A. Latar Belakang
Praktek korupsi yang makin marak di Negara Indonesia pada saat ini, menunjukkan moral dan etika kita saat ini sangatlah menyedihkan. Fenomena ini juga membuktikan bahwa korupsi telah menjadi penyakit yang mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia, membudaya dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara bahkan korupsi dianggap sebagai hal yang wajar.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh lembaga Political and Economic Risk Consultancy (PERC) 2005 bahwa Indonesia adalah Negara terkorup diseluruh Negara Asia dan nomor 5 terkorup didunia.[1]
Sungguh ironis, temuan ini dilakukan di tengah gencarnya demo dan gerakan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh berbagai pihak terutama pemerintah. Meskipun tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang dan lembaga yang menangani masalah korupsi telah banyak didirikan namun tetap saja hal ini terjadi bahkan meningkat.
Hal ini menunjukkan bahwa cara yang ditempuh oleh pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi ini tidak efektif, walaupun peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi telah lengkap dari mulai delik formil sampai materil. Selain itu juga dari tidak adanya pembuktian terbalik sampai adanya pembuktian terbalik terbatas, namun semua peraturan di atas belum sepenuhnya diterapkan untuk menangani tindak pidana korupsi. Buktinya, baru 1400 kasus dugaan korupsi yang diajukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), baru beberapa persennya saja yang ditindak lanjuti. Selain itu, pengembalian kerugian negara akibat korupsi juga tidak seimbang. Oleh sebab itu sudah saatnyalah lembaga peradilan mulai menggunakan asas pembuktian terbalik dalam melakukan proses pemeriksaan terhadap dugaan-dugaan korupsi di sidang pengadilan.
Pembuktian terbalik yaitu suatu mekanisme pembuktian yang membebankan kewajiban kepada terdakwa tindak pidana korupsi untuk membuktikan di sidang pengadilan bahwa ia tidak bersalah sebagai salah salah satu alat bukti yang akan dipergunakan oleh jaksa penuntut umum untuk membuktikan dakwaannya.[2] Hal ini berbeda dengan pembuktian biasa yang mengharuskan jaksa penuntut umum untuk membuktikan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa.
Frans Hendra Winarta salah seorang praktisi hukum mengakui, bahwa sistem pembuktian terbalik (omkering van de bewijslast) merupakan cara yang jitu sebagai tindakan represif bagi pelaku korupsi.[3] Hal ini disebabkan dalam pembuktian terbalik, orang yang dituduh melakukan tindak pidana yang dibebani tanggung jawab pembuktian di sidang pengadilan. Yaitu untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Berbeda dengan pembuktian biasa yang mengharuskan jaksa penuntut umum untuk membuktikan bahwa seseorang bersalah atau tidak.
Sebenarnya pembuktian terbalik di Indonesia bukanlah suatu hal yang baru. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 35 serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga telah diatur tentang pembuktian terbalik walaupun berbeda alas an yang mendasarinya dan penerapannya dalam persidangan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kini berlaku telah mengatur asas pembuktian terbalik, namun penerapannya masih sangat terbatas. Kerterbatasan tersebut terletak pada kewajiban jaksa untuk tetap membuktikan tindak pidana yang dilakukan terdakwa. Hal ini disebutkan dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Jika terdakwa dapat membuktikan asal kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat menjadi hal yang meringankannya. Akan tetapi Pasal 37 A ayat (2) menyebutkan:
Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaannya yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Ayat (3) dari Pasal ini juga menyebutkan:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Pasal 5-12 Undang-Undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Tersebut menganut asas pembuktian terbalik terbatas atau berimbang, asas tersebut diperkuat dengan adanya sistem pelaporan kekayaan penyelenggara Negara yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Penyelenggara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dari banyaknya produk perundang-undangan yang ada, maka timbul pertanyaan, mengapa pemerintah mengalami jalan buntu untuk memberantas tindak pidana korupsi. Memang dapat dipahami bahwa tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang dilakukan secara terselubung dan bersifat rahasia yang para pelaku korupsi tersebut saling menjaga rahasia antara satu sama lain. Baik antar pejabat setingkat, tingkat bawah ke atas, maupun pejabat tingkat atas ke bawah. Proses peradilan terhadap kasus korupsi merupakan permasalahan inti karena para penegak hukum, baik penyidik, penuntut umum, hakim, maupun pengacara dalam proses peradilan rentan terkontaminasi untuk tidak serius menangani kasus-kasus yang ada. Menanggapi hal ini, sesuai dengan suara masyarakat saat ini bahwa dalam tindak pidana korupsi mengharuskan diterapkannya sistem pembuktian terbalik berdasarkan asas presumption of guility mengingat sulitnya menjatuhkan pidana terhadap para petindak pidana korupsi. Jika rakyat dan pemerintah menghendaki pengaturan mengenai pembuktian terbalik yang dimaksud, maka kewenangan penyidik atau penuntut umum (termasuk pula masyarakat yang diberikan peran oleh Undang-Undang PTPK) untuk menduga seseorang melakukan tindak pidana korupsi semakin memperoleh tempat atau posisi yang baik. Dalam arti memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk mencari kesalahan penyelenggara negara yang patut diduga melakukan tindak pidana korupsi, termasuk presiden, menteri dan pejabat -pejabat yang menduduki posisi strategis lainnya, misalnya hakim , polisi, jaksa, pimpinan proyek dan lain-lain.
Di dalam islam sendiri korupsi merupakan perbuatan yang di larang dan haram hukumnya, sebagaimana firman ALLAH di dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang artinya:
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.”
Di sisi lain dalam hukum Islam membebani tanggung jawab pembuktian kepada pendakwa (Mudda’i). sebagaimana hadist Nabi S.A.W:
ﮫﯿﻠﻋ ﻰﻋﺪﻤﻟا ﻰﻠﻋ ﻦﯿﻤﯿﻟاو ﻲﻋﺪﻤﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻨﯿﺒﻟا ﮫﺘﺒﻄﺧ ﻲﻓ لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا نأ
Artinya:
Nabi S.A.W bersabda di dalam khutbahnya: Pembuktian menjadi kewajiban Penggugat, Sumpah menjadi kewajiban tergugat.[4]
Berdasarkan hadist di atas wajib atas orang yang mendakwa orang lain untuk membuktikan atas sesuatu yang berlawanan dengan lahirnya untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Namun demikian bukan berarti yang tergugat tidak bisa membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Jika melihat dari sistem pembuktian dalam islam yaitu didasarkan pada prinsip kejelasan dan menghindari kesamaran.
ﮫﻧﺈﻓ لوﻷا ﻦﻣ ﺖﻌﻤﺳ ﺎﻤﻛ ﺮﺧﻵا ﻦﻣ ﻊﻤﺴﺗ ﻰﺘﺣ ﻦﯿﻀﻘﺗ ﻼﻓ نﺎﻤﺼﺨﻟا ﻚﯾﺪﯾ ﻦﯿﺑ ﺲﻠﺟ اذإ
ءﺎﻀﻘﻟا ﻚﻟ ﻦﯿﺒﺘﯾ نأ ىﺮﺣأ
Artinya:
Apabila dua pihak yang bersengketa duduk di hadapanmu maka janganlah sekali-kali engkau menjatuhkan putusan sehingga engkau mendengar (keterangan) pihak yang lain (pihak kedua) sebagaimana engkau mendengar (keterangan) dari pihak pertama. Karena sesungguhnya hal itu akan lebih memperjelas proses peradilan yang kamu gelar.[5]
Maka dapat disimpulkan bahwa, pembuktian terbalik juga bisa diberlakukan di dalam islam. Karena dalam proses pembuktiannya tidak ada batasan dalam persaksian, karena persaksian harus dari keduabelah pihak. Karena tujuan pembuktian pidana itu sendiri agar ada kejelasan dalam suatu perkara.
Untuk kasus korupsi sebelum Undang-Undang Anti Korupsi berlaku, tetap dipergunakan dan ternyata tidak memuaskan banyak pihak dan korupsi tetap merajalela. Argumen tersebutlah yang mendorong pemerintah terutama aparat penegak hukum agar benar-benar menerapkan asas pembuktian terbalik di sidang pengadilan.
Fenomena inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang pembuktian terbalik tindak pidana korupsi. Adapun penelitian ini menfokuskan penelitian pada pembuktian terbalik menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan hukum Islam. Akhirnya, penulis melakukan tugas akhir ini dengan judul “Analisa Sistem Pembuktian Terbalik Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan hukum Islam”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sistem pembuktian terbalik tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi?
2. Bagaimana sistem pembuktian terbalik tindak pidana korupsi menurut fiqih jinayah ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini dapat disebutkan sebagai berikut:
- Untuk mendapatkan hasil analisis tentang sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Untuk mendapatkan hasil analisis tentang sistem pembuktian terbalik tindak pidana korupsi menurut fiqih jinayah.
- Untuk memenuhi beban Sks penulis dalam mendapatkan gelar sarjana
D. Manfaat Penelitian
Yang dimaksud dengan manfaat penelitian di sini adalah manfaat dari pelaksanaan penelitian. Adapun manfaat yang dimaksud adalah bagi;
1. Penulis, dapat mengetahui sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan hokum Islam. Sehingga hal ini dapat memperluas pengetahuan penulis dan dapat dijadikan bahan untuk memberikan saran dan rekomendasi bagi pembangunan sistem hukum di Indonesia.
2. Aparat penegak hukum, sebagai dasar pertimbangan untuk menegakkan hukum, sehingga kasus korupsi dapat diberantas atau sekurang-kurangnya diminimalisir.
3. Tokoh agama, sebagai referensi agar lebih arif dalam mendakwahkan Islam. Dengan mengetahui segala sesuatu terkait tindakan korupsi termasuk sistem pembuktian terbalik, diharapkan dapat berperan dalam meminimalisir terjadinya korupsi dailapisan masyarakat.
4. Masyarakat, sebagai bahan referensi dan informasi tentang sistem pembuktian terbalik yang berlaku bagi koruptor dalam kedua sudut pandang hukum. Sehingga dengan mengetahui beberapa hal mengenai tindak pidana korupsi. maka diharapkan masyarakat takut untuk melakukan tindak pidana korupsi tersebut.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah studi kepustakaan (library research) dengan model penelitian hukum normative analitis[6], yaitu pembacaan kritis dan mendalam terhadap buku-buku, Undang-Undang, literatur, majalah, surat kabar, karya dari para sarjana, atau laporan hasil penelitian sebelumnya yang relevan dengan masalah yang akan dibahas. Selanjutnya hasil penelitian tentang sistem pembuktian terbalik dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan hukum Islam tersebut dianalisa dengan teori-teori sebagai pisau analisis.
Selain itu, hasil penelitian tentang sistem pembuktian terbalik tersebut dianalisa tanpa memperbandingkan sistem pembuktian terbalik menurut kedua sudut pandang hukum tersebut di atas. Namun bahasan mengenai persamaan dan perbedaan tentang pembuktian terbalik tindak pidana korupsi menurut kedua hukum tersebut akan sedikit disinggung pada bab pembahasan.
2. Sumber Data
Terdapat tiga sumber data yang akan dijadikan sumber rujukan atau landasan utama dalam penelitian ini yaitu: data primer, sekunder, dan tersier. Adapun yang dimaksud dengan ketiga sumber tersebut adalah:
1) Sumber data primer, digunakan untuk menganalisa sistem pembuktian terbalik tindak pidana korupsi menurut hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini adalah bahan-bahan hukum yang sifatnya mengikat dan merupakan norma-norma dasar dalam setiap pembahasan masalah, yaitu: al-Quran, Hadits, buku-buku seperti Martiman Prodjohamidjoyo yang judulnya Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, dan juga buku yang membahas tentang fiqih jinayah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
2) Sumber data sekunder, digunakan untuk melengkapi analisa data yang tidak didapatkan dari sumber primer. Di antaranya adalah karya tulis ilmiah, hasil-hasil penelitian para pakar, artikel-artikel yang terpublikasikan baik melalui media cetak maupun media elektronik.
3. Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah merode kualitatif dengan model penelitian deskriptif analitis [7], yaitu analisa yang mendalam dari isi literatur-literatur yang berkaitan dengan tema pembahasan sehingga hasil penelitian ini terarah sesuai dengan tujuan studi analisis yang dimaksud yaitu secara normatif. Selanjutnya hasil penelitian tersebut dianalisa secara tajam dan mendalam dengan menggunakan teori-teori yang ada sebagai pisau analisis.
E. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka mempermudah dan dapat menghasilkan pembahasan yang sistematis, maka diperlukan sistematika pembahasan. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan. Pada bab pendahuluan akan dijelaskan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Selanjutnya pada bab II akan dipaparkan mengenai kajian pustaka atau kajian teoritik tentang pembuktian terbalik menurut pasal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan hukum Islam dalam hal ini fiqih jinayah.
Hasil penelitian dan pembahasan akan dihadirkan pada bab III. Pada bab tersebut akan dipaparkan pembahasan tentang pembuktian terbalik menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disertai analisa yang mendalam.
Setelah menghadirkan pembahasan tentang sistem pembuktian terbalik menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan hukum Islam dalam hal ini fiqih jinayah disertai dengan analisa yang mendalam, maka penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari pembahasan dan bab-bab sebelumnya. Adapun kesimpulan dan saran tersebut akan dijelaskan pada bab IV sebagai penutup.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi. Asas-Asas Hukum Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1993.
A.Djazuli, Fiqh Jinayat, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2000.
A.Rahman I.Doi. Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Rineka Cipta. 1992.
A.Djazuli. Fiqh Jinayat. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa. 2000
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republic Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1990
Ash-Shidiqie Hasbi, Peradilan Dan Hukum Acara Islam, Yogyakarta, 1964.
R.Soesilo. KUHP dan Penjelasannya. Jakarta: Rineka Cipta. 2000
Rahmat Hakim. Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah). Bandung: Pustaka Setia. 2000
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers. 1994
Komaruddin dan Yoke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta: Bina Aksara. 2000
Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, Angkasa: Bandung. 1980.
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatf. Jakarta: Rajawali Press, 2001.
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2001.
Hendra Winarta, “Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 31/1999”, Kompas, 14 April 2008
Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Citra Aditya Bhakti, 1997.
Hamzah, Andi, Korupsi Di Indonesia, Masalah Dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Prodjohamidjoyo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, Bandung: Mandar Maju, 2001.
Chazawi, Adami, Hukum Pidana Materiil Dan Formil Korupsi Di Indonesia, Malang: Bayumedia Publishing, 2003.
Abdullah, Abdul Muhsin, Suap Dalam Pandangan Islam, Terjemahan Muchotob dan Subakir Saerozi, Jakarta: Gema Insane Press, 2001.
[1] Surya, “Tak Pelu Kaget, Indonesia Juara Korupsi”,Kompas, 12 Maret 2005.
[2] Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
[3] Hendra Winarta, “Pembuktian Terbalik: Perpu atau Amandemen UU 31/1999”, Kompas, 14 April 2008.
[4] Hadis di atas diriwayatkan dalam Sunan al-Turmuzi nomor 1261, 1262 kitab alAhkām.
[5] Hadis di atas, diriwayatkan dalam Sunan Abū Dāwūd, no. 3.111, kitab al-Aqdliyah; Sunan Ibnu Mājah, no. 2301, kitab al-Ahkām; Musnad Ahmad, no, 602, 840, 1.088, 1.215 dan 1.216, dalam Musnad al-‘Asyrah al-Mubasysyarīn bi al-Jannah.
[6] Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatf, (Jakarta: Rajawali Pres, 2001), hal.13-14.
[7] Ibid, hal: 45.
No comments:
Post a Comment