Sejarah bantuan Hukum di  Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda  sampai kepada zaman  kemerdekaan,  mengupas tentang perkembangan lembaga-lembaga bantuan hukum yang berada di Indonesia. Lebih lanjut ia  menjelaskan tentang bantuan  hukum  adalah merupakan hak sebagai warga negara,  yang akhir-akhir ini diabaikan dan dikecilkan peranannya. Tarakhir dalam paparannya, bantuan hukum bagi masyarakat adalah suatu langkah dalam mengentaskan kemiskinan dan keadilan. Dari kupasan  di atas nampaknya tidak menyinggung  bantuan hukum pada Pengadilan Agama. Sorotan  diarahkan tentang bantuan hukum yang berada dalam kawasan Peradilan Umum khusus mengenai kasus pidana.     
                   Binziad Kadafi dan kawan-kawan dalam sebuah buku yang berjudul Advokat Indonesia Mencari Legitimasi  [12] memaparkan hasil temuan yang diperoleh di lapangan  tentang kegiatan advokat, kebijakan lembaga peradilan  terhadap kedudukan  dan peran advokat  dan bagaimana pengakuan Negara terhadap status dan fungsi advokat di Indonesia serta sejauh mana pengaturan Negara terhadap advokat asing. Meskipun tulisan itu cukup gamblang dan lugas  serta diiringi dengan bukti-bukti dari temuan di lapangan tentang advokasi di Indonesia, tetapi itu semua belum  menyentuh institusi lembaga Peradilan Agama  sebagai lembaga yang diakui oleh Negara dan mempunyai kewenangan dalam menerima, memeriksa, memutuskan serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, khusus tentang masalah perdata secara khusus sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang no 7 tahun l989.
                  Mahkamah Agung Republik Indonesia ( MARI ) selaku lembaga tinggi Negara dan Pengadilan Tertinggi di Negara Republik Indonesia  yang mempunyai kewenangan untuk menguji peraturan di bawah undang-undang  secara umum telah mengatur tentang bantuan hukum seperti terdapat dalam:    
      1. Buku Pedoman kedua yang  telah direvisi,  pada halaman  109, menjelaskan, Permohonan / gugatan harus diajukan dengan surat permohonan / surat gugatan  yang ditandatangani  oleh pemohon / penggugat  atau kuasanya  yang sah, aturan ini dipertegas  dalam halaman 111, bahwa untuk bertindak sebagai kuasa  atau wakil dari penggugat atau tergugat harus memenuhi syarat-syarat.[13] Ketentuan yang dibuat oleh MARI itu masih bersifat umum  dan tidak menjangkau materi yang didapat  dalam proses sidang pada Pengadilan Agama.
        2. Kumpulan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonsia tentang Surat Kuasa  dan Penasehat Hukum. MARI nampaknya memberikan petunjuk dan pengawasan kepada pengacara praktek, pemberi kuasa  serta Penasehat hukum.[14] Aturan tersebut masih bersifat umum dan belum menyentuh bidang bantuan hukum pada Pengadilan Agama  khusus tentang pembelaan dalam kasus cerai talak  dan cerai gugat.
                
                      H.M. Yahya Harahap, menjelaskan tentang bantuan hukum dan surat kuasa,  melalui bukunya  Beberapa masalah Hukum Acara Pada Peradilan Agama[15] Buku tersebut memberikan informasi  tentang hukum  acara  yang diperlakukan pada Pengadilan Negeri termasuk Pengadilan Agama  serta macam-macam surat kuasa, tetapi bagaimana cara menghadapi dan memberi bantuan hukum pada kasus cerai talak dan cerai gugat tidak ditemui.

                     Orba Susilawati dalam skripsinya berjudul  Suatu Tinjauan  Terhadap Peranan Penasehat Hukum di Pengadilan Agama Menurut Hukum Islam[16] Judul  dimaksud hampir bersamaan dengan judul tesis  penulis tetapi isinya jauh berbeda karena penulisan skripsi lebih mengarahkan kepada peranan penasehat hukum secara umum, sedangklan tesis ini lebih menitik beratkan kepada sistim atau cara bagi  advokat, pengacara praktek  melaksanakan fungsinya di Pengadilan Agama yang ada kaitannya  dengan cerai talak dan cerai gugat serta bagaimana konsep / ajaran Islam dalam masalah ini.
                  Burgerlijk  Wetboek ( Kitab Undang-undang Hukum Perdata )  dari pasal 1792 sampai kepada pasal 1819  telah memberikan penjelasan tentang definisi kuasa, sifat pemberian kuasa, kewajiban si pemberi kuasa  serta si penerima kuasa  serta macam-macam surat kuasa  dan berakhirnya surat kuasa.[17] Namun tidak dijumpai  cara pemberian kuasa  serta batas-batasnya pada kasus cerai talak  dan cerai gugat.
                Sepanjang buku literatur yang pernah dibaca,  bahwa bantuan hukum dalam kajian fiqh belum dijumpai, tetapi sebagai bahan perbandingan dalam kajian tesis ini dapat penulis kemukakan sebagai berikut :
               Fiqh Sunnah oleh Sayid Sabiq dalam bab al-Wakalah  memberikan bahasan, bahwa pada asasnya seseorang dapat diwakili oleh orang lain dari berbagai kasus kecuali masalah ibadah mahdhah  atau oleh syara' dilarang.[18] Kupasan tersebut belum menyentuh terhadap persoalan  yang penulis bahas dalam tesis ini.
                 Bidayatu al- Mujtahid  oleh Ibnu Rusyd [19] hanya membahas masalah wakalah. Bahasannya berkisar pendelegasian seseorang kepada orang lain  dari berbagai masalah serta perbedaan pendapat  dalam menyikapinya. Masalah bantuan hukum secara khusus sebagaimana yang diharapkan untuk menjawab problema yang ada pada Pengadilan Agama khusus tentang bantuan hukum dalam  kasus cerai talak dan cerai gugat tidak ditemui.
               Ensiklopedi Hukum Islam, halaman 1911 menguraikan tentang wakalah  yang pada intinya memberikan informasi tentang transaksi tolong menolong antara pribadi dalam masalah  perdata dan pidana.[20]  Di dalamnya juga terdapat perbedaan pendapat dari para fuqaha'  dalam menyikapi pendelegasian, perwakilan dari si pemberi  kepada si penerima. Tetapi dalam masalah  cara pendelegasian  dan batasan penedelegasian dalam kaksus cerai talak dan cerai gugat sebagaimana yang dialami oleh Pengadilan Agama dewasa ini tidak dijumpai.

E.    Definisi Operasional

           Bantuan hukum adalah suatu istilah yang sudah dikenal dalam dunia peradilan yang pada intinya,  mengandung makna pembelaan yang diperoleh seseorang dari  penasehat hukum  sewaktu perkaranya diperiksa, diproses  di muka  pengadilan.[21]
            Disamping itu bantuan hukum dipergunakan dalam makna yang luas seperti:
  1. Memberikan konsultasi hukum serta jasa-jasa lain yang berhubungan  dengan hukum.
  2. Memberikan penyuluhan terhadap masyarakat,  khususnya kepada  pencari keadilan  untuk menjunjung tinggi norma-norma hukum.
  3. Memberikan bantuan hukum secara aktif,  langsung serta  secara merata kepada masyarakat, khususnya kepada pencari keadilan.   Pada umumnya
Istilah di atas dipergunakan di  kalangan perguruan tinggi.[22]

F.    Metode  Penelitian

                 Untuk merangkum data yang diperlukan  dalam  pembahasan  tesis   ini, penulis  mencoba untuk mengkaji berdasarkan metode kualitatif,  yakni menyerap data, bahan-bahan  dalam bentuk  tertulis baik dari bahan bacaan buku-buku yang telah diterbitkan, majalah-majalah baik  bulanan, mingguan,  brosur-brosur  kemudian dipadukan dengan bahan-bahan  / data    yang di peroleh di lapangan. [23]   Lapangan yang dimaksud disini adalah data yang diperoleh pada Pengadilan Agama  Kelas I A Padang, baik berupa laporan bulanan, tahunan tentang kepengacaraan, maupun dokumen lain  seperti surat keterangan yang ada kaitannya dengan advokasi, jenis-jenis perkara yang menjadi garapan  Pengadilan Agama Klas I A Padang. Untuk kesempurnaan data yang diharapkan penulis melakukan wawancara baik terhadap hakim sebagai pelaku utama dalam penyelesaian perkara, kemudian kepada  advokat dan pengacara praktek  yang pernah mendampingi kliennya di Pengadilan Agama Padang  serta  terhadap pencari keadilan ( pihak materiil ) yang pernah mengajukan perkaranya di Pengadilan Agama Padang.  Disamping itu data yang di peroleh juga  berdasarkan pengamatan penulis sendiri  yang sudah enam tahun berkecimpung  dalam penyelesaian perkara di Pengadilan Agama Klas I A Padang. Sebagai bahan pendukung berupa catatan-catatan tentang penyelesaian perkara yang terkait dengan advokat.[24]    Sumber data tersebut penulis ambil dari perkara yang telah terdaftar pada pada Pengadilan Agama Padang tahun 2002. Analisis data dilakukan dengan cara induktif dan deduktif.



                        [1]Soerjono Soekanto dkk, Bantuan Hukum Suatu Tinjauan Sosial Yuridis, (Jakarta : Pen. PT. Ghalia Indonesia  th. 1983) Cet, Pertama, Hal. 14                        

                        [2]Ibid                         
                      [3]Adnan Buyung Nasution,  Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Pen. LP 3 ES, Th.1988 ) cet. Ke 3, hal, 15

                         [4]Abdul Aziz Dahlan (ed) Ensiklopedi Hukum Islam, ( Jakarta : PT.Ichtiar Barau  van Holve, th. 1997 )  hal. 1913.

                      
                         [5]Ibid, hal  1914

                        [6] R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Jakarta : PT, Pradnya Paramita, th  1997)  hal. 36                 
                       [7]op.cit.   
                      
                       [8]Ibid, hal  27-184.
          
                       [9]T. Mulya Lubis, Bantuan Hukum  dan Kemiskinan Struktural,  (Jakarta : Pen. LP3 ES, Th. 1986 ) Cet. Pertama
                     [10]Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum di Indonesia, (Jakarta : Pen. LP3 ES, th. 1988 ) cet. Ketiga.

                    [11]Frans Hendra Winarta, Bantuan Hukum Suatu Hak Asasi Manusia  Bukan Belas Kasihan,(Jakarta :   Pen. PT  Elex Media Komputindo Th. 2000)
         
                    [12]Binziad Kadafi (ed) Advokat indonesia Mencari Legitimasi,( Jakarta : Pen.  Pusat Studi hukum  dan Kebijakan Indonesia, th. 2001 ) Cet. Pertama  

                    [13]Mahkamah Agung R I, Pedoman pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan , buku II ,( Jakareta Th. 1993 )  Cet ke 3, .
                      [14]Mahkamah Agung RI, Kumpulan Surat Edaran  MARI  Tentang  Surat Kuasa dan Penasehat hukum,( Jakarta 1991 )

                      [15]Yahya Harahap, Beberapa Masalah Hukum Acara pada Peradilan Agama, Jakarta : Pen.Yayasan Al-Hikmah.Th. 1993/1994)

                      [16]Orba Susilawati, Suatu Tinjauan Terhadap Peranan Penasehat Hukum di Pengadilan Agama  Menurut Hukum Islam, Bukittinggi th 1992  IAIN Imam Bonjol Bukittinggi
                       [17]R.Subekti, KUH Perdata,, Jakarta : PT. Pradnya Paramita , th. 2001 ) Cet. Ke 31.   

                       [18]Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah , Dar al Fikr, Cet ke 4, th l983 (1403 H)
     
                       [19]Ahmad Ibnu Rusyd , Bidayatu al-Mujtahid wa nihayatu al Muqtashid ( Semarang : Pen.  Maktabah  Wamatba'ah, Thaha  Putra )
                      [20]op. cit, hal, 194

                       [21]Soerjono Soekanto, op. cit, hal,  21 .
[22]Ibid ,  hal. 22
 
                       [23]Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif,( Bandung :  Pen. PT. Remaja  Rosdakarya, th, 1994 ) Cet ke lima,hal. 26.
                         [24]Ibid, hal. 100-117

No comments:

Post a Comment