Adapun dalam hukum Islam, suatu perbuatan baru
dianggap sebagai tindak pidana apabila terpenuhi syarat dan rukun. Adapun rukun
jarimah dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Rukun yang umum, artinya unsur-unsur yang harus
terpenuhi pada setiap jarimah.
2. Rukun yang
khusus, artinya unsur-unsur yang harus terpenuhi pada setiap jenis jarimah atau
unsur yang hanya terdapat pada peristiwa pidana (jarimah) tertentu dan
berbeda antara jenis jarimah yang satu dengan jenis jarimah lainnya.[1]
Abdul
Qadir ‘Audah mengemukakan, bahwa unsur - unsur umum jarimah ada tiga,
yaitu:
a. Unsur formil (rukun syar’i) yaitu adanya nash
(ketentuan) yang melarang perbuatan itu dan mengancamnya dengan hukuman.
b. Unsur materiil (rukun maddi) yaitu: adanya
tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan - perbuatan
nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c. Unsur moril (rukun adabi) yaitu: unsur yang
menyatakan bahwa pelaku adalah mukallaf,
yakni orang yang dapat dimintai pertanggung jawaban terhadap jarimah
yang diperbuat.[2]
Adapun unsur-unsur khusus yang
terdapat dalam kasus pelecehan seksual seperti halnya persetubuhan, menurut
hukum Islam telah sepakat para ulama ada
2 yaitu:
1) Watha’ haram (persetubuhan yang diharamakan), yaitu: watha’ pada faraj wanita
yang bukan isterinya atau hambanya dan masuknya zakar itu seperti masuknya pedang ke dalam sarungnya dan tetap
dianggap zina walaupun ada penghalang antara zakar (kemaluan laki-laki) dan
farji (kemaluan perempuan) selama penghalang itu tidak menghalangi perasaan dan
kenikmatan bersenggama.
2) Adanya kesengajaan atau niat melawan hukum, yaitu:
si penzina atau pelaku melakukan
perbuatan itu dalam keadaan sadar dan tanpa adanya paksaan atau memang
berkeingianan untuk melakukannya tanpa melalui suatu ikatan yang sah
(perkawinan) dalam artian bahwa perempuan yang disetubuhi itu adalah perempuan
yang diharamkan baginya.[3]
No comments:
Post a Comment