BAB SATU
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Menilik pada coretan panjang sejarah bangsa Indonesia pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan atas hukum Islam tidak terhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada tingkatan yang lebih jauh lagi yaitu pada tingkatan legalisasi dan legislasi.[1]
Sama halnya dengan Syari’at Islam yang menjadi dambaan masyarakat Aceh kini telah berjalan di bumi Serambi Mekkah, pemerintah secara yuridis telah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Aceh untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam.
Pada saat ini Aceh telah menyusun beberapa qanun yang mengatur tentang pelaksanaan syari’at Islam, antara lain: Qanun Provinsi Aceh No. 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at Islam bidang Aqidah, Ibadah dan syiar Islam, Qanun Provinsi Aceh No.12 tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Provinsi Aceh No. 13 tentang Maisir dan Qanun Provinsi Aceh No. 14 tahun 2003 tentang Khalwat. Salah satu bentuk hukuman yang disebutkan di dalam setiap qanun tersebut di atas yakni hukuman cambuk.[4]Hal ini senada dengan keinginan dan keadaan kultur masyarakat Aceh. Dalam kehidupan sehari-hari, pola tingkah laku masyarakat Aceh bisa dikatakan mencerminkan hukum Islam, artinya sesuai dengan aturan hukum Islam. Dalam sejarah yang panjang, masyarakat Aceh telah menempatkan hukum Islam sebagai pedoman hidupnya dalam segala bentuk kekurangan dan kelebihannya. Penghayatan terhadap hukum Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut terus berkembang dan hidup dalam kehidupan masyarakat Aceh yang kemudian terakumulasi dalam bentuk-bentuk hadih-hadih maja (kata-kata bijak) seperti: “Adat bak Potemeureuhoem, hukoem bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.” Yang artinya hukum adat di tangan pemerintah dan hukum agama atau syari’at ada di tangan para ulama.[2] “Adat ngen hukoem lagee zat ngen sifeut.” Artinya hukum dan adat itu merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan di dalam kehidupan rakyat Aceh.[3]Dengan adanya aturan hukum seperti qanun di Aceh bukan berarti syari’at Islam telah berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Jika kita melihat realitanya, banyak hal jika ditilik dari sudut pandang hukum Islam itu merupakan pelanggaran terhadap syari’at. Misalnya masih banyaknya masyarakat yang memakai pakaian ketat membalut aurat atau memakai pakaian tipis transparan, tidak mengenakan jilbab.
Keberhasilan syariat bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih ada atau tidakkah pelanggaran. Tetapi keberhasilan syariat yang paling penting adalah kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal aneh-aneh yang berbau kriminalitas. Kesadaran masyarakat merupakan bentuk kepatuhan masyarakat terhadap aturan qanun yang mareka aplikasikan kedalam pola kehidupan, pergaulan dan tingkah laku mareka sehari-hari. Jadi, syariat juga memerlukan pendekatan rasio yang memadai, bukan hanya mengedepankan dorongan emosional keagamaan.[5]
Perlu adanya pemikiran yang responsive terhadap nilai hukum dan pola tingkah laku masyarakat. Agar hukum tidak dipandang kaku akan tetapi lentur sesuai dengan nilai fakta dan realitas sosial masyarakat. Artinya qanun itu tidak hanya manifestasi dari aturan dasar syari’at yang mesti kita laksanakan akan tetapi juga harus merupakan manifestasi dari masyarakat Aceh. Jika kita hanya memandang qanun sebagai aturan syari’at yang mesti kita laksanakan dengan mengabaikan fakta dan realitas yang ada di masyarakat maka dapat dipastikan qanun itu akan berjalan ke arah yang berbeda dengan masyarakat. Akibatnya, Tidak adanya kesesuaian antara hukum atau qanun dengan masyarakat. Menyebabkan tidak berjalannya aturan qanun seperti yang diharapkan dan dicita-citakan.
Hukum itu harus dipandang sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, inilah yang dikatakan ahli sosiologi hukum Roscoe Pound.[6] Dengan pemahaman bahwa hukum merupakan suatu aturan yang hidup di dalam masyarakat (living law). Maka hukum (dalam hal ini qanun) yang baik dalam proses pembuatannya harus melihat dari bawah atau dari pandangan masyarakat. Karena awal terealisasinya syari’at Islam itu berdasarkan keinginan dari masyarakat dan ini merupakan fenomena sosial, maka tidak relevan jika dalam pembuatan aturan syari’at (qanun) mengabaikan pandangan masyarakat. Demikian juga dengan aturan qanun yang menerapkan hukuman cambuk bagi masyarakat, tidak hanya sebatas pelaksanaan dari aturan qanun itu, akan terlihat tidak efektif atau bahkan terkesan qanun itu berjalan di tempat.
Bentuk hukuman cambuk ini merupakan bentuk penghukuman baru di dalam perundangan Indonesia yang diharapkan dapat mengurangi tingkat kejahatan atau pelanggaran syari’at di Aceh. Maka tidak jarang timbul perbedaan pandangan di masyarakat terkait dengan pelaksanaan hukuman cambuk. Perbedaan pandangan ini telah terjadi semenjak qanun masih dalam rancangan sampai sekarang.[7]
Ada sebagian orang yang mendukung terlaksananya hukuman cambuk, ada kelompok lain yang secara terang-terangan menentang pelaksanaan hukuman cambuk. Ada juga masyarakat yang tidak tahu atau tidak mengerti dengan pelaksanaan hukuman cambuk. Reaksi lain yang timbul di dalam masyarakat seperti rasa optimis dan pesimis masyarakat terhadap pelaksanaan hukuman cambuk.
Para pembuat qanun mungkin lupa bahwa alat ukur yang tepat atau logis untuk mengatakan bahwa hukum atau qanun yang sedang kita laksanakan sukses dan sesuai dengan kebutuhan sosial masyarakat Aceh adalah dengan melihat masyarakat itu sendiri, Bukan dengan data ataupun angka statistik lainnya. Umumnya, norma-norma hukum secara nyata menentukan perilaku manusia di dalam masyarakat.[8]
Mengenai mengapa penulis memilih penelitian di Kota Banda Aceh, dikarenakan Banda Aceh merupakan Kota dari Provinsi Aceh. Bisa dikatakan sebagai pusat dari pelaksanaan syari’at Islam. Di Kota Banda Aceh juga pernah dilakukan hukuman cambuk dan penduduk Banda Aceh memiliki pendidikan yang relatif merata. Hal ini akan sedikit mempermudah penulis dalam melakukan penelitian berkenaan dengan permasalahan yang penulis angkat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana eksistensi hukuman cambuk di Kota Banda Aceh dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat. Bagaimana sebenarnya pandangan masyarakat Kota Banda Aceh terhadap hukuman cambuk sehingga adanya pro dan kontra terhadap pelaksanaan hukuman cambuk. Padahal syari’at Islam telah disahkan pelaksanaannya dan merupakan salah satu bentuk hukuman yang ada di dalam Islam.
1.2 Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang di atas, maka timbullah beberapa permasalahan yang hendak diteliti, yaitu:
1. Bagaimana eksistensi hukuman cambuk di Kota Banda Aceh?
2. Bagaimana perspektif masyarakat terhadap pelaksanaan hukuman cambuk di Kota Banda Aceh?
3. Bagaimana pengaruh hukuman cambuk di dalam kehidupan masyarakat Kota Banda Aceh?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi hukuman cambuk di Kota Banda Aceh.
2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif masyarakat tentang hukuman cambuk di Kota Banda Aceh.
3. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh hukuman cambuk di Kota Banda Aceh.
1.4 Penjelasan Istilah
Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam memahami istilah-istilah yang terdapat dalam judul skripsi ini, penulis perlu menjelaskan beberapa diantara istilah tersebut, yaitu:
1. Eksistensi
2. Hukuman Cambuk
3. Masyarakat
Ad. 1. Eksistensi
Eksistensi adalah adanya; keberadaan[9]. Menurut Pius Abdillah eksistensi mempunyai arti: wujud (yang tampak); adanya; sesuatu yang membedakan antara sesuatu benda dengan benda yang lain.[10]
Jadi, eksistensi yang penulis maksud di dalam karya tulis ini adalah keberadaan atau kehadiran daripada hukuman cambuk di dalam masyarakat kota Banda Aceh.
Ad. 2. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk berasal dari dua kata yaitu hukuman dan cambuk. Yang dimaksud dengan hukuman di dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah siksa dan sebagainya yang dikenakan kepada orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya; keputusan yang dijatuhkan oleh hakim.[11] Atau dapat juga dikatakan dengan hukuman yaitu sanksi yang diberikan kepada seseorang yang telah melaksanakan pelanggaran hukum baik pidana dan perdata.
Sedangkan cambuk yang dimaksud didalam qanun adalah: suatu alat pemukul yang berdiameter antara 0,75 cm sampai 1 (satu) sentimeter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda atau dibelah.[12]
Ad. 3. Masyarakat
Pengertian Masyarakat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan yaitu: sejumlah manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mareka anggap sama.[13]
W.J.S. Poerwadarminta di dalam buku Abdul Syani mengartikan masyarakat sebagai pergaulan hidup manusia atau sehimpunan orang yang hidup bersama dalam sesuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tentu.[14]
Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.[15]
Menurut Maclver dan Page mengatakan masyarakat adalah suatu system dari kebiasaan dan tatacara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai kelompok, penggolongan dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan kebebasan manusia keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah.[16]
Menurut Ralph Lintan, masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja cukup lama sehingga mareka dapat mengatur diri mareka dan menganggap diri mareka suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.[17]
Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah suatu golongan yang terdiri dari individu-individu yang menetap di suatu tempat dan menghasilkan sesuatu yang mempunyai nilai seperti kebudayaan.
1.5 Kajian Pustaka
Sepanjang peneliti ketahui, bahwa hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenai eksistensi hukuman cambuk di Kota Banda Aceh dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat belum pernah dilakukan. Dengan demikian keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Namun demikian, terdapat beberapa tulisan atau buku yang berkaitan dengan penelitian yang penulis lakukan di antaranya yaitu buku yang berjudul dimensi pemikiran hukum dalam implementasi syari’at Islam di Aceh, yang disusun oleh Prof. Dr. Syahrizal, MA, dkk. Buku ini merupakan beberapa kumpulan dari penelitian beberapa penulis yang membahas tentang pelaksanaan syari’at Islam dalam kerangka hukum nasional, respon masyarakat Bireun terhadap hukuman cambuk, dasar yuridis penentuan ta’zir oleh penguasa dan beberapa problematika implementasi syari’at Islam di Aceh. Pembahasan yang ditulis di dalam buku ini sangat berkaitan dengan persoalan dan masalah yang penulis teliti. Seperti penelitian yang ditulis oleh Bustami Abubakar tentang respon masyarakat Bireun terhadap hukuman cambuk. Yang membedakan penelitian Bustami dengan skripsi penulis adalah mengenai tempat penelitian, Bustami mengambil tempat penelitian di Bireun sedangkan meneliti di daerah Kota Banda Aceh. Kemudian yang membedakannya lagi adalah permasalahan tentang perubahan sosial dalam masyarakat Biruen akibat hukuman cambuk.
Selanjutnya buku yang berjudul problematika qanun khalwat analisis terhadap perspektif mahasiswa Aceh, yang disusun oleh Muhammad Siddiq dan Khairul Fahmi. Secara keseluruhan buku ini hanya membahas tentang khalwat seperti misalnya tentang perspektif mahasiswa terhadap penerapan qanun khalwat, peran mahasiswa dan pemerintah dalam menekan laju kasus khalwat. Namun hanya sedikit membahas tentang hukuman cambuk atau permasalahan yang penulis angkat. Penelitian ini mengambil tempat di Kota Banda Aceh sama dengan penulis namun membahas permasalahan yang berbeda.
Selain beberapa buku yang penulis sebutkan di atas. Ada beberapa skripsi yang berhubungan dengan skripsi penulis. Misalnya skripsi yang disusun oleh T. Zulfajri, yang lulus pada tahun 2010 dengan judul skripsi: persepsi masyarakat tentang penerapan syari’at Islam di kecamatan Indrapuri (pasca pemberlakuan qanun nomor 13 tahun 2003). Dalam penelitian ini menjelaskan tentang persepsi masyarakat terhadap penerapan syari’at islam pasca pemberlakuan qanun nomor 13 tahun 2003 tentang maisir atau judi dan kinerja WH dalam memberantas dan menerapkan qanun maisir dengan lokasi penelitian di Indrapuri. Di dalam penelitian ini juga dibahas tentang uqubat cambuk sebagai hukuman ta’zir bagi yang melakukan pelanggaran terhadap qanun maisir. Persepsi masyarakat dalam hal penerapan syari’at Islam pasca pemberlakuan qanun no 13 tahun 2003 masih kurang, namun kineja WH dinilai sudah baik dalam mengawal qanun tentang maisir tersebut.
Selanjutnya skripsi dengan judul: kajian yuridis penanganan kasus khalwat anak dibawah umur (studi kasus di Kota Banda Aceh). Disusun oleh Azzahri, yang lulus pada tahun 2010. Dalam skripsi ini membahas tentang ketentuan hukum bagi anak-anak pelaku khalwat menurut hukum Islam dan hukum positif serta prosedur penanganan kasus khalwat anak yang diatur dalam qanun No 14 tahun 2003. Sebagaimana yang diatur dalam qanun bahwa hukuman bagi pelaku khalwat adalah uqubat cambuk, Namun dalam hal ini yang melakukan anak dibawah umur maka perlu adanya penanganan khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Mareka tidak dicambuk namun diberikan pembinaan dan hal-hal lainnya yang wajar untuk anak dibawah umur.
Kemudian skripsi yang ditulis oleh Muntasir Ramli, yang lulus pada tahun 2010. Dengan judul skripsinya: konsep hudud dan ta’zir (suatu analisis terhadap qanun-qanun jinayah Aceh). Didalam skripsi ini menjelaskan konsep hudud dan ta’zir dalam qanun-qanun jinayah provinsi Aceh dan dasar penetapannya. Konsep dan dasar penetapan hudud dan ta’zir dalam qanun jinayah provinsi Aceh telah sesuai dengan al-qur’an dan hadist. Dengan berpedoman kepada al-qur’an dan hadist, maka para ulama dan umara menetapkan rancangan untuk penerapan serta pelaksanaan jarimah hudud dan ta’zir dalam qanun jinayah Aceh. Uqubat cambuk di skripsi ini hanya dibahas sebagai bagian dari ta’zir tidak dibahas secara khusus.
Terakhir yaitu skripsi dengan judul: uqubat bagi pelaku jarimah zina dalam hukum Islam dan hukum pidana nasional (analisa terhadap pasal 24 draft qanun Aceh tentang jinayat). Skripsi ini disusun oleh Firman yang lulus pada tahun 2010. Di dalam skripsi membahas tentang bentuk uqubat bagi pelaku zina menurut hukum Islam dan hukum pidana nasional serta ketentuan uqubat bagi pelaku zina dalam pasal 24 draft qanun aceh tentang jinayat dengan ketentuan dalam hukum Islam dan hukum pidana nasional. Dijelaskan bahwa bentuk uqubat bagi pelaku zina dalam qanun Aceh dan hukum Islam adalah rajam bagi yang sudah menikah dan dera atau cambuk bagi yang belum menikah sedangkan dalam hukum pidana nasional hanya dihukum bagi yang sudah menikah.
Dari semua skripsi yang berkaitan dengan tulisan penulis yang penulis paparkan diatas, tidak ada yang secara khusus membahas tentang eksistensi hukuman cambuk, perspektif masyarakat dan pengaruh hukuman cambuk di dalam kehidupan masyarakat Kota Banda Aceh. Hampir semunya hanya membahas secara umum dan tidak spesifik seperti skripsi penulis. Hal inilah yang membedakan tulisan penulis dengan penelitian yang sudah pernah dilakukan sebagaimana yang penulis paparkan diatas.
1.6 Metode Penelitian
Metode merupakan suatu cara atau jalan yang ditempuh oleh seorang peneliti guna mendapatkan kemudahan dalam mengkaji dan membahas persoalan yang dihadapi.[18] Dan metode yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu: “suatu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan suatu realita yang terjadi dewasa ini, dengan memaparkan data-data yang kemudian dilanjutkan dengan menganalisa antara data teoritis dan praktis.”[19]
Oleh karena itu dalam pembahasan skripsi ini penulis akan melakukan beberapa langkah untuk mendapatkan data antara lain:
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, penulis menggunakan dua macam penelitian dalam pengumpulan data dan dari dua jenis tersebut akan lahir beberapa macam tehnik yang digunakan, sehingga data yang dimaksudkan bisa diperoleh. Adapun jenis penelitian yang dimaksud adalah:
1. Library research (penelitian pustaka), yaitu pengumpulan data dengan cara menelaah buku-buku, mejalah, website dan refernsi-referensi yang relavan dengan permasalahan yang ada dalam judul penelitian ini.
2. Field research (penelitian lapangan), yaitu penelitian yang dilakukan secara lansung ke lapangan penelitian untuk memperoleh data yag diperlukan. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan menyebarkan angket.
Dalam pembahasan skripsi ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis yaitu suatu metode yang bertujuan membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.[20]
Metode dan tehnik pengumpulan data
a. Sumber data
1. Data primer
Data primer yaitu data yang diperoleh lansung dari objek yang akan diteliti (responden).[21] Tehnik pengumpulan data primer dilakukan dengan penelitian lapangan (field research) yaitu dengan observasi, wawancara dan angket.
2. Data sekunder
Data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui kajian pustaka (library research) yaitu dengan menelaah dan mempelajari tentang teori-teori ilmu hukum dan landasan hukum dan hal yang berkaitan dengan telaah hukum.
Tehnik pengumpulan data
a. Observasi
Observasi adalah suatu bentuk tehnik pengumpulan data melalui pengamatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Dalam melakukan observasi peneliti harus terjun lansung ke lapangan.
b. Wawancara (interview)
Wawancara atau interview merupakan teknik yang dilakukan dengan cara berdialog untuk memperoleh informasi secara cepat dan tepat, yang dilakukan antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai.
c. Angket (kuesioner)
Angket atau kuesioner yaitu suatu bentuk pengumpulan data melalui penyebaran daftar pertanyaan ataupun isian untuk diisi oleh responden.
Populasi dan sampel
Populasi yaitu keseluruhan objek penelitian.[22] Sedangkan sampel adalah objek sesungguhnya dari suatu penelitian.[23] Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh komponen masyarakat yang ada di Kota Banda Aceh yang berjumlah 212.241 jiwa yang terbagi kedalam 9 Kecamatan.
Sampel adalah pengambilan sebagian dari sejumlah populasi yang akan diperlukan untuk mewakili populasi tersebut.[24] Dalam hal ini penulis mengambil pendapat Suharsimi Ari Kuntoro yang menyatakan bahwa, “Apabila subjeknya kurang 100, lebih baik diambil semuanya sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, selanjutnya jika jumlah subjeknya besar atau lebih dari 100, maka dapat diambil 10%-15% atau 20%-25% atau lebih.[25]
Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling yaitu sebuah proses sampling yang dilakukan sedemikian rupa sehingga setiap satuan sampling yang ada dalam populasi mempunyai peluang yang sama untuk dipilih ke dalam sampel. Mengingat wilayah dan populasi yang sangat besar, maka penulis hanya mengambil 3 kecamatan sebagai wilayah sampel yaitu kecamatan Kuta Alam, Luengbata dan Baiturrahman. Sedangkan sampel objek penelitian penulis hanya mengambil 50 responden untuk menjawab kuesioner dan 3 responden untuk di wawancarai. Responden terdiri dari penduduk biasa dengan berbagai profesi dan mahasiswa, tokoh masyarakat, kepala Dinas Syari’at Islam Kota Banda Aceh dan instansi satpol PP dan WH Kota Banda Aceh.
Alat pendukung atau Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat perekam dan alat tulis untuk mencatat hasil wawancara dengan para informan serta data atau keterangan yang berkaitan dengan topik pembahasan.
Setelah seluruh data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya dihitung persentase dari frekuensi jawaban yang diperoleh. Dalam hal ini, penulis menggunakan statistik sederhana yaitu dengan metode distribusi frekuensi kumulatif untuk menghitung semua alternatif jawaban pada setiap pertanyaan, sehingga menjadi suatu konsep yang dapat diambil kesimpulan untuk keperluan pengolahan data tersebut dengan rumus:
Di mana:
P = Angka persentase
f = Frekuensi
N = Jumlah frekuensi atau banyaknya sampel
100% = Jumlah persentase.[26]
Untuk pengujian hipotesis, maka didasarkan ketentuan yang diambil dari buku Suharsimi Arikunto, yaitu sebagai berikut:
1. Jika kesesuaian yang diperoleh 81-100% : sangat baik
2. Jika kesesuaian yang diperoleh 61-80% : baik
3. Jika kesesuaian yang diperoleh 41-60% : cukup
4. Jika kesesuaian yang diperoleh 21-40% : kurang
Setelah semua data penelitian didapatkan, maka selanjutnya diolah menjadi suatu pembahasan untuk menjawab persoalan yang ada dengan didukung oleh data lapangan dan teori.
Dalam penyusunan dan penulisan berpedoman kepada Buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Fakultas Syari’ah Tahun 2010, dan buku-buku yang berkaitan dengan metode penelitian. Sedangkan untuk terjemahan ayat-ayat Al-qur’an dikutip dari Al-qur’an dan terjemahannya yang diterbitkan oleh PT. Syaamail Cipta Media. Revisi terjemah oleh Lajnah Pentasih Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia.
1.7 Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan para pembaca dalam mengikuti pembahasan skripsi, maka dipergunakan sistematika pembahasan dalam empat bab, yang masing-masing bab terdiri dari sub bab sebagaimana tersebut dibawah ini.
Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua merupakan penjelasan tentang letak geografi dari Kota Banda Aceh dan penghukuman dalam Islam seperti pengertian dan dasar penghukuman, bentuk-bentuk penghukuman, hukuman cambuk, kemudian hubungan ketaatan hukum dengan hukuman.
Bab ketiga merupakan bab yang membahas tentang eksistensi hukuman cambuk dan permasalahannya, perspektif masyarakat tentang hukuman cambuk dan pengaruhnya di Kota Banda Aceh, kemudian analisis penulis.
Bab keempat merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-saran seputar topik pembahasan.
[1] Mahsum Fuad, Hukum Islam Indonesia dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris, (Jakarta: Pelangi Aksara, 2005), hlm. 45.
[2] Mohd. Din, Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional dari Aceh Untuk Indonesia, (Bandung: Unpad Press, 2009), hlm.38.
[5] Marah Halim “Memulai Syariat Bukan dari Rajam” dalam Serambi Indonesia. Banda Aceh, Senin, 2 November 2009, hlm. 22.
[6] Edwin M. Schur, Law and Society A Sociological View dalam Sosiologi Hukum, Editor. Winarno Yudho, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hlm. 102.
[8] Timasheff, N.S, “What Is “Sociology Of Law”?”. American Journal Of Sociology, vol. 44, September 1937, hlm. 226.
[9]Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 221.
[11] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm.315.
[12] Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah/ Qanun, Intruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari’at Islam, edisi keenam, (Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hlm. 143.
[17] Ibid., hlm. 24.
[18] Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan I, (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1996), hlm.179.
[19] Suharsimi Arikuntoro, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), hlm. 239.
[21] Bogong Suyanto, dkk, Metode Penelitian Sosial, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm, 56
[22] Suharsimi Arikuntoro, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), hlm. 102.
[23] Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 133.
[24] Ibid.
[25] Suharsimi arikuntoro, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Bandung: Tarsito, 1998), hlm. 168.
[26] Sudjana, Metode Statistika, EdisiV, (Bandung: Tarsito, 1989), hlm. 50.
[27] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktek, hlm. 57.
No comments:
Post a Comment