Kamu mungkin bisa menunda waktu, tapi waktu tidak akan bisa menunggu...Waktu yang hilang tidak akan pernah kembali.

Wednesday, October 26, 2011

Unsur Jarimah Dalam Islam


Adapun dalam hukum Islam, suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun jarimah dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu:
1.      Rukun yang umum, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jarimah.
2.       Rukun yang khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jenis jarimah atau unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu dan berbeda antara jenis jarimah yang satu dengan jenis jarimah lainnya.[1]
            Abdul Qadir ‘Audah mengemukakan, bahwa unsur - unsur umum jarimah ada tiga, yaitu:
a.       Unsur formil (rukun syar’i) yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang   perbuatan itu dan mengancamnya dengan hukuman.
b.      Unsur materiil (rukun maddi) yaitu: adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan - perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c.       Unsur moril (rukun adabi) yaitu: unsur yang menyatakan bahwa    pelaku adalah mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarimah yang diperbuat.[2]
Adapun unsur-unsur khusus yang terdapat dalam kasus pelecehan seksual seperti halnya persetubuhan, menurut hukum Islam telah sepakat para ulama  ada 2  yaitu:
1)      Watha’ haram (persetubuhan yang diharamakan), yaitu: watha’ pada faraj wanita yang bukan isterinya atau hambanya dan masuknya zakar itu seperti  masuknya pedang ke dalam sarungnya dan tetap dianggap zina walaupun ada penghalang antara zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan) selama penghalang itu tidak menghalangi perasaan dan kenikmatan bersenggama.
2)      Adanya kesengajaan atau niat melawan hukum, yaitu: si penzina atau pelaku  melakukan perbuatan itu dalam keadaan sadar dan tanpa adanya paksaan atau memang berkeingianan untuk melakukannya tanpa melalui suatu ikatan yang sah (perkawinan) dalam artian bahwa perempuan yang disetubuhi itu adalah perempuan yang diharamkan baginya.[3] 


[1] Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam (Jokjakarta: Logung Pustaka. 2004). hlm 9.
[2] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Azas Hukum Pidana,(Fiqih  Jinayah).Jakarta: Sinar Grafika, 2004.hlm 27.
[3] Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam .( Jakarta: Sinar grafika, 2005), hlm 8-25. 

No comments:

Post a Comment