Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Saturday, February 5, 2011

R. KUHP NASIONAL MENGHINDARI PIDANA MATI


I. Pidana Mati dalam R. KUHP Nasional

Di dalam naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (R.KUHP) yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2004, di dalam Bagian Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana Pasal 62 (1) Pidana Pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.

Dari isi Pasal 62 (1) tersebut tidak ditemukan pidana mati sebagai pidana pokok. Hal ini tentunya sebagai sesuatu yang sangat berbeda, apabila dibandingkan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang di dalam Bab II Hukuman-Hukuman Pasal 10: Hukuman-hukuman ialah:
a. hukuman-hukuman pokok:
1. hukuman mati;
2. hukuman penjara;
3. hukuman kurungan;
4. hukuman denda.
karena dengan tegas Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan pidana mati sebagai salah satu pidana pokok.


Apakah karena tidak mencantumkan pidana mati di dalam Bagian Kedua Pidana Paragraf I Jenis Pidana Pasal 62 (1) pidana pokok, berarti sudah tidak ada tempatnya lagi pidana mati di dalam R. KUHP Nasional? Jawabannya adalah tidak!, karena pidana mati ada diatur di dalam pasal tersendiri yaitu Pasal 63.
Pasal 63

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif

Dengan adanya pengaturan pidana mati di dalam Pasal 63, maka para penyusun R. KUHP Nasional (istilah yang dipergunakan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro, SH.MA) masih berpegang prinsip bahwa hingga sekarang atau minimal hingga R. KUHP Nasional produk 2004, pidana mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana yang dapat dijatuhkan oleh hakim.

Dari prinsip bahwa pidana mati masih diperlukan sebagai bagian dari sanksi pidana, maka kalau kita tarik kearah persoalan pihak yang pro dan kontra terhadap pidana mati, maka para penyusun R. KUHP Nasional ada pada pihak yang pro terhadap pidana mati, tetapi dengan syarat.

II. Pemikiran-pemikiran Pro Pidana Mati

Sebagai catatan beberapa alasan pemikiran yang terkait dengan aliran yang pro terhadap pidana adalah:
Bichon van Ysselmonde, yang menyetujui tetap adanya pidana mati, mengatakan antara lain: “Saya masih selalu berkeyakinan, bahwa ancaman dan pelaksanaan dari pidana mati itu harus ada dalam tiap-tiap negara dan masyarakat yang teratur, baik ditinjau dari sudut kepatutan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakannya, Kedua-duanya jure divino et humano. Pedang pemidana, seperti juga pedang perang harus ada pada negara. Ini menjadi kewajiban dari negara. Hak dan kewajiban ini tidak boleh diserahkan begitu saja, tetapi haruslah dipertahankannya dan juga digunakan”

De Savornin Lohman, “ Dalam Kitab Undang-undang tidaklah boleh tidak ada pengakuan bahwa negara mempunyai hak untuk menghilangkan nyawa dari penjahat yang tidak mengindahkan zedewet samasekali. Hukum pidana itu pada hakekatnya tidak lain dari hukum membalas dendam. Bila suatu kejahatan dilakukan, maka saya masih termasuk orang yang mau mengatakan: kejahatan itu menghendaki adanya pembalasan. Itu tidak hanya sekarang, tetapi seperti itulah selalu dan dimana-mana demikian. Bila seseorang menginjak-injak zedewet sedemikian rupa sehingga dengan perbuatannya itu dia menunjukkan tidak mengakui hukum lagi, maka negara berhak dan berkewajiban melenyapkannya dari masyarakat”

Mr. Dr Rambonnet, “adalah tugas dari penguasa negara untuk mempertahankan ketertiban hukum. Mempertahankan ketertiban hukum itu diujudkan oleh pidana. Jadi dari sini kita berkesimpulan, bahwa penguasa negara mempunyai hak untuk memidana, artinya membalas kejahatan. Dan hak dari penguasa untuk memidana mati itu adalah akibat yang logis daripada haknya untuk membalas dengan pidana. Kalau karena kejahatan itu terganggulah ketertiban tersebut dalam satu bagian yang tertentu saja, maka hubungan yang baik akan dapat dipulihkan kembali dengan mengeluarkan atau tidak menurut sertakan penjahat itu dalam sebagian pula dari kesejahteraan umum. Ini secara umumnya dapat dilakukan dengan merampas kemerdekaannya, melukai hak miliknya dsb. Tetapi … jika kejahatan itu tidak mengganggu ketertiban itu hanya dalam satu bagian tertentu saja darinya, melainkan membuangkan dan merusakkan seluruh ketertiban, maka ketertiban yang terancam itu dapat dipulihkan kembali dengan benar-benar sama sekali melenyapkan seluruhnya dia ini dari turut sertanya dalam kesejahteraan umum itu dengan membunuh penjahat tersebut, sebab selagi dia masih hidup, maka dia masih turut serta dalam kesejahteraan umum itu maka negarapun akan mempunyai hak untuk melaksanakan pidana mati”

Bapak kriminologi Lombroso dan Garofalo, “pidana mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu-individu yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi. Dan karenanya kedua sarjana inipun menjadi pembela pidana mati. Pidana mati adalah suatu upaya yang radikal untuk meniadakan orang-orang yang tak terperbaiki lagi, dan dengan adanya pidana mati ini maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang sedemikian besar biayanya. Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan kita kalau-kalau orang-orang demikian melarikan diri dari penjara dan membikin kejahatan lagi dalam masyarakat”

Thomas R Eddlem dalam artikelnya “Ten Anti-Death Penalty Fallacies”, menyanggah keras tudingan kaum abolisionis yang menyatakan bahwa hukuman mati sebagai melestarikan suatu siklus kekerasan dan mempromosikan “sense of vengeance” (rasa dendam) dalam kultur umat manusia. Kaum abolisionis mengatakan bahwa kita tidak boleh mengajarkan bahwa kita pantas membunuh orang yang bersalah (lihat pendapat Rolling pada bagian yang kontra pidana mati).

Achmad Ali, “hukuman mati sangat dibutuhkan khususnya di Indonesia, tetapi harus diterapkan secara spesifik dan selektif. Spesifik artinya hukuman mati diterapkan untuk kejahatan-kejahatan serius ("heinous") mencakupi korupsi, pengedar narkoba, teroris, pelanggar HAM yang berat dan pembunuhan berencana. Dan yang dimaksudkan dengan selektif adalah bahwa terpidana yang dijatuhi hukuman mati harus yang benar-benar yang telah terbukti dengan sangat meyakinkan di pengadilan (“beyond reasonable doubt”) bahwa memang dialah sebagai pelakunya. Misalnya terdakwa sendiri secara gamblang mengakui perbuatannya, seluruh alat bukti memang “menyatakan” diri terdakwalah sebagai pelakunya. Masih menurut Achmat Ali, UUD 1945 hasil Amandemen, sama sekali tidak melarang hukuman mati. Memang benar ada Pasal 28 I (1), yang berbunyi

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”

Tetapi Pasal 28 I (1) harus dilengkapi dengan juga memahami apa yang terkandung dalam pasal 28 J (2) yang berbunyi:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Jika hanya membaca Pasal 28 I (1) itu saja, maka memang terkesan seolah-olah konstitusi kita “melarang hukuman mati”, tetapi begitu kita membaca lengkap Pasal 28 I (1) maupun Pasal 28 J (2), maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan bahwa, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan papun, tetapi pelaksanaan hak tersebut harus dibatasi bahwa pelaksanaan semua hak tersebut haruslah:
a. sesuai dengan undang-undang;
b. sesuai dengan pertimbangan moral;
c. sesuai dengan nilai agama;
d. sesuai dengan keamanan dan ketertiban umum.
Dengan kata lain, “dikecualikannya” jaminan hak yang ada dalam pasal 28 I (1) itu dimungkinkan jika berdasarkan undang-undang, pertimbangan moral, nilai agama, demi keamanan dan ketertiban umum.

Lebih penting lagi adalah hukuman mati tetap diperlukan karena tindakan dari pelaku sendiri yang tidak lagi memperhatikan aspek kehidupan yang berperikemanusiaan (Sila kedua dari Pancasila) dan kehidupan yang penuh dengan berkeadilan sosial (Sila kelima dari Pancasila).

Pemikir hukum pidana Islam Indonesia, Daud Rasyid, terkait dengan pidana mati menyatakan, untuk memahami sanksi-sanksi pidana dalam perspektif Islam, kita sebaiknya terlebih dahulu melihat Islam dalam acuan berfikir yang global. Hal ini penting, agar kita terhindar dari kekeliruan dalam memahami konsep Islam yang menganut sistem universal dan holistik. Memandang Islam dalam sudut ‘vonnis’ semata, tanpa mengaitkannya dengan aspek lain yang sesungguhnya tak boleh terpisah, dapat memberikan kesan yang tidak positif tentang agama Islam.

Dalam prinsip `Aqidah Islam’, yang berhak menetapkan hukum untuk mengatur kehidupan manusia, hanyalah Allah. Prinsip ini lazim dikenal dengan ‘Al-Hakimiyatu Lillah’. Hal ini sangat rasional, sebab yang lebih mengetahui tentang seluk beluk manusia, kelebihan dan kelemahannya, adalah Sang pencipta manusia itu sendiri. Oleh karenanya, Dialah yang berhak menetapkan hukum yang benar dan adil untuk manusia.
1.  Falsafah ‘hukuman’ dalam Islam
Dalam konsep filosofis Pidana Islam, ‘hukuman’ atas sesuatu perbuatan haruslah ‘setimpal’ dengan kejahatan yang dilakukan. Atas dasar ini, kita melihat bahwa membunuh orang lain, hukumannya yang setimpal adalah dengan membunuh sipelaku. Menyakiti atau memotong bagian tubuh orang lain, hukumannya yang setimpal adalah dengan perbuatan serupa. Sebab jika pembunuh diganjar dengan penjara enam atau tujuh tahun saja, selain terasa tidak setimpal, juga dapat menimbulkan kejahatan baru, di mana keluarga terbunuh tidak merasa puas atas hukuman itu. Akibatnya pelampiasan rasa dendam tak dapat dihindari untuk membunuh si pelaku pembunuhan. Masalahnya tidak berakhir sampai di sini. Masing-masing pihak saling menuntut pembalasan yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan berkesinambungan. Hal ini pernah terjadi di Jawa Timur. Tapi, jika sejak awal hukum ‘qishash’ dijatuhkan kepada si pembunuh. Masing-masing pihak tidak lagi menyimpan rasa dendam. Karena hukumannya setimpal, sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan yang menjatuhkannya adalah negara, bukan salah satu pihak yang bertikai.
Barangkali sebagai contoh dari asas ‘setimpal’ ini dapat kita simak kasus pembantaian sadis di Cibubur, Jaktim, terhadap satu keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan tiga anak-anaknya yang masih kecil oleh seorang tetangganya bernama Philipus.
Sesungguhnya pidana mati diundangkan Allah SWT dalam hukumnya yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan kelangsungan hidup manusia secara umum. Dalam hukum Qishash itu terdapat jaminan yang cukup besar bagi perlindungan terhadap hak azasi manusia. Betapa tidak, dengan menjalankan Qishash, tak setetes darahpun yang tumpah, dapat diabaikan begitu saja. Hak hidup manusia terjamin dengan sebenar-benarnya. Adapun dalam keadaan di mana hukum syari`at tidak dijalankan, maka nyawa manusia lebih murah dari nyawa seekor ayam.

Kemudian ‘hukuman’ harus sesuai dengan ‘rasa keadilan’. Rasa keadilan di sini yang dijadikan sebagai parameter adalah rasa keadilan Tuhan.
Salah satu tujuan hukuman ‘setimpal’ adalah untuk menanamkan rasa takut kepada setiap orang yang ingin melakukan perbuatan tersebut. Jika kejahatan ‘membunuh’ dihukum dengan ‘qishash’ (pembalasan), maka setiap orang, barangkali akan berfikir berkali-kali ketika akan melakukan pembunuhan. Namun karena hukuman atas kejahatan ini terasa ringan, tambahan lagi proses penegakan hukum mungkin masih bisa ditawar-tawar, membuat orang-orang yang lemah imannya tidak takut melakukan pembunuhan. Padahal dalam pandangan Islam, menghilangkan nyawa orang lain hanya boleh karena dua faktor :
(1) Kehendak Allah, dan
(2) Konsekuensi penegakan HukumNya (eksekusi atas putusan hakim).
Atas dasar itu, konsep Hukum Islam menetapkan perbuatan tertentu yang dianggap sebagai kejahatan yang melanggar hukum (jarimah), dan karenanya diancam dengan hukuman (‘uqubah).
2.   Klasifikasi perbuatan pidana dalam Islam
Tindak Pidana dalam Islam dapat dibagi atas tiga bagian :
1.  Tindakan Pidana yang diancam dengan hukuman tertentu dan mutlak (al-Hudud) yang mencakup kejahatan-kejahatan berat seperti : Hubungan seks yang tidak legal (zina), menuduh orang berzina (qazf), meminum benda-benda yang memabukkan (syurb al-khamr), pencurian (sariqah), perampokan yang disertai dengan pembunuhan (hirabat), merekayasa huru-hara/subversi (al-baghyu) dan murtad dari agama Islam (riddah).
Kelompok pertama ini merupakan kejahatan berat yang mengganggu ketertiban umum dan ketenangan dalam masyarakat. Karenanya, dikategorikan sebagai hak Allah SWT. Artinya, jika kasus di atas telah terpenuhi persyaratannya secara lengkap, maka hakim tidak berhak merubah hukuman yang telah ditetapkan. Tetapi jika persyaratan yang diminta tidak terpenuhi, maka hakim tidak boleh menerapkan hukuman hudud. Umpamanya empat orang saksi yang harus menyaksikan langsung kasus perzinahan, jika tidak terpenuhi (misalnya kurang satu orang), maka hukum had tidak dapat diterapkan.
2.   Tindakan Pidana yang diancam dengan hukuman pembalasan setimpal (al-Qishash) dan ganti rugi (ad-Diyat).
Kelompok kedua ini agak berbeda dari yang pertama, karena di sini terdapat perpaduan antara hak Allah dan hak manusia. Contohnya dalam masalah pembunuhan. Hukuman yang pertama adalah qishash dengan menjatuhkan hukuman mati bagi si pembunuh setelah terbukti dan terpenuhi syarat-syaratnya. Tetapi dalam keadaan ahli waris si terbunuh memberikan maaf, maka hukuman alternatif adalah membayar diyat (sejenis ganti rugi) yang besarnya seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi. Inilah yang dimaksud dengan perpaduan hak Allah dan hak manusia.
3.  Tindakan Pidana yang hukumannya diserahkan kepada keputusan hakim (at-Ta’zir). Misalnya : berduaan dengan lawan jenis yang tidak halal, merugikan harga diri/kehormatan orang lain, dan berbagai pelanggaran hukum lainnya.
Ancaman ‘pidana mati’ dalam pidana Islam mencakup empat kejahatan:
(1) perbuatan zina,
(2) perampokan dan subversi,
(3) pembunuhan (menghilangkan nyawa orang lain) dalam hal tidak mendapat kemaafan dari ahli waris,
(4)   pengkhianatan terhadap agama (murtad).
Demikian sasaran yang ingin dicapai di balik penerapan hukum Islam, adalah terwujudnya keamanan, ketenteraman dan sekaligus kebahagiaan dalam kehidupan manusia, di dunia dan akhirat.

III. Pengaturan lebih lanjut pidana mati dalam R.KUHP Nasional

A. Pidana Mati Pidana Pokok yang bersifat khusus

Setelah adanya pengakuan atau ada pada pihak yang pro terhadap pidana mati – walaupun dengan syarat – maka kemudian menarik untuk memperhatikan aturan lebih lanjut mengenai sanksi pidana tersebut. Ketertarikan terkait dengan apa yang menjadi alasan pembentuk R. KUHP Nasional menempatkan pidana mati “merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif”, walaupun tidak mencantumkannya menjadi satu dengan jenis-jenis pidana pokok lainnya .

Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancam secara alternatif. Dari pernyataan sebagai pidana yang bersifat khusus, maka di dalam R.KUHP Nasional dikenal ada 3 (tiga) jenis pidana,
Pertama, pidana pokok yang terdiri dari: a. pidana penjara; b. pidana tutupan; c. pidana pengawasan; d. pidana denda; dan e. pidana kerja sosial.
Kedua, pidana tambahan yang terdiri dari: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat.
Ketiga, pidana pokok yang bersifat khusus dalam hal ini adalah pidana mati.

Apa yang menjadi makna Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus? Menurut penjelasannya dikatakan “ pidana mati yang dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat istimewa. Jika dibandingkan dengan jenis pidana yang lain, pidana mati merupakan jenis pidana yang paling berat. Oleh karena itu, harus diancamkan secara alternatif”

Ternyata dari penjelasan, kita tidak memperoleh kejelasan apa makna khusus tersebut, akan tetapi yang ada adalah mengapa ditempatkan pada bagian yang khusus dan tidak menjadi satu dengan dengan pidana pokok lainnya. Demikian juga pendapat dari pakar hukum pidana Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH yang menyatakan “…pertimbangan utama digesernya kedudukan pidana mati itu di dasarkan pada pemikiran, bahwa dilihat dari tujuan pemidanaan dan tujuan diadakannya/digunakannya hukum pidana (sebagai salah satu sarana “kebijakan kriminal” dan “kebijakan sosial”), pidana mati pada hakikatnya memang bukanlah sarana utama (sarana pokok) untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki masyarakat. Pidana mati hanya merupakan sarana perkecualian. Pemikiran demikian dapat diidentikkan dengan sarana “amputasi” atau operasi” di bidang kedokteran yang pada hakikatnya juga bukan sarana/obat yang utama, tetapi hanya merupakan upaya perkecualian sebagai sarana/obat terakhir” Catatan 1 Jadi kata “khusus” tersebut tidak hanya sekedar menunjuk pada penempatannya yang khusus, akan tetapi juga dengan mengingat dari sifat pidana mati yang “bukanlah sarana utama (sarana pokok) untuk mengatur, menertibkan dan memperbaiki masyarakat”. Tentunya menimbulkan pertanyaan apakah memang benar bahwa pidana mati digambarkan demikian. Dengan mengingat pendapat-pendapat yang pro terhadap pidana mati di atas.

Apakah khusus tidak terkait dengan persoalan dari 516 (limaratus enambelas) pasal tindak pidana yang ada di dalam R.KUHP Nasional sepenglihatan penulis hanya ada pada tindak pidana – yaitu Pasal 213 tentang makar terhadap Presiden atau Wakil Presiden dan Pasal 267 (2) tentang makar terhadap Kepala Negara dari negara sahabat dan tindak pidana terorisme Pasal 238, Pasal 240, Pasal 241, Pasal 256 juga tindak pidana korupsi Pasal 666 (2)?.

Sehingga makna khusus di sini adalah menyangkut korbannya yaitu Presiden, Wakil Presiden atau Kepala Negara dari negara yang bersahabat dan tindak pidananya yaitu terorisme dan korupsi

Menjadi pertanyaan adalah apakah nyawa seorang Presiden, Wakil Presiden atau Kepala Negara dari negara yang bersahabat berbeda dengan nyawa orang pada umumnya? Bagaimana halnya dengan pembunuhan berencana, seperti yang diatur di dalam Pasal 554 R. KUHP (Pasal 340 KUHP)?.

Sejauhmana ancaman ‘pidana mati’ diperlukan untuk jenis-jenis tindak pidana yang lainnya seperti dalam pidana Islam yang mencakup 4 (empat) kejahatan:
1. perbuatan zina,
2. perampokan dan subversi,
3. pembunuhan (menghilangkan nyawa orang lain) dalam hal tidak mendapat kemaafan dari ahli waris,
4. pengkhianatan terhadap agama (murtad).

Dilanjutkan dengan pertanyaan apa yang menjadi makna dari “dan selalu diancam secara alternatif”? Hal ini menunjukkan bahwa sanksi pidana mati tidak pernah diancamkan oleh pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU) secara berdiri sendiri. Artinya kalau JPU mengancamkan atas tidak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 199 atau Pasal 231 (2) dengan hukuman mati maka kemudian harus diikuti dengan “atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun”. Semua dengan maksud sebagaimana diatur dalam Pasal 80 bahwa “ Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat
Sampai dengan pengaturan dan penjelasannya Pasal 61 dan Pasal 80, maka tampaknnya walaupun ada pengakuan mengenai keberadaan pidana mati dalam R. KUHP Nasional, namun dalam pelaksanaannya menjadi sangat selektif dan limitatif.

B. Beberapa Aturan Pelaksanaan Pidana Mati

Merujuk pada Pasal 86 (1)(2) R KUHP Nasional, yang menyatakan,
Pasal 86

(1). Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan 10 (sepuluh) tahun, jika:
a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
c. kedudukan terpidana dalam penyertaan pidana tidak terlalu penting; dan
d. ada alasan yang meringankan.
(2). Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

Dari pasal tersebut, maka dapat digambarkan sedemikian “jauhnya” realisasi dari sanksi pidana mati. Adapun alasannya karena adanya kesempatan untuk memasuki masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dengan akibat hukum pidananya kemudian dapat berubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Aturan tersebut meninggalkan berbagai pertanyaan.
Pertama, perlu diingat bahwa penundaan pelaksanaan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun tersebut sifatnya adalah “dapat”. Penggunaan kata “dapat” mempunyai arti yang tidak pasti. Dapat berarti “ya” atau “tidak”, sangat tergantung pada ukuran yang juga sangat tidak obyektif dan sangat sulit untuk mencari ukurannya, yaitu:
1. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
2. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
3. kedudukan terpidana dalam penyertaan pidana tidak terlalu penting; dan
4. ada alasan yang meringankan.
Kedua, ukuran:
1. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
2. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
3. kedudukan terpidana dalam penyertaan pidana tidak terlalu penting; dan
4. ada alasan yang meringankan.
bersifat kumulatif ataukah alternatif. Dengan menengarahi adanya kata “dan” pada nomor 3, nampaknya perancang R. KUHP Nasional menghendaki adanya sifat kumulatif. Maka dapat dikatakan sangat selektif sekali dalam pengaturan, pelaksana dan mungkin menjadi sangat sulit seseorang untuk dapat memenuhinya, atau dengan katalain sebetulnya R. KUHP berprinsip sekali pidana mati dijatuhkan maka tidak akan terjadi perubahan.
Ketiga, bilamana evaluasi akan dilaksanakan? Apakah sudah dimulai pada saat pelaku tindak pidana ditahan, ataukah setelah ia menjalani pidana? Bukankah proses “pembinaan” dilaksanakan selama statusnya sebagai “narapidana”?

Ad. 1. Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar.

Bagaimana cara menentukan bahwa reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar dan terlalu besar? Apakah diletakkan pada tingkat pemberitaannya di media massa (cetak dan atau elektronik)? Bagaimana jikalau suatu kasus pidana mati luput dari pemberitaan, apakah berarti terhadap terpidana akan memperoleh masa percobaan selama 10 tahun?

Ad. 2. Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki

Bagaimana caranya untuk menentukan bahwa terpidana telah menunjukkan rasa menyesal. Sebab menurut pengalaman, apabila ditanyakan kepada terpidana “apakah anda menyesal telah melakukan tindak pidana yang berakibat dijatuhkannya pidana mati?. Maka dapat dipastikan mereka akan menjawab “ya menyesal”. Apakah dengan melihat perilakunya selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan? Warga binaan dalam setiap kesempatan bertemu dengan petugas Lembaga Pemasyarakatan pasti berperilaku untuk menunjukkan penyesalan atas perbuatannya.

Ad. 3. Kedudukan terpidana dalam penyertaan pidana tidak terlalu penting; dan

Tentunya pengertian dari istilah penyertaan pidana terkait dengan aturan dalam KUHP Pasal 55 dan Pasal 56 (R. KUHP Pasal 20 ) . Dari sekian jenis penyertaan maka yang memungkinkan untuk dikaitkan dalam persoalan ini adalah penyertaan dalam bentuk “turutserta melakukan tindak pidana” medeplegen dan “membantu melakukan melakukan tindak pidana medeplichtig tidak untuk “menggerakkan melakukan tindak pidana” uitlokker. Walaupun sama-sama dipidana “sebagai pelaku”, maka kalau memang “gradasi” keterlibatannya adalah lebih rendah suatu hal yang wajar apabila pidananya tidak disamakan dengan pelaku tidak langsung intelectual dader.

Ad. 4. Ada alasan yang meringankan
Apakah yang dimaksudkan sebagai alasan yang meringankan dalam pasal ini sama dengan isi di dalam Bagian Kesembilan Remisi Pasal 34 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat Tata Catra Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan? Kalau yang dimaksudkan adalah sama, maka terdapat 3 (tiga) alasan untuk meringankan, yaitu:
1. berbuat jasa kepada negara;
2. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau
3. melakukan kegiatan yang membantu kegiatan LAPAS.

Sehingga pengaturan dan penjelasannya Pasal 63 dan Pasal 84 dan ditambah dengan Pasal 85 dan 86, maka tampaknya walaupun ada pengakuan mengenai keberadaan pidana mati dalam R. KUHP Nasional, namun dalam pelaksanaannya menjadi sangat selektif dan limitatif ditambah lagi mengalami waktu yang transisi yaitu adanya masa percobaan.

C. Pidana mati dan masalah grasi

1. Ketentuan grasi dalam R.KUHP Nasional
Ketentuan di dalam R. KUHP Nasional yang mengatur mengenai grasi yang dikaitkan dengan pidana mati dapat dilihat di dalam Pasal 87 yang menyatakan:

Pasal 87

Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri, maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

Dari isi Pasal 87 tersebut ingin ditunjukkan atau dimaksudkan adanya pemberian kepastian pelaksanaan pidana mati. 3 (tiga) syarat yang diberikan oleh pasal tersebut, yaitu:
Pertama, adanya penolakan grasi;
Kedua, dalam jangka waktu 10 tahun tidak dieksekusi setelah grasinya ditolak;
Ketiga, bukan karena melarikan diri.
maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup.

Walaupun telah dicoba diberikan jaminan kepastian hukum oleh pasal tersebut, namun karena dipergunakan kata “dapat” maka jaminan kepastian hukum tersebut menjadi mentah kembali. Kemudian mengapa harus menunggu adanya Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan? Mengapa tidak secara dengan sendirinya dan langsung menjadi kewenangan KaLapas?

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

Apabila ketentuan di dalam Pasal 87 R. KUHP Nasional dikaitkan dengan Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi,
Pasal 2

(1) Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diajukan 1 (satu) kali, kecuali dalam hal:
a. ….
b. Terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal keputusan pemberian grasi diterima

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa bagi narapidana yang pernah dijatuhi pidana mati dan kemudian mengajukan grasi dan ternyata kemudian diterima, 2 tahun setelah menerima grasi, maka narapidana tersebut dapat mengajukan grasi lagi. Ketentuan ini merupakan pengecualian, karena pada dasarnya grasi hanya dapat diminta satu kali saja. Dengan demikian grasi yang pernah diberikan terhadap putusan pidana mati yang grasinya pernah diterima adalah sebagai pengecualian.

D. Hukuman pidana mati dan sekaligus penjara

Kepada penulis pernah disampaikan tabel Daftar Terpidana Mati Yang Ditolak Grasinya per 7 Pebruari 2003 dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Direktur Bina Registrasi Dan Statistik. Menarik untuk memperhatikan tabel tersebut, terutama pada kolom ke 6 Lama Pidana Yang Telah Dijalani. Dari angka yang ada maka waktu menunggu dari 8 (delapan) orang yang grasinya ditolak oleh Presiden yang berarti sudah dinyatakan “siap untuk dieksekusi” adalah antara 5 tahun 5 bulan sampai dengan 32 tahun!.

Karena judul kolom dan perlakuan yang diterima dan diberikan oleh Lembaga Pemasyarakatan (LaPas) terhadap ke 8 (delapan) orang, maka waktu antara 5 tahun 5 bulan sampai dengan 32 tahun diartikan terpidana telah menjalani pidana penjara untuk waktu sementara antara 5 tahun 5 bulan sampai dengan 32 tahun tersebut. Dari hal itu kemudian memuncul beberapa pemikiran dan pertanyaan, yaitu:
Pertama, selain hakim telah menjatuhkan sanksi pidana mati, secara tidak langsung dan dengan sendirinya terpidana juga telah dijatuhkan dan telah menjalani pidana penjara untuk waktu sementara yang lamanya tergantung sampai dengan kapan grasi akan ditolak oleh Presiden;
Kedua, pidana penjara waktu sementara sekian tahun tersebut telah dijatuhkan dan bahkan telah dijalani oleh terpidana untuk suatu tindak pidana yang notabenenya telah dijatuhi hukuman pidana yaitu pidana mati;
Ketiga, pidana penjara waktu sementara sekian tahun yang telah dijatuhkan dan bahkan dijalani oleh terpidana, tidak dilaksanakan melalui proses persidangan;
Keempat, karena Presiden yang menentukan menolak grasi, maka Presiden telah mengambil alih peranan yang dimiliki oleh hakim, hanya pada menjatuhkan pidana penjara untuk waktu sementara;
Kelima, jangka waktu lamanya pidana penjara untuk waktu sementara tidak pasti, tapi yang pasti terpidana sudah menjalaninya, menunggu dan menjalani hukuman pidana penjara, itu yang dialami oleh mereka;
Keenam, menjalani pidana penjara untuk waktu sementara selama 32 tahun, adalah jelas menyalahi batas maksimum pidana penjara untuk waktu sementara yang diatur dalam Pasal 12 (4) KUHP yang menyatakan “(4) Lamanya hukuman penjara sementara itu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun”

Ataukah kita harus memberikan pendapat bahwa jangka waktu antara 5 tahun 5 bulan sampai dengan 32 tahun adalah kebaikan untuk kesempatan hidup antara waktu itu yang diberikan oleh Presiden. Daripada begitu putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan hakim menjatuhkan sanksi pidana mati keesokan hari langsung terpidana di eksekusi …dor dan nyawa melayang. Pendapat tersebut masih menyisakan pertanyaan mengapa muncul variasi antara 5 tahun 5 bulan sampai dengan 32 tahun, untuk tindak pidana yang sama?
Persoalan yang sama tidak menutup kemungkinan akan terjadi dengan memperhatikan isi dari Pasal 87 (3) R.KUHP Nasional yang menyatakan,
Pasal 87

(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.


Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1996
  Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1994
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995
Reksodiputro, Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan Kumpulan Karangan Buku Kesatu, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum, 1994
Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman dan HAM RI, Laporan Tim Pembahas Pidana Mati.
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2004, Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor…Tahun …Tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Catatan 1 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bhakti, 1996, hal. 99 
Oleh: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FH-UI)

No comments:

Post a Comment